Merapi : Menyisakan Pertanyaan (Bag. 1)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Anand Yahya, Riani Purnamasari (He Qi Utara), Veronika Usha, Nadya Iva
 
 

fotoMerapi bukan sekadar sesuatu yang tumbuh, tetapi juga kenyataan hidup yang bermakna kemakmuran dan kemurkaan.

Sore itu, Senin 25 Oktober 2010 Sukarji, relawan Komunitas Lereng Merapi tengah sibuk berkoordinasi dengan para aparat untuk mempersiapkan evakuasi jikalau Merapi meletus. Selain itu, ia juga tengah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari situasi Merapi yang tak dapat diduga.

Sejak beberapa hari sebelumnya data yang terekam dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bahaya Geologi melalui grafik seismografnya menunjukkan kalau Gunung Merapi mulai menunjukkan aktivitas yang mencemaskan dan dalam waktu yang singkat status Merapi terus berubah ke arah yang membahayakan. Keadaan ini tentu saja membuat warga yang tinggal di sekitar lereng Merapi menunggu dengan cemas akan nasib mereka. Begitu juga dengan Sukarji. Pria berusia 42 tahun ini berasal dari Dusun Ngerangkah yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Merapi. Sebagai seorang relawan, ia terus memantau Merapi dengan penuh tanggung jawab. Namun sebagai seorang kepala keluarga, ia juga terus membayangkan segala sesuatunya dengan penuh kecemasan. Akhir-akhir ini Sukarji tak dapat beristirahat dengan tenang. Apalagi setelah mengetahui kalau Merapi akan segera meletus. Maka selama bermalam-malam ia tak bisa tidur dengan nyenyak lantaran batinnya selalu terjaga untuk mendengarkan peringatan bahaya.

Esok paginya Selasa 26 Oktober, Sukarji segera mengingatkan Wakijah istrinya untuk bersiap-siap melarikan diri jika Merapi meletus di sore hari. Wakijah pun menyampaikan pesan ini kepada ayah dan ibunya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Kendati demikian tidak semua masyarakat di lereng Merapi bersedia mengungsikan diri seperti yang dilakukan oleh keluarga Sukarji. Sebagian dari mereka justru memiliki kebiasaan yang unik. Meski Merapi sudah dalam status awas, mereka tidak lantas meninggalkan kampung halamannya sebelum menyaksikan sendiri luncuran piroklastik (awan panas) dari kubah Merapi.

Bagi kebanyakan orang sikap mereka ini mungkin dianggap menantang maut. Tetapi tidak demikian dengan warga di sekitar lereng Merapi, terutama Sajiman. Sajiman yang bertugas sebagai salah satu asisten juru kunci Merapi diangkat sebagai abdi dalem Keraton sejak berusia 25 tahun. Kini diusianya yang ke 47 tahun, ia lebih sering membantu sang juru kunci Merapi – Mbah Marijan untuk mengantarkan sesajen dan membacakan doa di puncak Merapi setahun sekali. Karena itu di saat Sukarji beserta keluarganya sibuk mempersiapkan penyelamatan diri, Sajiman justru tetap tenang menghadapi situasi ini. Baginya bila sang juru kunci tidak turun, maka ia percaya tidak akan terjadi apa-apa pada dirinya. Justru pandangan ini sangat bertolak belakang dengan putra pertamanya Saryono.

foto  foto

Keterangan :

  • Letusan Merapi melontarkan jutaan meter kubik material padat hingga menimbulkan hujan lokal dan merusak hutan serta pertanian. (kiri)
  • Saryono (jaket biru) menilai ayahnya sebagai seorang yang berpendirian teguh pada tugas, loyalitas pada Keraton Yogyakarta, dan religius. (kanan)

Saryono yang telah bekerja di kota Yogyakarta memandang segala sesuatunya secara logika. Sejak pemerintah mengeluarkan peringatan awas pada Merapi, Saryono bersikeras mempertahankan ayahnya untuk tetap tinggal di pengungsian. Namun sang ayah yang teguh pada keyakinan mitologinya menganggap Merapi bukanlah ancaman. Maka di menit-menit terakhir sebelum Merapi meletus, saat di barak pengungsian Sajiman masih berpesan kepada Saryono yang tengah mengambil makanan, “Lek (nak) ini makanan dimakan sedikit. Ini di pengungsian. Kamu tenang saja, bapak mau naik (ke dusun) sebentar,” kata Sajiman.

Tak lama setelah memberikan wejangan, Sajiman pun pergi meninggalkan barak pengungsian menuju dusun. Padahal saat itu Merapi sudah mulai mengeluarkan letusan dan perintah untuk meninggalkan dusun terus didengungkan oleh para aparat. Sedangkan Saryono segera berwudhu untuk menunaikan salat Mahgrib yang kala itu, waktu telah menunjukkan pukul 18.00 Wib. Baru Saryono selesai berwudhu kabar mengerikan datang dari puncak Merapi; gunung itu meletus secara tiba-tiba. Luncuran awan panas telah menerjang Dusun Kinahrejo, Pelemsari, dan Ngerangkah. Kejadian itu membuat banyak warga panik dan berbondong-bondong menuruni gunung untuk menyelamatkan diri.

Saat tidak dapat menemukan sosok ayahnya di antara warga yang baru menyelamatkan diri, keyakinan Saryono pada keselamatan ayahnya mulai memudar. Ia tahu persis bahwa saat itu ayahnya sedang berada di dusun. Selamat dari kepulan awan panas adalah probabilitas (kemungkinan-red) terkecil dari situasi itu.

foto  foto

Keterangan :

  • Masyarakat di sekitar lereng Merapi telah terbiasa dengan karakteristik letusan Merapi. Karenanya saat pemerintah mengeluarkan status awas kebanyakan dari mereka masih tenang mengerjakan pekerjaan sehari-hari.  (kiri)
  • Desa Remame, adalah salah satu desa yang lumpuh akibat hujan debu vulkanik yang deras. Keadaan ini membuat para warganya tak bisa melakukan berbagai aktivitas. (kanan)

Satu jam kemudian setelah debu vulkanik berhenti membara, Saryono bersama tim penyelamat bergegas menuju dusun guna mencari korban meninggal. Di antara timbunan batang pohon, di tepian jalan dusun itulah Saryono menemukan ayahnya telah meninggal terkubur debu vulkanik. Sesungguhnya kesedihan Saryono sudah berada diambang puncak, namun rasa ikhlas dan pasrah menerima keadaan membuat ia tak lagi menitikkan air mata. Ia hanya sigap memeluk erat tubuh ayahnya dan membacakan doa syahadat. Letusan sore itu tak hanya Sajiman yang menjadi korban letusan Merapi, tetapi juga mbah Marijan sang juru kunci dan 30 warga dusun lainnya.

Hari-hari berikutnya Merapi terus melontarkan awan panas, menyemburkan lava pijar hingga membakar 459 hektare Hutan Taman Nasional Gunung Merapi, dan 3100 hektare lainnya rusak akibat debu vulkanis. Pada fase yang lebih mengkhawatirkan pemerintah akhirnya memperluas zona aman bencana Merapi, dari radius 10 km menjadi 20 km. kuatnya letusan membuat jutaan material pasir dan debu mengangkasa hingga 9 kilometer dari puncak Merapi. Akibat letusan, hujan lokal pun terjadi dan 4 kabupaten di wilayah Yogyakarta, yaitu Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten terselimuti debu vulkanik.

Dibandingkan dengan letusan tahun 2006, letusan Merapi kali ini jauh lebih dahsyat. 110 jiwa menjadi korban letusan Merapi. Beberapa di antara mereka adalah para juru kunci yang pada peristiwa letusan sebelumnya selalu luput dari terjangan awan panas. Timbul banyak pertanyaan pada bencana kali ini. Apa yang sesungguhnya terjadi pada Merapi? Alam yang tak lagi bersahabat atau akibat perilaku manusia yang menyimpang hingga menimbulkan kemurkaan Illahi? Tak ada yang tahu. Bahkan ahli vulkanologi sekalipun tak dapat memprediksi aktivitas Merapi.

foto  foto

Keterangan :

  • Debu tebal dan hujan abu menyelimuti Kota Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Karena hujan abu yang sangat tebal ini aktivitas di kota pun menjadi lumpuh.  (kiri)
  • Lava dingin yang turun dari kubah Merapi membuat beberapa sungai yang berhulu di Merapi mengalami peningkatan debit air. (kanan)

Sketsa Merapi
Secara ilmiah Merapi adalah gunung teraktif di dunia dengan karakteristik yang sulit ditebak. Tetapi hanya di sinilah begitu banyak orang yang tinggal dan hidup berdampingan dengan Merapi. Sebuah kedekatan yang sesungguhnya fatal bagi keselamatan puluhan ribu jiwa di lereng Merapi selama ratusan tahun terakhir. Terbakar oleh awan panas, terpanggang oleh lava pijar, tertimbun oleh lava dingin atau kehabisan nafas oleh debu sulfatat adalah bentuk kematian yang mengerikan yang diakibatkan oleh letusan gunung Merapi.

Berdasarkan studi geografi, Merapi adalah gunung yang dibentuk oleh pergerakan magma dari dasar bumi yang mendorong ke atas hingga mematahkan kerak bumi. Dorongan yang bertenaga ini terus mengangkat berbagai material bumi sampai menjulang setinggi 2.968 meter di atas permukaan laut. Di sinilah pertemuan antara Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) dengan dua lempeng tektonik dunia, yaitu Indo-Australia dan Eurasia sebagai zona geologi teraktif di dunia.

Secara geografis lereng sekitar Merapi adalah wilayah yang rawan bencana. Tetapi secara kasat mata lereng Merapi justru menjadi tempat yang teramat subur. Abu vulkanik sisa letusan Merapi menjadi kimiawi yang meningkatkan zat hara tanah. Di tempat ini para petani dengan leluasa menanam berbagai jenis tanaman pangan yang dapat dipanen sepanjang musim. Kondisi ini sangat berbeda dengan kabupaten Gunung Kidul. Petani di kabupaten tetangga ini tidak bisa memanen dan menanam berbagai jenis tanaman pangan sebanyak itu. Selain itu pasir dan batu vulkanik yang dimuntahkan Merapi telah menjadi sumber pendapatan yang dapat menghidupi nafkah warga sekitar.

Bersambung

  
 

Artikel Terkait

Belajar Menjadi Anak Berbudi

Belajar Menjadi Anak Berbudi

23 Februari 2010
Dengan agak canggung, Michelle Wijaya, murid kelas 4 SD BPK Penabur, mencoba baju barunya yang akan digunakannya di Kelas Budi Pekerti bulan depan. “Senang, bisa belajar jadi anak yang baik,” ujarnya.
Secercah Harapan Warga

Secercah Harapan Warga

29 Agustus 2014 Puluhan orang relawan Tzu Chi sudah berdatangan ke acara Bakti Sosial Kesehatan  di hari Selasa 19 Agustus 2014 sejak pukul 06.35 WIB, termasuk  20 orang relawan  asal pondok Pesantren Al Ashiriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor  yang datang membantu acara ini.
Luangkan sedikit ruang bagi diri sendiri dan orang lain, jangan selalu bersikukuh pada pendapat diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -