Menjalani Kehidupan dengan Senyuman

Jurnalis : Suyanti Samad (He Qi Pusat), Fotografer : Suyanti Samad (He Qi Pusat)

Sebanyak 103 penerima bantuan, datang dalam pertemuan bulanan He Qi Pusat di ITC Mangga 2, Jakarta Pusat.

“Semua manusia takut mati, takut menderita, apakah makhluk hidup lain tidak merasa takut juga? Oleh karena itu, kita harus melindungi semua makhluk hidup dan menghargai kehidupan.”

Kata Perenungan Master Cheng Yen.

Setiap minggu pertama di awal bulan, He Qi  Pusat selalu menjalin jodoh dengan para penerima bantuan. Begitu juga dengan awal Oktober ini, bertempat di Kantor He Qi Pusat di ITC Mangga 2, Jakarta Pusat, 103 penerima bantuan mulai berdatangan sejak pukul 8 pagi. Hari ini mereka akan mendapatkan dana bantuan bulanan, susu, serta popok bayi untuk anak-anak.

Membuka kegiatan di pagi itu, Lie San Ing Shijie (62) mengajak para penerima bantuan melakukan senam. Dengan diiringi dengan musik, mereka bergerak bersama-sama. Ia menambahkan bahwa senam tersebut harus dilakukan 30 menit setiap hari untuk menyehatkan tubuh dan memperlancar peredaran darah. Selain senam, mereka juga diajak melakukan gerakan isyarat tangan lagu Rang Ai Chuan Chu Chi, yang dibantu oleh 2 relawan yang memperagakan gerakan isyarat tangan.

Di saat para penerima bantuan dengan riang gembira berlatih gerakan isyarat tangan, Niko Andreas M (45), duduk tersenyum tanpa banyak melakukan gerakan. Ia diam bukan karena ingin, namun karena sebuah keterpaksaan. Pada tahun 2007, Ia divonis menderita gagal ginjal kronik dan harus menjalankan cuci darah 2 kali dalam seminggu di Yayasan Ginjal Diatran Indonesia (YGDI), Jatiwaringin, Jakarta Timur. Sejak kanak-kanak, ia mudah sekali lelah dan memilih untuk menghabiskan harinya dengan membaca buku. Sampai pada usianya ke-38, kondisi kesehatannya menurun drastis. Lelah yang ia rasakan semakin sering menghampirinya ditambah dengan nafsu makan yang juga hilang.

Niko kemudian mencoba berobat ke poliklinik di depan rumahnya, dari sana ia mendapat obat penambah nafsu makan. “Kalau obatnya habis, nggak nafsu makan lagi,” ucapnya. Kondisi ini terus ia lalui hingga kali ketiga, pihak poliklinik memintanya untuk rawat inap. Dalam perawatannya, dokter penyakit dalam memberinya cairan yang membuatnya kejang hingga tak sadarkan diri dan terpaksa dipindahkan ke rumah sakit Mitra. “Pas sadar, banyak selang di badan. Kata dokter saya abis cuci darah,” kisahnya. Ia bersyukur karena saat itu perusahaan tempatnya bekerja bersedia menanggung biaya pengobatan.

Lie San Ing Shijie mengajak para penerima bantuan melakukan senam, yang harus dilakukan secara rutin selama 30 menit per hari untuk menyegarkan tubuh dan memperlancar peredaran darah.

Sebulan kemudian, Niko kembali ke rumah sakit untuk menjalankan cuci darah, namun perusahaan menolak menanggungnya. Berselang tiga bulan, perusahaan memecatnya. “Saat krisis keuangan, saya lalu ngurus surat gakin dan nggak rutin menjalani cuci darah. Sampai kadang ada darah keluar dari telinga dan mulut” tuturnya. Sampai suatu ketika ia menjual rumah dan motor untuk biaya cuci darah. “Waktu itu pas uang pesangon udah habis untuk biaya cuci darah, makanya jual rumah sama motor,” ucapnya.

Dalam kondisinya prihatin itulah, ia mendapatkan informasi mengenai Tzu Chi dari YGDI pada tahun 2011. Tzu Chi kemudian membantu sebagian biaya pengobatan dari Niko. Hingga kini Niko bekerja sebagai tukang ojek motor, dengan kondisi tubuh yang tidak tahan suhu dingin. “Badan ngilu karena asam urat tapi saya tidak mau menyusahkan keluarga dan orang lain atas derita saya,” ujar Niko menutupi sharingnya dengan semangat.

Selain Niko, ada pula Surjadi Setiono (72), ayah dari Cendy Setiono (40). Surjadi menderita kanker ginjal dan harus menjalani cuci darah 3 kali dalam seminggu. Enam tahun yang lalu, dokter menjelaskan Surjadi menderita batu ginjal. “Papa selalu mengeluarkan darah bukan air seni,” ucap Cendy. Operasi kemudian dilakukan untuk pembuangan ginjal kanan. Satu tahun berlalu, ia kembali mengeluarkan darah dari air seninya, “ternyata kanker menyebar ke kantong kemih,” ujar Cendy.

Pada tahun ketiga, dokter menyarankan agar dilakukan pembuangan ginjal kiri, tetapi Surjadi menolak karena tidak mungkin hidup tanpa ginjal. Keluarga kemudian mencari pengobatan tradisional namun tetap tidak mampu meringankan penyakit. Pada Desember 2013, keluarga mengajukan permohonan pengobatan kepada Yayasan Buddha Tzu Chi. Sejak saat itu, ia seperti mendapatkan keluarga baru untuk berbagi semangat dalam kehidupannya.

Sarpen Shijie, penerima bantuan Tzu Chi yang juga seorang relawan, berterima kasih kepada Tzu Chi yang telah membantu biaya pengobatan suaminya dan membedah rumahnya menjadi layak huni.

Menemukan keluarga baru juga dirasakan oleh Sarpen Shijie yang telah bergabung menjadi relawan Tzu Chi selama lima tahun terakhir. Sarpen Shijie, dulunya juga merupakan salah satu penerima bantuan Tzu Chi. “Keluarga saya dulu dibantu, pengobatan suami dan Tzu Chi juga membedah rumah kami menjadi rumah layak huni,” tuturnya. Setelah merasakan bantuan yang ia dapatkan, ia tergugah juga untuk menjadi relawan demi membantu orang lain yang lebih membutuhkan.


Artikel Terkait

Menjalani Kehidupan dengan Senyuman

Menjalani Kehidupan dengan Senyuman

15 Oktober 2014 Setiap minggu pertama di awal bulan, He Qi  Pusat selalu menjalin jodoh dengan para penerima bantuan di Kantor He Qi Pusat di ITC Mangga 2, Jakarta Pusat.
Kendala dalam mengatasi suatu permasalahan biasanya terletak pada "manusianya", bukan pada "masalahnya".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -