Menyadari Ketidakkekalan
Jurnalis : Riani Purnamasari (Tzu Chi Perwakilan Sinar Mas), Fotografer : Riani Purnamasari (Tzu Chi Perwakilan Sinar Mas), Juliana Santy
Pada Minggu, 23 Agustus 2015, insan Tzu Chi melaksanakan Doa Bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
“Untuk mencari jawaban atas makna kehidupan, caranya ada pada pemahaman terhadap apa yang telah dilakukan dalam kehidupan.”
-Master Cheng Yen-
Ingatan membawa Waliroh Komarifah kembali ke tahun 2003. Saat itu, salah satu adiknya tengah sakit keras karena komplikasi beberapa penyakit seperti meningitis, hidrosefalus, dan kelumpuhan syaraf. Kehidupan keluarganya saat itu jauh dari kata layak. Ayah Waliroh hanya menggantungkan hidupnya dengan bekerja serabutan untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya. Waliroh adalah anak kelima. Ibu Waliroh tidak bekerja. Hanya saja, setiap hari, pukul 11 siang, ibu Waliroh pergi ke pasar untuk mengutip sayur mayur yang tidak layak dijual dan dibuang oleh para pedagang. Sayur mayur tersebut kemudian dirapikan untuk kemudian dijual. Sedangkan, kakak-kakak Waliroh tidak dapat banyak membantu untuk menyokong perekonomian keluarga Waliroh. Pasalnya, mereka sendiri juga harus bergulat dengan kehidupan mereka sendiri.
Kesulitan hidup itu tak membuat Waliroh putus asa. Waliroh tetap melakukan tugasnya sebagai seorang anak dan siswa dengan bersekolah dengan giat sembari membantu ibunya berjualan dan merawat adik-adiknya. Satu hal yang sering menjadi rutinitas Waliroh dan keluarganya adalah menyaksikan tayangan dari DAAI TV. “Tayangannya penuh kasih, bukan hal-hal yang negatif,” ujarnya.
Waliroh Komarifah (kiri) antusias mengikuti isyarat tangan yang ditampilkan oleh para pemain dalam kegiatan Doa Bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah.
Tayangan siaran DAAI TV mencetuskan keinginan untuk mengajukan permohonan bantuan kepada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Tahun 2008, keluarga Waliroh memohon bantuan pengobatan untuk adiknya yang sakit tak kunjung sembuh. Ayah Waliroh menceritakan penyakit yang diderita anak keenamnya itu dalam tulisan dan segera bertolak menuju Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia (dulu di ITC Mangga Dua).
Tak lama waktu berselang, beberapa relawan Tzu Chi datang ke rumahnya Waliroh untuk melakukan penyurveian. Keinginan orang tua Waliroh agar anaknya dapat sembuh begitu besar. Setelah melalui proses survei, permohonan bantuan keluarga Waliroh disetujui.
Setiap bulan, relawan Tzu Chi datang berkunjung sembari memberikan bantuan susu dan tambahan nutrisi untuk adik Waliroh. Hingga suatu ketika adik Waliroh menjalani prosedur operasi. Namun, pasca-operasi, kondisi adiknya tidak stabil. Pada tahun 2011, saat Waliroh masih duduk di kelas 2 SMA, adiknya pun meninggal.
Semenjak melakukan kunjungan ke adik Waliroh, para relawan telah memperhatikan prestasi belajar Waliroh. Maka, relawan Tzu Chi mempertimbangkan untuk membantu Waliroh agar mendapatkan pendidikan yang layak di tengah kesulitan ekonomi keluarga. Apalagi saat itu, ayah Waliroh tengah dirundung masalah keuangan yang berat sehingga Waliroh terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Bantuan pendidikan ini, terus berlanjut hingga Waliroh melanjutkan ke perguruan tinggi. Melalui bantuan pendidikan beasiswa karir yang diluncurkan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Waliroh kini tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Farmasi Universitas 17 Agustus 1945.
Ikut Bersumbangsih
Kehidupan Waliroh dan keluarga perlahan menunjukkan titik terang. Sejak keluarganya dibantu oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pada tahun 2008 silam, Waliroh sendiri telah ikut bersumbangsih. Hidup dalam keterbatasan tak membuatnya lupa untuk ikut berbagi dengan menjadi bagian dari kegiatan di Tzu Chi. Waliroh menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada kekal di dunia.
Sosialisasi WAVES (We Are Vegetarian and Earth Saviors) di Lapangan Monumen Nasional pada 25 November 2012 silam. Waliroh kini giat mengajak rekan mahasiswa untuk ikut serta dalam kegiatan WAVES.
Berbagai kegiatan diikuti oleh Waliroh. Sebut saja pembagian beras di Cilincing, Tzu Ching Kamp, Kampanye Vegetarian WAVES (We Are Vegetarian and Earth Saviors) di Monas, dan pada 23 Agustus 2015, ikut hadir dalam kegiatan Doa Bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah. Doa bersama ini diadakan untuk mengajak masyarakat umum untuk menepis mitos bahwa bulan tujuh penanggalan Lunar adalah bulan hantu dan harus memberikan persembahan hewani serta membakar kertas sembahyang. Melalui kegiatan ini, masyarakat dihimbau untuk tidak lagi membakar kertas sembahyang dan mulai bervegetarian sebagai bentuk bakti kepada leluhur dan bumi ini. Waliroh begitu bersemangat mengikut kegiatan ini. Misalnya saja saat sesi pemeragaan isyarat tangan, Waliroh juga ikut melakukan isyarat tangan dari bangku peserta.
Waliroh juga percaya bahwa tindakan kecil seperti dengan bervegetarian dan memanfaatkan sumber daya dapat menyelamatkan bumi. “Saya selalu berjalan kaki ke kampus. Selain karena kos saya tidak jauh dari kampus, ini juga salah satu hal sederhana yang bisa saya kontribusikan kepada bumi,” ujar Waliroh dengan senyuman.
Kegiatan Doa Bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah mengajak masyarakat untuk membuang mitos seputar bulan tujuh sekaligus mulai bervegetarian sebagai bentuk bakti yang tulus kepada para leluhur.
Waliroh juga tidak ketinggalan ikut bersumbangsih melalui celengan bambu. “Saya sangat beruntung mendapatkan bantuan, namun saya lebih beruntung lagi karena telah diberikan kesempatan untuk membantu lebih banyak lagi kawan-kawan saya yang masih belum bersekolah. Dengan celengan bambu yang saya ambil, saya letakkan di rumah, dan setelah penuh saya sumbangkan kembali,” akunya.
Bagi gadis berusia 21 tahun itu, orang yang terus menjadi panutannya adalah ayahnya. Meski berpenghasilan tidak tetap, ayahnya senantiasa mendukung dirinya. “Ketika saya lulus kuliah nanti, saya juga akan terus bersumbangsih karena keluarga pun sangat mendukung. Ibaratnya dulu saya dibantu, nanti bisa bantu lebih banyak orang,” tuturnya dengan mantap.
Waliroh menjadi contoh bahwa tak selamanya yang tangan di bawah tak dapat bersumbangsih. Usianya yang masih muda tak menghalangi dia mencari makna kehidupan dengan bersumbangsih bagi sesama dengan melakukan yang bisa dilakukan.