Menjaga Harapan Terus Menyala
Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Anand Yahya, Arimami Suryo A.Setelah bergabung di My Dream, Wang Qi seperti mendapatkan keluarga besar.
Penampilan My Dream masih begitu melekat di sanubari, terutama bagi masyarakat Medan, kota terakhir yang disambangi My Dream pada 3 dan 4 Agustus 2019 di Selecta Ballroom, Jl. Listrik No. 2, Medan. Semua pemain My Dream tampil dengan penampilan menawan. Termasuk Wang Qi pemain saksofon berusia 35 tahun ini.
Ketika orang melihat Wang Qi untuk pertama kali, biasanya parasnya yang rupawan dan postur tubuhnya yang ramping lebih dulu menarik perhatian. Tapi setelah melihat dia memainkan saksofon, para penonton pun larut dalam keindahan alunan musik yang ditiupnya.
Wang Qi lahir dalam keluarga yang hangat dan bahagia di Dalian, Provinsi Liaoning. Orang tuanya memiliki harapan besar pada putra mereka yang cerdas ini. Pemain saksofon ini lahir dengan mata yang normal. Dia mengalami kebutaan di usia 13 tahun ketika bermain dengan teman-temannya. Salah seorang temannya iseng memasukkan petasan ke dalam botol kaca dan dengan cepat menyalakannya. Karena penasaran, Wang Qi pergi untuk mengamatinya lebih dekat. Dengan ledakan yang memekakkan telinga, Wang Qi pun ditemukan berlumuran darah di tempat itu.
Wang Qi menjadikan saksofon seperti teman setia.
Keluarganya berupaya untuk mengunjungi semua dokter terkenal di Tiongkok, tetapi hanya menemukan satu kesimpulan bahwa cahaya telah memudar selamanya di mata Wang Qi. Kerabatnya bergiliran merawat Wang Qi, menemaninya melewati fase penderitaan hingga Wang Qi kini telah menjadi cahaya itu sendiri. Sebuah cahaya yang terang, yang mampu menjadi inspirasi orang lain agar terus memelihara nyala harapan.
Di sela-sela latihan My Dream yang padat, redaksi Website Tzu Chi Indonesia mewawancarainya dan berharap pembaca dapat ikut menyebarkan cinta kasih universal sebagaimana menjadi harapan Wang Qi.
Bagaimana awal mula Wang Qi tertarik dengan
saksofon?
Saat
saya masih bisa melihat, saya pernah melihat saksofon. Setelah buta saya masuk
ke sekolah tunanetra, di sana ada band sekolah, dan mereka minta saya untuk
pilih satu alat musik. Saya pikir dulu kan saat saya masih bisa melihat saya
pernah lihat alat musik saksofon, jadi saya pilih itu. Ini semua sangat
kebetulan.
Saat masih bisa melihat, sudah pernah lihat di televisi penampilan orang yang memainkan saksofon. Oh iya, idola saya untuk musik kontemporer adalah Kenny G.
Apa sih yang Wang Qi rasakan ketika
memainkan saksofon?
Saksofon
itu seperti teman saya. Jadi saat saya sedih, bahkan gembira biasanya saya ambil
saksofon dan memainkannya. Itu seperti melepaskan perasaan melalui bermain saksofon.
Ketika para penonton merasa sangat kagum dengan penampilan Wang Qi, apa yang Wang Qi rasakan?
Biasanya kalau kami di My Dream latihan sehari-hari, itu sangat ketat, setiap nada harus dilatih benar-benar. Nah waktu pentas di panggung, kami malah lebih santai dan lepas. Kami saling membantu, harmoni satu sama lain. Jadi banyak alat musik yang berbeda-beda, dan semuanya bisa bekerja sama dengan baik. Karena kami sudah latihan keras, jadi waktu di panggung kami hanya perlu melakukan hal yang sudah biasa kami lakukan saat latihan.
Wang Qi saat membacakan deklamasi.
Kami di kehidupan sehari-hari juga tinggal bersama, kami sudah sangat kenal satu sama lain. Misalnya kalau sedang pertunjukan, kami sudah hafal dengan cara bermain musiknya seperti ini, kami bakal sudah tahu oh selanjutnya dia akan main bagian musik yang mana. Jadi kami semua itu sudah sangat mengenal satu sama lain.
Bagaimana ceritanya Wang Qi bisa gabung
dengan My Dream?
Tim My
Dream ini, semua pesertanya dari berbagai provinsi di Tiongkok, yang
masyarakatnya suka musik. Banyak orang yang mengenal My Dream terutama tarian
Bodhisatwa Seribu Tangan. Waktu itu saya ikut beberapa lomba dan ada guru dari
My Dream yang menelepon ke saya setelah melihat pertunjukan saya di Youtube.
Jadi kampung halaman saya itu, di Dalian, tapi saya lombanya di Beijing dan
Singapura. Saya tidak mewakili sekolah tapi mewakili diri sendiri.
Suka duka bergabung di My Dream?
Sebelum
saya bergabung di My Dream, saya walaupun tunanetra tapi di lingkungan saya,
saya tidak mengenal banyak orang yang difabel. Jadi setelah saya bergabung di
komunitas My Dream, saya baru tahu ini seperti keluarga besar, seperti Tzu Chi
juga yang seperti keluarga besar. Jadi My Dream seperti keluarga sendiri. Kami
saling membantu sama lain. Kami kan ada partner, satu tunanetra dan satu
tunarungu, jadi kalau yang tunarungu diajak keluar, juga ajak kami yang
tunanetra.
Wang Qi
di tengah-tengah pemain My Dream lainnya dan para komisaris DAAI TV Indonesia.
Kalau dukanya itu sebenarnya sedikit. Mungkin hal yang sulit itu seperti saat latihan alat musik. Jadi sebenarnya kalau di panggung kami sangat santai, tapi kalau latihan sehari-hari itu kadang ada hal yang membosankan juga. Karena kita harus terus-menerus melatih satu nada sampai sempurna. Jadi latihan dasar itu harus diulang-ulang. Dan itu kadang membosankan. Jadi seperti berlatih 10 tahun dengan susah payah dan kerja keras untuk memberikan pertunjukan yang luar biasa selama satu menit di atas panggung.
Apakah pernah merasa ingin menyerah dalam
memainkan saksofon ini?
Saya
sebelum bergabung dengan My Dream saya kan berlatih sendiri, jadi waktu
pertama-tama belajar alat musik, saya ada pemikiran oh alat musik itu tidak
bisa dipelajari dalam waktu yang singkat, itu hal yang sangat sulit. Nah waktu
itu saya latihan sendiri kan, jadi saya ada satu adik perempuan kecil, dia beda
umurnya 14 tahun dengan saya. Jadi setelah saya buta, mama saya baru hamil dan
ada adik perempuan kecil ini. Kadang waktu saya latihan, dia bawa handuk basah
untuk mengelap keringat saya, jadi hati saya merasa sangat hangat. Jadi kalau
saya menyerah, itu tidak hanya mengecewakan diri sendiri, tapi juga
mengecewakan anggota keluarga saya. Jadi saya terus dan tidak mau menyerah.
Prinsip hidup Wang Qi?
Seperti
kata mutiara yang saya suka, “Bisa terbang tanpa sayap itu bisa lebih mendekati
surga dari pada malaikat yang mempunyai sayap.” Jadi kita cuma perlu kerja
keras menuju tujuan kita. Prosesnya itu yang paling penting, hasilnya itu hanya
sebagian dari kesuksesan itu.
Masih ada cita-cita lain tidak karena kan
sekarang sudah terkenal?
Saya
sudah pergi ke lebih 60 negara dan daerah. Masih banyak anggota My Dream yang
lebih banyak dari saya. Dan saya berharap selama sisa hidup saya ini saya bisa
bersama dengan tim My Dream pergi keliling dunia dan menyebarkan filosofi cinta
kasih universal kepada semua orang.
Apa pesan kamu untuk orang yang mudah
menyerah dalam meraih mimpi?
Saya
rasa namanya hidup pasti menemui banyak kesulitan. Jadi tak peduli kita menemui
kesulitan yang besar, kita harus menghadapinya dengan batin yang tenang. Saya
rasa dalam menghadapi kesulitan, kalau kita tidak menyerah, pasti kita dapat
melewatinya.
Editor: Arimami Suryo A.
Artikel Terkait
My Dream di Medan: Pertunjukan yang Menginspirasi
06 Agustus 2019Semangat dari para penari berkebutuhan khusus (difabel) memberikan inspirasi kepada para penonton. Selama dua hari, 3-4 Agustus 2019, My Dream menampilkan pertunjukan yang nyaris sempurna di Selecta Ballroom, Medan.
My Dream: Gema Musik dan Tarian Kebangkitan
02 Agustus 2017My Dream Menginspirasi Ribuan Penonton di Medan
25 Juli 2017Di Medan, Daai Night dengan pementasan My Dream telah diadakan dalam dua sesi yaitu pada 22 Juli 2017 dan 23 Juli 2017. Penonton yang memadati Sky convention Hall, Komplek Cemara Asri Medan ini pun tampak begitu semangat mengikuti tiap pertunjukan. Sebagian dari mereka juga tampak meneteskan air mata.