Menumbuhkan Semangat, Bersukacita Menjadi Bodhisatwa
Jurnalis : Suyanti Samad (He Qi Timur), Fotografer : Suyanti Samad (He Qi Timur)Walau pelatihan tahun ini masih dilakukan secara online (zoom), sebanyak 764 insan Tzu Chi masih tekun, bersemangat dan tidak lengah mengikuti pelatihan hingga selesai.
Apakah itu Jiwa Kebijaksanaan? Adalah pertanyaan awal yang dilontarkan Hendry Chayady kepada 764 peserta pelatihan pada hari Sabtu, 12 Maret 2022 dalam daring (zoom) online, dalam topik Mengubah Kehidupan Awam Menjadi Jiwa Kebijaksanaan.
Di awal Hendry Chayady bergabung di Tzu Chi, menanggapi jiwa kebijaksanaan seperti yang Master Cheng Yen katakan adalah arah kesadaran yang berlanjut terus menerus dari kehidupan ke kehidupan. Namun sebenarnya jiwa kebijaksanaan adalah sesuatu yang sederhana, “Selain kehidupan fisik berubah dari sebelumnya, kebijaksanaan kita juga bertumbuh. Ketika kita datang ke Tzu Chi, bila kita tidak mengubah kehidupan awam kita menjadi jiwa kebijaksanaan maka tentu akan sangat disayangkan. Tetapi sesungguhnya ini merupakan hal yang tidak mudah.” jelas Hendry Chayady.
Pada pelatihan ini, Hendry Chayady mengajak peserta training melihat jiwa kebijaksanaan dari tujuh faktor pencerahan (dalam buku 37 Faktor Pencerahan). Ini adalah salah satu formulasi dari Sang Buddha tentang bagaimana kita mencapai pencerahan, dan terbebas dari penderitaan. Ketujuh faktor pencerahan itu adalah faktor penilikan (penijauan) ajaran, faktor semangat (tekun), faktor sukacita, faktor kedamaian (pengikisan), faktor keseimbangan batin, faktor konsentrasi, dan faktor perhatian.
Pada pelatihan ini, Hendry Chayady mengajak peserta training melihat jiwa kebijaksanaan dari tujuh faktor pencerahan (dalam buku 37 Faktor Pencerahan).
Belakangan ini, Hendry Chayady merenungkan kembali bahwa tujuh faktor pencerahan ini, bila dilihat dari sisi orang awam, kita dapat memaknainya sebagai siklus yang berulang. Ketika seorang awam berlatih dari faktor penilikan sampai akhirnya memenuhi tujuh faktor tersebut, tentunya orang tersebut tercerahkan. Tetapi bagi orang awam untuk menjalaninya tentunya tidaklah semudah itu. Karena itu kita perlu berulang-ulang.
Master Cheng Yen sering berkata bahwa insan Tzu Chi adalah Bodhisatwa dunia. Semua orang yang mempunyai semangat untuk memberi manfaat bagi makhluk lain, menolang orang lain, adalah Bodhisatwa. Bila insan Tzu Chi menyadari sebenarnya Master Cheng Yen sedang berusaha membimbing kita untuk menjadi Bodhisatwa, bila kita mau lebih memahami Tzu Chi. Hingga suatu masa berpikir, “Mengapa mau menjadi Bodhisatwa?” kata Hendry Zhou.
Insan Tzu Chi telah belajar Sutra Bunga Teratai, sutra yang berisi tentang ajaran jalan Bodhisatwa. Namun bila kita renungkan, “Apakah kita benar-benar paham apa yang namanya Jalan Bodhisatwa? Apa yang namanya Bodhisatwa? Apakah kita benar-benar mau menjadi Bodhisatwa?” tanya Hendry Zhou, sering menjadi renungan baginya.
Hendry Chayady menjelaskan menjadi Bodhisatwa tergantung pada motivasi atau tekad untuk mendalami Dhamma, menguasai Dhamma, mencapai pencerahan untuk membimbing diri sendiri dan orang lain, serta membawa manfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain. Ini adalah suatu tanggung jawab yang sangat besar. “Kita harus bisa memantaskan diri kita untuk benar-benar bisa disebut sebagai Bodhisatwa,” tambah Hendry Chayady.
Hendry Chayady menjelaskan menjadi Bodhisatwa bergantung pada motivasi atau tekad untuk mendalami Dhamma, menguasai Dhamma, mencapai pencerahan untuk membimbing diri sendiri dan orang lain, serta membawa manfaat bagi diri sendiri dan makhluk lain.
Hendry Chayady mengulang kembali, Mengapa mau menjadi Bodhisatwa? Bahwa ia belum melepas dari penderitaan dan mau melepas dari penderitaan. “Semua orang mau melepas dari penderitaan, semua orang mau bebas dari dukkha, semua orang mau bahagia.” kata Hendry Zhao, tidak hanya diri sendiri namun semua makhluk mau terlepas dari penderitaan. Sehingga sering kita sebut bahwa Bodhisatwa muncul karena adanya makhluk yang menderita.
Menurut ajaran Buddha, penderitaan (dukkha) adalah sesuatu yang tidak memuaskan. Kita mengalami lahir, tua, sakit, mati. Kita berpisah dengan yang dikasihi. Kita berkumpul dengan yang dibenci. Keinginan kita yang belum tercapai. Ketidakstabilan lima agregat.
Dalam ajaran Buddha mengajarkan adanya sebab penderitaan. Begitu juga di Tzu Chi, adalah jalan untuk melatih diri untuk melepaskan (mengakhiri) penderitaan. Sebab penderitaan, adalah rintangan kamma kita sendiri ataupun perbuatan kita di masa lalu, dan noda batin dalam hati kita. Inilah yang membuat kita menderita. “Kita harus memahami hukum sebab akibat. Kita akan mengerahkan daya upaya menanam benih (kebahagiaan) untuk melepaskan penderitaan, bukan pada buah (kamma). Kita hendaknya mawas diri, waspada terhadap pikiran, ucapan, dan tubuh (perbuatan).” jelas Hendry Chayady lebih lanjut.
Kita menghendaki buah dari akhir penderitaan adalah bebas dari kemelekatan dan keakuan. Kita harus melakukan usaha (upaya) yang benar (tepat) yaitu membangkitkan kebajikan yang belum timbul, mempertahankan yang sudah ada, mengikis kejahatan yang sudah timbul, dan mencegah kejahatan yang belum timbul. Usaha kita dalam melatih diri adalah mengikis tiga rintangan (rintangan noda batin, rintangan kamma, rintangan buah kamma) dan mengembangkan berkah dan kebijaksanaan.
Usaha insan Tzu Chi dalam melatih diri adalah mengikis tiga rintangan (rintangan noda batin, rintangan kamma, rintangan buah kamma) dan mengembangkan berkah dan kebijaksanaan.
Dalam berkegiatan Tzu Chi, hendaknya kita melihat motivasi (perasaan atau sikap) di batin. Berpuas diri, bersyukur, berpengertian, berlapang dada, penuh keyakinan, menjaga pikiran, meneguhkan keyakinan, dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh, cinta kasih, welas asih, sukacita, mengembangkan keseimbangan batin.
Kita berhenti sejenak melihat ke dalam batin kita. Banyak noda batin yang sesungguhnya terpendam yang selama ini tidak kita sadari. “Saatnya kita berhenti. Mendengar ajaran Master Cheng Yen, mulai mendengar suara hati kita, mendengar suara orang di sekeliling kita. Melihat lebih dalam di sekeliling kita.” kata Hendry Zhao, mengambil hikmah selama dua tahun pandemi Covid-19.
Faktor kedamaian, timbul setelah kita mengikis noda batin, membuang sampah batin sehingga batin kita menjadi lebih luas (lapang), sehingga dapat merangkul (menampung) semua makhluk.
Ketika batin sudah lapang, maka kita akan mencapai ketenangan (keseimbangan) batin. “Kita sudah ikhlas (seimbang), kita sudah bisa melihat sebab akibat karena batin kita sudah lebih cemerlang, lebih terbuka. Kita bisa menerima, melakukan dengan sukarela, menerima dengan sukacita. Ketika buah kamma yang berbuah, kita lebih bisa menerimanya dengan ikhlas (sukarela) karena kita punya batin yang damai, yang sudah terkikis nodanya sehingga kita lebih dekat dengan keseimbangan batin,” jelas Hendry Chayady.
Saatnya kita menetapkan arah (tujuan) kita, sehingga kita bisa mencapai konsentrasi, pikiran yang teguh dalam suatu arah yang sudah kita tentukan. Untuk menetapkan langkah tersebut, kita harus kembali ke tekad (motivasi) awal. Master Cheng Yen sering berkata bahwa ketika kita sambil berjalan, hendaknya kita sambil membentangkan jalan agar orang-orang di belakang kita, bisa mengikuti kita berjalan di jalan Bodhisatwa.
Terakhir, faktor perhatian, adalah pikiran yang penuh kesadaran. Penuh perhatian di motivasi (tekad) awal.
Lynda Suparto, relawan Komite dari komunitas He Qi Timur, sangat bersyukur bahwa sharing dari Hendry Chayady telah mengingatkannya, dan memotivasinya untuk menjadi Boddhisattva sebenarnya.
Kini saatnya bagi kita memupuk jalinan jodoh dengan semua makhluk. Kita akan kembali ke dalam kelompok besar Tzu Chi. Semangat 4 in 1, pertama, bola kristal 3D pada satu titik yang sama, adalah memiliki kesatuan hati yang berpusat pada satu titik yang sama. Kita mengembangkan hati Buddha yang penuh cinta kasih, hati penuh welas asih. Dengan cinta kasih membawa keharmonisan tanpa penyesalan.
Kedua, hutan bodhi tumbuh dari satu akar yang sama. Adalah akar silsilah Dhamma Ajaran Jing Si, kembali (terjun) ke masyarakat untuk menggalang Bodhisatwa. Dengan welas asih membangkitkan rasa kebersamaan tanpa keluh kesah. Ketiga, kelompok Tzu Chi bersatu hati menggarap ladang berkah. Dengan sukacita menyucikan hati tanpa kerisauan. Keempat, akar kebijaksanaan tertanam lebih dalam dan terus bertumbuh di jalan Bodhisatwa. Dengan keseimbangan batin dan keikhlasan selamanya bersumbangsih tanpa pamrih.
Bagi Lynda Suparto, relawan Komite Tzu Chi dari komunitas He Qi Timur, sangat bersyukur bahwa sharing dari Hendry Chayady telah mengingatkannya, “Memotivasi kita akan arti Bodhisatwa sebenarnya, arah dan tujuan menjadi Bodhisatwa, menyadari target kehidupan kita, serta sadar dan paham akan kamma dalam pengertian pelatihan diri yang sesungguhnya,” ucap Lynda Suparto.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Juniaty (50), “Kita harus mendaur ulang sampah di batin agar bisa menjalin jodoh baik dengan semua makhluk.” imbuhnya.
Juniaty (50) akan mendaur ulang sampah di batin agar bisa menjalin jodoh baik dengan semua makhluk.
Tekun dan Bersemangat Melatih Diri
Selama dua tahun ini, meski insan Tzu Chi Indonesia tidak bisa pulang ke Hualien untuk bertemu Master Cheng Yen, namun insan Tzu Chi tetap harus tekun, bersemangat dan tidak lengah. Melalui siaran Lentera Kehidupan di DaAi TV setiap hari, insan Tzu Chi dapat melihat Master Cheng Yen dengan tubuh yang renta, tetap memberikan bimbingan dan membabarkan Dhamma demi menumbuhkan jiwa kebijaksanaan semua muridnya, menyerukan vegetarisme demi melindungi kehidupan, menyebarkan kebajikan dan menggalang hati, dan senantiasa mengkhawatirkan semua makhluk yang menderita dan tertimpa bencana di dunia.
Master Cheng Yen sering berkata, tempat yang terdapat banyak insan Tzu Chi akan harmonis. “Insan Tzu Chi yang memiliki cinta kasih berkesadaran akan menjadi guru yang tak perlu diundang, berinisiatif untuk memperhatikan mereka yang membutuhkan, bersumbangsih tanpa pamrih, dan tetap mengucap syukur. Bayangkan, sudahkan kita melakukan semua ini?” jelas Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
“Kita mengasihi Master Cheng Yen, berarti harus menjadi murid yang mendengar nasihat beliau, melakukan apa yang Master Cheng Yen katakan, dan menjalankan yang Master Cheng Yen harapkan,” kata Liu Su Mei lebih lanjut.
Liu Su Mei menambahkan bahwa tahun 2022 empat misi Tzu Chi lengkap sudah di Tzu Chi Center. Akhir Mei nanti, Tzu Chi Hospital akan diresmikan. Tahun depan, Tzu Chi Indonesia genap berusia 30 tahun. Orang zaman dahulu berkata, “Usia 30 tahun penuh pencapaian.” Ini adalah sebuah babak baru. “Kita harus lebih bersatu hati. Tidak mudah Tzu Chi bisa seperti hari ini, mendapat pengakuan dari beberapa pihak.” harap Liu Suk Mei kepada seluruh insan Tzu Chi Indonesia.
Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei mengharapkan seluruh insan Tzu Chi harus rendah hati ke luar, menjaga dan mengasihi diri sendiri, dan melatih diri ke dalam lebih memperhatikan saudara se-Dhamma.
Selain itu, Liu Su Mei mengharapkan seluruh insan Tzu Chi harus rendah hati ke luar, menjaga dan mengasihi diri sendiri, karena diwajah kita telah tertulis nama “Tzu Chi”. “Kita harus menjaga citra Tzu Chi. Kita harus berterima kasih kepada para relawan senior dan para donator yang mendukung kita sehingga kita dapat berjalan mantap langkah demi langkah.” imbuh Liu Suk Mei.
Ke dalam, hendaknya kita harus lebih memperhatikan saudara se-Dhamma. “Dalam menangani beberapa hal, kita harus berlapang dada, berpikiran murni, berani bertanggung jawab, bersedia bekerjasama, bekerja sungguh-sungguh, dan bebas dari pertikaian. Kita mempertahankan prinsip utama, tetapi tidak perhitungan dalam masalah sepele. Dengan demikian, barulah keluarga besar Tzu Chi dapat bersatu hati, harmonis, saling mengasihi, dan bergotong royong, barulah kita dapat menjadi murid ideal di hati Master Cheng Yen,” jelas Liu Su Mei.
Master Cheng Yen juga menyampaikan dalam pesannya jika relawan Tzu Chi di Indonesia banyak berbuat demi semua makhluk, tetapi belum cukup berbuat demi ajaran Buddha. “Di usia Tzu Chi Indonesia yang ke-30 tahun, kita semua harus lebih menyelami Dhamma, mewariskan, membabarkan dan mempraktikkan Dhamma dalam keseharian.” pesan Liu Su Mei.
Tahun ini, Tzu Chi di Taiwan berusia 56 tahun. Pementasan adaptasi sutra juga diadakan di Taiwan. “Kita harus menggenggam jalinan jodoh agar kita dari Indonesia juga dapat memasuki lautan Dhamma, dan bersama-sama berlatih dengan tekun,” doa Liu Suk Mei agar semua insan Tzu Chi selalu diliputi sukacita dalam Dhamma.
Editor: Hadi Pranoto
Artikel Terkait
Menjadi Seorang Relawan dengan Hati yang Nyaman dan Bahagia
10 Maret 2023Pelatihan Relawan Abu Putih di Kantor Tzu Chi Medan mengangkat tema “Hidup berdampingan dengan bumi.” Pelatihan ini diikuti oleh 91 peserta pelatihan.
Pelatihan 4 in 1 : Menghimpun Niat Baik dan Menyucikan Hati Manusia
29 Mei 2016Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kembali
menggelar Kamp Pelatihan Relawan 4 in
1 yang berlangsung selama dua hari, yakni 28-29 Mei 2016 di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta
Utara. Sebanyak 710 relawan yang terdiri dari mentor dan peserta datang dari
berbagai daerah di Indonesia.
Pelatihan 4 in 1: Yakin Bertekad Menjalankan
31 Mei 2016Tidak mudah bagi
pasangan Surya Kheng (34) dan Suriyanti Bakri (32) tinggal selama dua tahun di
negeri orang. Terlebih bagi Suriyanti, yang mesti
menjalani pengobatan di RS Tzu Chi Hualien, Taiwan. Beruntung kedua muda-mudi Tzu Ching yang menikah ini dapat menerima cobaan ini
dengan tabah. Sekembalinya ke tanah air, keduanya bersemangat untuk mengikuti Kamp Pelatihan 4 in 1.