Menyadari Ketidakkekalan Hidup untuk Membangkitkan Semangat Bersumbangsih

Jurnalis : BD Sukhawati (He Qi Pusat), Fotografer : Lie Ay Ling, Djindi Setiadi, Lianny Lie (He Qi Pusat)

Lie Sioe Ing sedang menjelaskan tentang keselarasan empat unsur.

Di awal cerita, seorang pemburu tiba-tiba dikepung oleh banyak hewan buas dari segala sisi di dalam hutan. Pemburu ini berusaha berlari hingga akhirnya melihat sebatang rotan. Saat melihat sebuah sumur, dia berusaha turun ke dalam sumur dengan berpegangan pada rotan dan hendak turun ke dasar sumur. Kebetulan rotan itu cukup panjang untuk menjangkau dasar sumur.

Namun saat akan turun ke bawah, tiba-tiba ia melihat ada empat ekor ular di dasar sumur. Sedangkan di atas sumur, hewan-hewan buas masih menghadangnya. Ia mendongak untuk melihat rotan tersebut dan melihat ada dua ekor tikus yaitu tikus putih dan tikus hitam yang ternyata sedang menggerogoti rotan itu. Si pemburu merasa sangat khawatir karena jika rotan itu terus digerogoti maka rotan itu akan terputus. Dia melihat makin lama rotan tersebut makin tipis karena gigitan tikus. Si pemburu makin ketakutan karena di dasar sumur sudah ada empat ekor ular sedang menunggunya.

Dia ketakutan hingga mulutnya terbuka lebar. Lalu dia melihat sebuah sarang lebah di atas pohon. Saat sarang lebah itu pecah, madunya mengalir keluar. Kebetulan madunya menetes tepat ke mulutnya. Karena merasakan manisnya tetesan demi tetesan madu, dia menjadi lupa dengan dua ekor tikus yang sedang menggerogoti rotan, juga lupa dengan empat ekor ular yang di dasar sumur. Dia sudah melupakan semuanya.

Kisah ini mengajarkan kita tentang ketidakkekalan hidup. Tikus putih dalam cerita tadi melambangkan pagi hari, mengumpamakan setiap detik hidup kita yang terus berlalu tanpa henti. Setelah pagi hari berlalu, tibalah malam hari yang dilambangkan oleh tikus hitam, yang juga terus menggerogoti rotan tanpa henti. Jadi waktu kita dalam kehidupan ini sama seperti rotan itu yang semakin menipis. Seiring waktu berlalu, usia kita semakin bertambah. Master Cheng Yen berkata bahwa bukan usia kita yang bertambah satu tahun, tetapi kehidupan kita yang berkurang satu tahun.

Empat ekor ular di dasar sumur mengingatkan kita pada empat unsur tubuh, yaitu unsur tanah, air, api, dan angin. Jika salah satu unsur tak seimbang, kita akan jatuh sakit. Contohnya saat ada luka di badan kita, ia akan bernanah, membengkak, infeksi, dan lain-lain. Inilah ketidakselarasan unsur tanah. Adapula penyakit pembengkakan oleh air atau penyakit darah seperti leukemia yang terjadi akibat ketidakselarasan unsur air. Kemudian ada juga ketidakselarasan unsur api. Saat suhu tubuh kita mencapai 37 derajat celcius, 38 derajat celcius, bahkan hingga 40 derajat celcius, berarti unsur api di tubuh kita sedang tak selaras. Ada pula ketidakselarasan unsur angin yang menyebabkan pernapasan kita terganggu.

Demikianlah kondisi yang dialami manusia. Kita tahu jelas bahwa waktu berjalan terus, waktu kita terbatas, berapa lama kita bisa hidup? Kita semua tahu bahwa jika salah satu unsur di dalam tubuh tidak selaras, maka ketidakkekalan akan cepat terjadi. Namun meski tahu, kita masih terus menikmati madu yang menetes ke mulut kita. Madu melambangkan nafsu keinginan. Begitu merasakan manisnya nafsu keingingan, kita terbuai tanpa bisa mengendalikan diri. Untuk kembali ke jalan yang benar, sungguh bukan hal yang mudah.

Lie Sioe Ing menjelaskan bahwa ketidakselarasan tak hanya bisa terjadi dalam tubuh kita, melainkan juga di alam semesta ini. Jika terjadi ketidakselarasan unsur tanah, air, api dan angin di alam semesta maka akan terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir, kebakaran hutan, angin topan, dan lainnya.

Guru Buddha mengajarkan adanya tiga corak kehidupan di dalam dunia ini, yaitu penderitaan (dukkha), ketidakkekalan (anicca) dan tanpa inti (anatta). Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal, timbul dan tenggelam sifatnya. Setelah muncul akan hancur dan lenyap. Kita akan mencapai kebahagiaan tertinggi jika terbebas dari hal-hal tersebut. Oleh karena itu kita perlu menyadari ketidakkekalan dan senantiasa tekun dan bersemangat, memanfaatkan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang bermakna dan benar.

Lay Oen Niang berbagi pengalamannya.


Hal yang benar adalah yang dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Selain tidak merugikan diri sendiri, juga dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas. Orang yang dapat melakukan hal ini pasti selalu diliputi sukacita dan senantiasa merasa tenang. Untuk melatih diri, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, yaitu diantaranya: menjaga dan melaksanakan sila, melakukan kebajikan, lalu mempraktikkan sepuluh sila Tzu Chi, mempraktikkan jalan tengah beruas delapan (pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar dan konsentrasi benar, dan kemudian mengikis karma buruk.

Lie Sioe Ing juga menjelaskan tentang empat kebenaran mulia, yaitu: kebenaran tentang penderitaan, kebenaran tentang penyebab penderitaan, kebenaran tentang akhir penderitaan, dan kebenaran tentang jalan menuju akhir penderitaan. Kita juga dapat melatih diri untuk berpikir dan menghilangkan sifat duniawi seperti lobha (ketamakan), dosa (kebencian), moha (kebodohan), kesombongan, serta keragu-raguan.

Setelah pemaparan materi, Lie Sioe Ing mengajak semua relawan menyampaikan apa saja hal baik dan bermanfaat yang sudah dilakukan di pagi hari itu. Kegiatan Bedah Buku berjalan dengan interaktif. Ada beberapa relawan yang mengemukakan pendapatnya terkait cerita Master Cheng Yen yang sudah disaksikan dan materi yang telah disampaikan Lie Sioe Ing.

Risna menyampaikan pengalamannya, yang mana profesi sebagai pengajar di salah satu sekolah dasar telah membuatnya lebih menyayangi anak-anak sehingga tidak hanya anak-anaknya di rumah, ia  juga sangat dekat dengan anak-anak didiknya. Dan tentunya bisa membuat mereka lebih berbahagia. Haneke juga berbagi pengalaman tentang dirinya yang saat ini sudah mulai bisa lebih memaafkan.

Ada juga relawan kembang, Lay Oen Niangj yang menceritakan pengalamannya. ”Saya pernah sangat bersedih dan seringkali meratapi sakit kaki ini. Namun terkadang diingatkan oleh anak-anak untuk dapat mengalihkan pikiran saya dari rasa sakit tersebut. Saya juga mulai ikut di beberapa kegiatan Tzu Chi sehingga bisa merasa lebih berbahagia.”     
            
Bedah Buku Xie Li Bogor pada Sabtu, 15 Juni 2024 tersebut ditutup oleh Lina N.A dengan mengajak semua relawan untuk berdoa bersama dengan menyanyikan lagu ”Cinta dan Damai” lalu kemudian memberikan penghormatan kepada Buddha dan Master Cheng Yen sebanyak tiga kali.

”Berlombalah demi kebaikan di dalam kehidupan, manfaatkanlah setiap detik dengan sebaik-baiknya” ( Master Cheng Yen)

Editor: Khusnul Khotimah

Artikel Terkait

Bedah Buku: Hidup dalam Dharma

Bedah Buku: Hidup dalam Dharma

13 Juni 2012 Bersama Kumuda Yap Shixiong yang selalu menginsiprasi kita melalui sharing-sharingnya, topik yang dibahas berasal dari buku Dharma Master Cheng Yen Bercerita Bagian pertama Bab ketujuh, Biksu Brahmadatta.
Bedah Buku: Melindungi Satwa

Bedah Buku: Melindungi Satwa

16 Agustus 2016
Bedah buku untuk relawan He Qi (komunitas) Barat, Xie Li Kebon Jeruk-3, kembali diadakan di Jl. Taman S. Parman, Blok D/70 pada 3 Agustus 2016 dan diikuti oleh 25 peserta. Kegiatan tersebut mengangkat tema “Pahala Melindungi Satwa.”
Ukuran Kebahagiaan

Ukuran Kebahagiaan

10 Agustus 2016
Kegiatan bedah buku yang mengupas buku-buku Master Cheng Yen rutin diadakan oleh relawan He Qi Barat. Kali ini relawan mengupas buku tentang Ilmu Ekonomi Kehidupan pada 20 Juli 2016.
Hakikat terpenting dari pendidikan adalah mewariskan cinta kasih dan hati yang penuh rasa syukur dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -