Menjalani Hidup Berkecukupan dalam Keterbatasan
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta WulandariTatik (baju hitam) tertawa bahagia ketika menerima sembako berisi 10 kg beras, minyak goreng, kecap asin, Mi Instan Daai, garam, dan obat nyamuk yang diberikan oleh Daai Mama Sekolah Tzu Chi Indonesia.
Pagi yang mendung mengiringi langkah Daai Mama (relawan yang bersumbangsih di misi pendidikan Tzu Chi –red) Sekolah Tzu Chi Indonesia di Kampung Empang, sebutan warga sekitar bagi Kampung Sukamanah Barat, Desa Tanjung Pasir, Kec. Teluk Naga, Tangerang. Tiupan angin dari deretan empang atau tambak membuat cuaca bertambah sejuk. Sisa hujan malam sebelumnya juga masih menyisakan genangan air di sekitaran rumah warga yang sebagian besar mata pencahariannya serabutan itu. “Ada yang nelayan, tapi nggak banyak. Di sini mah serabutan semua, asal ada (pekerjaan) dikerjain,” ucap Saurin, Ketua RT08/RW03.
Bersama Saurin dan satu ketua RT lainnya, Daai Mama membagi tim dan mendatangi satu persatu rumah warga untuk membagikan kupon baksos pembagian sembako yang digelar pada hari yang sama, Minggu, 14 Januari 2018. Nantinya kupon tersebut akan ditukarkan dengan paket sembako berisi 10 kg beras, minyak goreng, kecap asin, Mi Instan Daai, garam, dan obat nyamuk.
Bersama Saurin (baju batik), Daai Mama membagi tim dan mendatangi satu persatu rumah warga untuk melakukan survei sekaligus membagikan kupon baksos pembagian sembako.
“Baksos ini adalah lanjutan dari baksos yang kami lakukan bulan Desember 2017 lalu. Waktu itu setelah baksos di Wihara Boddhisatta Buddhist Center, kami menggunakan waktu yang tersisa untuk menyurvei wilayah ini dan merasa wilayah ini layak dibantu,” ucap Intan, PIC baksos.
Sandal Jepit yang Berharga
Dijelaskan oleh Saurin, warga Desa Tanjung Pasir hidup dalam keterbatasan. Banyak dari warganya tidak mampu dan bahkan mempunyai rumah yang kurang layak. Satu di antaranya adalah Minah yang rumahnya di ujung desa, di samping empang. Saat para Daai Mama datang, air masih menggenang di muka rumah bambunya. “Mamak nggak ada, Bu. Lagi di sawah,” kata Rika, anak Minah yang masih kelas 1 SMP. Tina, seorang Daai Mama lalu memberikan kupon kepada Tatik, adik Minah yang tinggal di rumah berbeda.
Setiap pagi dan sore, Minah pergi ke sawah mencari keong untuk dijual. Hasilnya lumayan untuk menyambung kehidupan keluarga. “Setidaknya kami masih bisa makan,” kata ibu dua anak itu saat ditemui setelah mengambil sembakonya. Sementara itu waktu luang lainnya digunakan untuk menjadi buruh gunting tali sandal jepit.
Hampir seluruh warga di desa itu menjadi buruh gunting tali sandal jepit, termasuk Minah dan Tatik. Satu sak berukuran sedang, dihargai 6 ribu rupiah. “Seminggu saya nggak dapet banyak, Bu. Paling 40 ribu,” aku Tatik.
Minah (kiri) dan Tatik (kanan) menggunting lembaran tali sandal jepit. Bukan hanya mereka berdua, hampir seluruh warga juga melakukan aktivitas yang sama, menjadi buruh gunting sandal.
Setiap hari di waktu senggangnya, Minah dan Tatik terus menundukkan kepala untuk mengumpulkan rupiah dari sandal jepit. Setiap satu sak tali sandal jepit yang sudah terpisah dihargai 6 ribu rupiah.
Sebulan sekali mereka menunggu upah dari potongan-potongan tali sandal yang sudah terpisah. Upah itu datang bersamaan dan kembali ditukar dengan lembaran demi lembaran tali sandal lainnya yang dibawa dari supplier. Lalu begitu seterusnya berbulan-bulan ke depan.
Walaupun dalam kondisi serba minim dengan kepala yang jarang mendongak ke atas, Minah dan Tatik tak henti tertawa saat menceritakan kesehariannya. Sambil bercerita, kepala mereka tetap tertunduk dan tangan yang sudah ahli memegang gunting. “Kami memang begini (ceria), Bu. Buat apa sedih-sedih, muka cemberut,” kata Minah. “Iya, yang penting sehat, bisa kerja, hasilnya jangan dipikir dulu, pokoknya bisa buat makan keluarga aja,” tambah Tatik.
Dua saudara ini pun bersyukur bisa mendapatkan sembako yang isinya beragam. “Ada minyak, kecap, mi instan, ini juuga berasnya 10 kg bisa dipakai sampai dua minggu. Apalagi harga semuanya lagi mahal. Alhamdulillah sekali ini,” tutur Minah senang. Mereka merasa hidup yang mereka jalani baik-baik saja, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. “Semuanya cukup,” begitu cara Minah dan Tatik mengajarkan syukur kepada anak-anaknya walau dalam kondisi serba terbatas.
Terus Berdampingan dengan Warga
Budi, Pengurus Wihara Boddhisatta Buddhist Center, turut senang bisa mendampingi para Daai Mama dalam berbagi kepada mereka yang membutuhkan. “Hari ini luar biasa (bahagia),” katanya.
Selama ini para pengurus Wihara Boddhisatta Buddhist Center mencoba untuk selalu berhubungan dekat dengan umat di daerah yang jauh dari jangkauan wihara induk. Melalui hubungan itu, mereka selalu tahu dan update dengan kondisi lingkungan sekitar.
Hari itu, 14 Januari 2018, Daai Mama membagikan 134 paket sembako kepada warga Sukamanah Barat, Desa Tanjung Pasir, Kec. Teluk Naga, Tangerang.
Di rumah salah satu warga, Daai Mama dan relawan dari Wihara Boddhisatta Buddhist Center mengemasi dan menyiapkan paket sembako untuk warga.
“Tim kami melihat siapa saja dan lokasi mana saja yang harus dibantu dan yang pasti bantuan ini diberikan tanpa memandang perbedaan,” ucap Budi. “Kita berada di satu lingkup yang universal, walaupun kita beragam agama kita tetap menyatu menjadi warga yang berhubungan sangat baik,” imbuhnya.
Sebanyak 134 paket sembako yang dibagikan hari itu kiranya menambah semangat para Daai Mama. Intan dan Daai Mama lainnya pun berharap nantinya baksos pembagian sembako ini akan berlangsung secara rutin setiap bulannya di tempat-tempat lainnya. “Sehingga kami bisa menjangkau dan memberikan bantuan kepada lebih banyak warga yang membutuhkan. Dari sana cinta kasih akan tersebar lebih luas lagi,” tuturnya.