Peserta kunjungan dari GKI Pakis Raya dan GKI Tubagus Angke tengah menyimak isi buku yang dipajang di Jingsi Book & Café.
Jika kasih sayang bisa dijadikan sebuah pameran, maka Tzu Chi Center adalah museumnya. Sebuah tempat di mana kepedulian tak sekadar terpajang dalam bingkai kata, melainkan bernapas dalam tindakan nyata. Di setiap sudutnya, cinta kasih menjelma menjadi ukiran kisah. Dan di setiap langkah tersimpan jejak-jejak niat baik yang tumbuh dalam keheningan batin dan gemuruh kepedulian.
Langkah-langkah itulah pula yang digerakkan oleh 22 pemuda-pemudi dari GKI Pakis Raya dan GKI Tubagus Angke. Pada Sabtu, 29 Maret 2025, mereka berkumpul sejak pagi di titik awal, GKI Pakis Raya. Kegiatan bertajuk SEPATU (Seharian bareng Pakis Tungke) menjadi wadah kebersamaan yang tak hanya mengajak berjalan bersama, tapi juga melangkah lebih dalam memahami, bertumbuh dalam iman, dan belajar dari keberagaman. Seperti filosofi sepatu yang berjalan beriringan meski tak pernah bertukar tempat, para peserta diajak mengenali jejak hidup dari sisi yang berbeda namun sejiwa dalam kasih.
Dengan semangat ingin belajar dan berbagi, mereka tiba di Tzu Chi Center bukan sebagai wisatawan spiritual, melainkan sebagai penjelajah makna. Hati mereka terbuka, membiarkan setiap sudut tempat itu berbicara dengan bahasa yang tak selalu terdengar oleh telinga, tetapi terasa oleh hati yang bersedia mendengar. Didampingi enam relawan Tzu Chi komunitas Hu Ai Pluit Mas, para peserta tidak sekadar melihat, melainkan menyerap setiap cerita, setiap nilai, setiap langkah nyata dari sebuah misi kemanusiaan yang melampaui sekat perbedaan.

Dengan senyum hangat, relawan Tjong Mimi menjelaskan tentang eco enzyme kepada peserta kunjungan, menyampaikan pesan pelestarian lingkungan melalui cara yang sederhana namun berdampak besar.
Lorong demi lorong mereka susuri, bagai menyelami aliran sungai welas asih yang tak pernah kering. Mereka menyimak penjelasan dengan saksama, menyerap kisah-kisah kemanusiaan yang terpampang dalam dokumentasi, dan dihidupkan kembali melalui pengalaman para relawan Tzu Chi. Di balik angka dan gambar, mereka menangkap semangat yang tak bisa dihitung. Semangat untuk hadir bagi sesama, tanpa syarat, tanpa pilih kasih.
“Saya berharap kunjungan ini membuka cakrawala mereka bahwa berbuat baik itu bisa lintas keyakinan. Cinta kasih adalah bahasa universal,” tutur Tjong Mimi, salah satu relawan pendamping tur, yang aktif dalam berbagai misi Tzu Chi.

Relawan Juny Leong tengah menjelaskan poster misi kesehatan Tzu Chi, menguraikan nilai-nilai cinta kasih dan pelayanan tanpa pamrih dalam bidang medis kepada peserta kunjungan.
Teman sekomunitasnya, Juny Leong, turut mengamini, “Anak muda zaman sekarang haus akan makna. Di Tzu Chi, mereka bisa melihat bagaimana nilai-nilai kemanusiaan dijalankan secara nyata dan konsisten. Semoga kunjungan ini menjadi benih kebaikan yang terus tumbuh.”
Kesan mendalam dirasakan Pristicia Ananda Waruwu, pemudi dari GKI Tubagus Angke. Baginya, kunjungan ini membuka jendela baru untuk memahami nilai-nilai Buddhis, khususnya tentang kemanusiaan dan moralitas yang sebelumnya hanya ia kenal dari cerita. Ia terkesan sejak awal, mulai dari bangunan yang megah hingga sambutan hangat yang mengalirkan ketulusan. Namun yang paling membekas adalah filosofi hidup yang bijak, bahwa setiap keputusan diambil dengan penuh pertimbangan dan setiap hari dijalani seolah tak ada hari esok. “Saya ingin membawa pulang semangat untuk hidup dengan niat baik dan membagikan kisah Master Cheng Yen yang menolong tanpa pamrih,” tuturnya, seperti menyematkan harapan di antara langkahnya.
Pristicia (berbaju kuning) dan Rentika (berbaju biru kehijauan) menyimak penjelasan relawan Tjong Mimi mengenai misi pelestarian lingkungan Tzu Chi, termasuk pemanfaatan eco enzyme dalam kehidupan sehari-hari.
Rentika Christyaningsih, teman sejemaatnya, datang dengan niat sederhana, ingin memahami ajaran yang selama ini terasa asing. Namun yang ia temukan jauh melampaui ekspektasi: hening ruang doa yang meneduhkan, dokumentasi aksi nyata yang menggugah, dan untaian kata bijak yang tak hanya menyentuh pikiran, tapi juga mengetuk nurani. “Saya sangat amazed dengan dedikasi para relawan. Mereka memperkenalkan Tzu Chi bukan dengan kata-kata mewah, tetapi dengan ketulusan yang bisa dirasakan,” ucapnya.
Rentika (berbaju biru kehijauan), perwakilan rombongan pemuda-pemudi gereja, menyampaikan terima kasih kepada para relawan Tzu Chi atas waktu, pendampingan, dan sambutan hangat yang telah diberikan sepanjang kunjungan di Tzu Chi Center.
Rieke Tiffani dari GKI Pakis Raya pun merasakan getaran makna yang serupa. Baginya, Tzu Chi Center bukan sekadar tempat, tetapi ruang refleksi. Yang paling membekas di hatinya adalah Rumah Master Cheng Yen di lantai empat, sebuah ruang sederhana yang memancarkan kekuatan welas asih dan tekad yang tak tergoyahkan. “Saya belajar bahwa ketika kita menolong orang lain, kita justru patut berterima kasih kepada mereka. Karena tanpa mereka, kita tidak bisa berbuat baik,” katanya penuh haru.
Namun perjalanan mereka tak berhenti di balik dinding marmer dan narasi inspiratif. Usai menyerap nilai-nilai welas asih dan keteladanan, langkah mereka berlanjut ke Lapangan Banteng, sebuah ruang terbuka di jantung Ibu Kota. Di sanalah semangat yang terhimpun di Tzu Chi Center kembali dihidupkan, melalui 37 paket Lebaran yang dibagikan kepada warga sekitar. Bukan pada banyaknya jumlah paket terletak maknanya, melainkan pada kehangatan yang menyertainya. Dalam diam, tangan yang memberi dan menerima saling menyapa dalam bahasa kasih, menjahit benang-benang kemanusiaan yang menyatukan hati.
Relawan Tzu Chi bersama peserta kunjungan dari GKI Pakis Raya dan GKI Tubagus Angke berfoto di depan relief kehidupan yang terpajang di lobi Ci Bei, lantai 1 Aula Jing Si.
Apa yang mereka saksikan tak menguap dalam hiruk-pikuk kota, dan apa yang mereka dengar tak berlalu sebagai wacana belaka. Nilai-nilai yang ditanam di Tzu Chi Center perlahan menjelma menjadi tindakan, menjadi laku hidup yang nyata. Seperti pesan Master Cheng Yen, “Jangan meremehkan kebaikan kecil, karena samudra pun berasal dari tetes-tetes air.” Dan sore itu, di tengah keramaian ibu kota, tetes-tetes kebaikan jatuh satu per satu, menyatu dalam lautan kasih.
Bagi generasi muda ini, SEPATU bukan sekadar kegiatan satu hari, melainkan perjalanan seumur hidup. Bukan hanya melangkah, tetapi juga menyelami. Bukan hanya berjalan bersama, tetapi juga bertumbuh bersama. Karena kasih sayang, sejatinya, adalah bahasa universal. Dan ketika hati terbuka, perjumpaan pun menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dalam semangat yang sama: menjadi berguna, bagi siapa saja, di mana saja.
Editor: Khusnul Khotimah