Para pasien mengantre untuk menaiki bis dari Lampung menuju Jakarta bersama Tzu Chi. Pada tahun 2002 lalu, relawan Tzu Chi Lampung mulai ikut kegiatan Baksos Kesehatan Tzu Chi di Jakarta dengan membawa langsung pasien dari Lampung untuk menjalani operasi katarak dan beberapa penyakit lainnya.
Rasa bahagia dan sukacita karena memiliki rumah baru masih dirasakan oleh relawan Tzu Chi Lampung. Bukan sesuatu yang berlebihan rasanya apabila luapan kegembiraan itu masih tersisa walaupun acara peresmiannya sudah berlalu pelaksanaannya. Pasalnya rumah baru para relawan Tzu Chi di Lampung ini sudah lama diimpikan, dicita-citakan, dan kehadirannya diharapkan bisa membawa manfaat yang lebih besar untuk sesama yang membutuhkan.
Kantor Penghubung Tzu Chi Lampung saat ini berdiri di lahan seluas 728 meter persegi. Terdiri dari tiga lantai dengan beberapa ruangan serbaguna yang difungsikan untuk berkegiatan. Kantor ini juga merupakan sumbangsih dari berbagai pihak dan himpunan titik-titik cinta kasih dari para donatur dan juga relawan. Untuk itu, tak habis rasa syukur diungkapkan oleh para relawan yang mempelopori hadirnya Tzu Chi di Lampung yang bisa melihat relawan dan donatur terus berkembang bersama membantu masyarakat luas di kampung halaman mereka.
Membawa Dua Bis Berisi Pasien Naik Kapal ke Jakarta
Suster Hilda (tengah) merupakan suster yang membawa jalinan jodoh Tzu Chi di Lampung. Ia mengajak Asih, warga Lampung untuk ikut serta dalam baksos kesehatan. Sejak saat itu, kegiatan Baksos Kesehatan Tzu Chi mulai dikenal masyarakat Lampung.
Adalah Asih, orang Lampung pertama yang mengenal Tzu Chi. Ia adalah seorang jemaat Gereja Kristus Raja Katolik yang akrab dengan seorang Suster, Suster Hilda namanya. Perbincangan tentang Tzu Chi bermula ketika Suster Hilda yang sebelumnya sudah mengenal Suang Ing (Almh – relawan Komite Tzu Chi di Jakarta) – mengajaknya ikut berkegiatan Tzu Chi. Katanya, semua kegiatan yang dilakukan berlandaskan cinta kasih universal dan welas asih.
Asih yang memang sudah lebih dulu bekerja di yayasan sosial merasa tertarik. Ajakan sederhana dari Suster Hilda pun diiyakan olehnya. “Suster Hilda cuma cerita soal ada baksos kesehatan operasi katarak, bibir sumbing, hernia, dan benjolan. Tapi saya kok kayaknya cocok ya,” kata Asih, “apalagi kegiatannya kan di hari Jumat, Sabtu, Minggu. Nah Kebetulan saya Sabtu kan kerja setengah hari, lalu daripada hari Minggu nganggur, ya sudah ayoklah coba ikut aja kegiatannya.”
Di bulan Februari 2002, Asih pertama kali bersama Suster Hilda, Liana, Ahim (Alm), Nurhayati, Surya akhirnya merasakan suasana baru. Untuk ikut baksos kesehatan di Jakarta yang saat itu berlokasi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, mereka sudah mengumpulkan 50 pasien katarak yang sudah terdata di gereja. Masing-masing pasien membawa 1 orang anggota keluarga sebagai pendamping. Jumlahnya otomatis menjadi 100 orang. Untuk transportasi dan konsumsi, Tzu Chi Jakarta saat itu menanggung seluruh biayanya.
Asih bersama, Suherman Harsono, Soetopo, dan Indra Halim juga Edy Husen (dari kanan ke kiri) bersiap dalam kegiatan baksos yang dilakukan di Jakarta.
Semua peserta tersebut dikumpulkan di satu titik pukul 9 pagi. Sementara itu, dua bis Puspa Jaya sudah menunggu. Mereka antusias termasuk Asih. Enam relawan pertama itu pun harus membantu dan mengatur pasien satu per satu. Perjalanan dari Lampung ke Jakarta saat itu memakan total waktu selama 7 jam: 5 jam perjalanan darat dan 2 jam perjalanan laut. Walaupun begitu, Asih bercerita, semuanya antusias.
“Ternyata sesampainya kami di Jakarta, kami benar-benar dilayani seperti keluarga, dimanusiakan. Saya bener-bener merasa kehangatan yang tidak membedakan ini orang kampung, ini orang kota. Begitu,” terang Asih.
Informasi Meluas dari Mulut ke Mulut
Pascaoperasi katarak itu, Asih sungguh senang tak terkira. Ia bercerita kepada tetangganya, Rike, bahwa rasa bahagia di dalam hati itu benar-benar tak terbendung ketika melihat orang yang perginya tidak bisa melihat, yang harus dituntun naik bis, raba-raba kursi, eh pulangnya mereka sudah bisa berjalan sendiri, bisa duduk sendiri, bisa kembali mandiri, tidak tersandung lagi. Rike penasaran juga dan ikut menjadi relawan di baksos selanjutnya.
“Saya tertarik betul dengan cerita Asih. Pas saya ikut, loh ternyata kok bener terasa senang,” kata Rike. “Kalau (bis) udah penuh, kita bisa loh berdiri dari Lampung ke Jakarta. Duduk sebentar, gentian aja gitu. Kita nyanyi-nyanyi, kita happy-happy. Nungguin pasien pun bukan sehari dua hari, tapi benar ketika lihat mereka sembuh, bisa kembali melihat, perasaan di hati itu senang sekali,” lanjutnya.
Rike menemani dan membimbing pasien pascaoperasi katarak yang dilakukan di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng (saat ini Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi).
Bukan hanya Asih, para pasien juga menceritakan pengalaman mereka kepada para tetangga. Tentang bagaimana mereka dilayani dengan baik di Jakarta, diperlakukan bagai keluarga, dan pulang dengan kondisi yang baik. Dari obrolan mulut ke mulut itu, informasi tentang baksos Tzu Chi seperti berita yang paling ditunggu bagi mereka yang membutuhkan.
Dari baksos pertama itu pula, Asih bertemu dengan Mansjur Tandiono, relawan senior Tzu Chi Jakarta yang akhirnya membawa jalinan jodoh (memperkenalkan) Tzu Chi Lampung dengan Soetopo (Alm), yang tak lama setelah itu bertanggung jawab menjadi Ketua Tzu Chi Lampung pertama dan Suherman Harsono (Ketua Tzu Chi Lampung kedua). “Nah setelah bertemu dengan beliau-beliau, banyak yang lainnya yang bergabung dan berdonasi,” papar Asih.
Suasana ruang pemulihan pascaoperasi katarak yang dilakukan di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng (saat ini RSCK Cinta Kasih Tzu Chi). Seluruh pasien dari Lampung menginap setidaknya semalam di sana setelah dioperasi.
Lambat laun karena banyak pasien yang berminat untuk mengikuti Baksos Kesehatan Tzu Chi, Soetopo meminjamkan sebuah ruangan di Yayasan Dharma Bhakti sebagai kantor sekertariat mereka. Di sana semua hal berkaitan dengan baksos kesehatan, data pasien, dan lainnya dikerjakan. Tempat berkumpul para pasien pun dilokasikan di sana.
“Pada baksos kedua, seluruh biaya untuk ke Jakarta sudah kami dapatkan dari donatur di Lampung. Kami sangat bersyukur ya karena hal baik ini mendapat dukungan yang begitu besar dari warga Lampung sendiri,” kata Asih.
Gubernur Lampung periode 2004 – 2008 Sjachroedin Z. Pagaralam melepas perjalanan para pasien yang akan mengikuti Baksos Kesehatan Tzu Chi di Jakarta.
Dalam perjalanannya, baksos kesehatan yang dilakukan selama dua atau tiga bulan sekali di Jakarta itu selalu dihadiri oleh pasien dari Lampung. Nama Tzu Chi di Lampung pun semakin dikenal oleh masyarakat dengan kegiatan baksos yang selalu ditunggu-tunggu. Hingga perjalanan rombongan pasien dari Lampung pernah dilepas langsung oleh Gubernur Lampung periode 2004 – 2008 Sjachroedin Z. Pagaralam.
Pembagian Beras, Lompatan Selanjutnya
Selain baksos kesehatan yang menjadi primadona, Tzu Chi di Lampung pada tahun 2005 juga ikut dalam pembagian beras dengan total untuk masyarakat Lampung sebanyak 800 ton. Indra Halim dan Ali Kuku adalah koordinator kegiatannya. Seperti baksos kesehatan, baksos pembagian beras ini juga menjadikan momen perkenalan Tzu Chi dengan masyarakat Lampung semakin meluas.
Walaupun sempat ada keraguan tentang mampu atau tidak, Indra Halim yakin mampu dan bisa menyalurkan beras tersebut ke tangan masyarakat yang membutuhkan. Kepada 14 kecamatan di Bandar Lampung, relawan yang belum seberapa jumlahnya berupaya sekuat mungkin untuk mendistribusikan beras tersebut.
Selain baksos kesehatan yang menjadi primadona, Tzu Chi di Lampung pada tahun 2005 juga ikut dalam pembagian beras dengan total untuk masyarakat Lampung sebanyak 800 ton.
Berpegang pada SOP pembagian sembako dari Tzu Chi, mulai dari melakukan survei, membagikan kupon, dan membagikan sembako, Indra Halim lalu mengajak para mahasiswa yang beragama Buddha dari beberapa universitas di Lampung untuk ikut serta. Tak hanya itu, Yayasan Budi Luhur, Yayasan Hakka Metta Sarana, dan Yayasan Dharma Bhakti juga dilibatkan untuk memperlancar proses pembagian.
“Sejak pertama saya ajak, saya sudah tanya, ‘Siap bantu nggak nih? Karena terus terang nggak ada imbalan loh, nggak ada upah, minum juga semuanya bawa sendiri’. Ternyata mereka siap,” cerita Indra Halim. Dua bulan lamanya, setiap hari Sabtu dan Minggu, relawan berusaha mendistribusikan beras tersebut ke masyarakat yang membutuhkan. “Tzu Chi di Lampung makin dikenal setelah itu,” imbuh Indra Halim.
Lebih Giat di Rumah Baru
Kini, Tzu Chi Lampung sudah 20 tahun bersumbangsih bagi masyarakat. Pada 24 Mei 2008 silam, Lampung resmi menjadi Kantor Penghubung Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia ke-8. Saat itu mereka menempati kantor berlantai 3 milik Soetopo. Kini, 14 tahun kemudian, dari titik-titik cinta kasih masyarakat lampung, relawan dan donatur, akhirnya mereka mempunyai kantor yang lebih nyaman dan leluasa untuk berkegiatan.
Suherman Harsono membantu penerima bantuan sembako pada kegiatan pembagian beras yang dilakukan di Lampung tahun 2005.
Asih bertutur, tak ada kata lain selain ungkapan syukur dan terima kasih bagi mereka yang tak lelah mendukung Tzu Chi Lampung. Tak ada tekad lain pula bagi relawan selain memegang visi misi Tzu Chi, menggalang barisan Bodhisatwa Tzu Chi lebih panjang lagi, dan membantu masyarakat lebih luas lagi.
“Semua relawan bahagia, gembira. Semoga harapan untuk bisa memberikan bantuan untuk masyarakat lebih luas bisa terlaksana,” ungkap Asih.
“Pandemi sudah sekian lama, kita sempat vakum, sempat mengurangi kegiatan. Sekarang begitu bersyukur, Lampung sudah meresmikan kantor baru. Bahagia sekali rasanya. Semoga tiap minggu ada kegiatan sehingga jalinan kebersamaan dan hubungan relawan semakin erat dan dekat, agar terasa semangatnya,” imbuh Indra Halim.
“Saya sekarang hanya bisa memberikan semangat. Tzu Chi Lampung pasti bisa semakin maju dan bisa berkembang. Tapi semua bergantung dari semangat para relawannya. Untuk itu mari terus giat, Jiayou Shixiong Shijie!!” kata Suherman Harsono.
Editor: Hadi Pranoto