Merapi : Menyisakan Pertanyaan (Bag. 2)
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Anand Yahya, Riani Purnamasari (He Qi Utara), Veronika, Nadya Iva Abu vulkanis letusan Merapi telah menutup seluruh bangunan Candi Borobudur. Secara filosofi bangunan Borobudur melambangkan tingkat alam kehidupan sebagaimana konsep gunung menurut kepercayaan masyarakat Jawa Tradisional. |
| ||
Masyarakat tradisional Jawa percaya bahwa Merapi memiliki kaitan erat dengan Keraton Yogyakarta dan Samudra Hindia di selatan Yogyakarta. Menurut kisah yang diwariskan secara turun-temurun, dahulu Panembahan Senopati atau Sultan Hamengkubuwono I memiliki istri dari dunia lain yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul dari Samudera Hindia. Karena Kanjeng Ratu Kidul menginginkan agar hubungan itu semakin intim tanpa dipisahkan oleh dunia gaib, maka ia meminta Panembahan Senopati untuk memakan endhog jagad (telur semesta). Ternyata hal ini diketahui oleh seorang Juru Taman yang setia pada Panembahan Senopati. Maka dengan penuh hormat sang Juru Taman itu memohon agar ia saja yang memakan endhog jagad demi keberlangsungan kerajaan Mataram. Setelah memakan endhog jagad, Ki Juru Taman pun berubah menjadi raksasa yang hidup di dunia lain. Melihat kenyataan ini, akhirnya Panembahan Senopati menugasi Ki Juru Taman untuk menjaga kerajaan Mataram dan diberi kedudukan di Gunung Merapi dengan gelar Kyai Sapu Jagat. Karena itu, untuk mengenang jasa Kyai Sapu Jagad dan janji-janji Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, setahun sekali Keraton Yogyakarta selalu mengadakan upacara labuhan yang dilaksanakan di dua lokasi: Parangkusumo untuk menghormati pertemuan antara leluhur Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul dan di puncak Gunung Merapi untuk mengenang jasa Kyai Sapu Jagad. ”Ini sudah menjadi janji-janji antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul untuk menjaga keselamatan Keraton Yogyakarta seisinya, sekeluarganya, sepemerintahannya,” kata Eyang Panji, seorang spiritualis dan pelestari budaya Kejawen.
Keterangan :
Merapi dan Masyarakat Jawa Menurut Eyang Panji, Merapi bukan sekadar sesuatu yang tumbuh, tetapi telah menjadi bagian dari kenyataan hidup dan sumber bagi kehidupan itu sendiri. Merapi dikonotasikan sebagai sesuatu yang subur, penuh kekayaan, dan rumah bagi jutaan makhluk serta tumbuhan. Secara umum Merapi menggambarkan profil lapisan permukaan bumi yang menonjol. Mempunyai sifat alamiah yang stabil, menggambarkan tempat yang tinggi, sejuk, dan beroksigen tipis. Para leluhur menempatkan Merapi sebagai tempat pertapaan orang-orang suci. Karena di tempat beroksigen tipis itu aktivitas otak menjadi berkurang hingga pikiran menjadi lebih meditatif. Dalam arsitektur bangunan Jawa, konsep gunung dipakai pada setiap bangunan Candi. Contohnya di Candi Borobudur yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah nampak seperti bukit dengan sawah yang bertingkat-tingkat. Pada bagian puncaknya Borobudur mengerucut sebagai perlambang kekosongan – suatu penyatuan antara mikrokosmos dengan makrokosmos. “Kosong adalah isi, isi adalah kosong itulah makna dari stupa utama Candi Borobudur,” jelas Eyang Panji.
Keterangan :
Selanjutnya, Eyang Panji menjelaskan kalau tiga bagian utama dari Candi Borobudur merupakan simbol dari tiga alam kehidupan, yaitu Kamadhatu (alam bawah tempat manusia biasa hidup), Rupadhatu (alam antara tempat manusia meninggalkan segala keduniawian), dan Arupadhatu (alam atas tempat bersemayamnya para dewa). Kesamaan inilah yang terdapat pada Merapi. Semakin mengarah ke puncak, gunung itu semakin sunyi. Kehidupan hanya ada di kaki gunung. Merapi yang berada di utara kota Yogyakarta telah diibaratkan sebagai surga. Sedangkan Samudera Hindia yang berada di selatan diibaratkan sebagai pengharapan pada terbentuknya jiwa yang teguh dan hati penuh welas asih bak samudera luas. Maka dari semua berkah dan kemurkaannya, sesungguhnya Merapi menyimpan banyak pengetahuan dan filosofi hidup. ”Di balik gunung ada sengsara yang membawa nikmat atau sebaliknya. Letusan yang membahana serta semburan lava pijar yang berisikan pasir dan batu, sesungguhnya berkah bagi manusia di kemudian hari. Tetapi yang seringkali terjadi manusia selalu lupa pada Sang Pencipta dan merusak alam. Yang merusak alam pasti kena ganjaran oleh Yang Maha Kuasa,” ujar Eyang Panji. Kenyataannya selama dua dekade terakhir lereng-lereng di Gunung Merapi telah berubah menjadi tempat peristirahatan para wisatawan. Hotel dan villa mewah menjamur di setiap sudut yang memiliki pandangan terbaik ke arah Merapi. Lapangan golf ekslusif berlatarkan Merapi atau penambangan pasir dalam porsi yang tidak semestinya menjadi gambaran manusia telah lupa diri dan merusak alam. Ini disebabkan orang-orang modern memandang segala sesuatu hanya dari sudut ekonomi dan kenikmatan. “Yang dilihat mereka hanya dunia kecil. Dunia yang dibaca dan dilihat. Jadi yang mereka lihat hanya wajahnya saja,” jelasnya.
Keterangan :
Masyarakat tradisional Jawa percaya bahwa ulah manusia dapat memicu bencana alam. Letusan Merapi kali ini bisa dianggap sebagai pertanda ketidakharmonisan antara alam dengan manusia. Menurut Eyang Panji, sesungguhnya masyarakat Jawa memiliki 4 filosofi, yaitu dodok (jongkok), seleh (meletakkan), lungguh (duduk), jumeneng (membawa diri). Yang artinya sebelum seseorang duduk ia terlebih dahulu harus berjongkok, meletakkan kedua tangannya, lalu duduk bersila. Dan setelah duduk pun, seseorang harus bisa membawakan dirinya. Intinya filosofi ini mengajarkan bahwa dalam hidup seseorang harus bisa membawa diri, pandai menghormati alam, dan masyarakat demi terciptanya keharmonisan hidup. Namun, nampaknya semua budaya adiluhung itu sudah tidak lagi memadai di zaman modern ini. Banyak orang yang telah melupakan batin, jiwa, dan rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa demi kekayaan duniawi. Pepatah Jawa mengatakan Saiki zaman edan yen ora edan ora keduman. Sa bejo-bejone wong edan iki, becik wong eling lan waspada (Sekarang jaman sudah "edan" = gila kalau tidak ikut gila kita tidak kebagian. Tapi seberuntung-beruntungnya orang gila ini, masih bagus orang yang masih ingat dan waspada). Letusan Merapi kali ini adalah pesan bahwa orang-orang yang hidup berdampingan dengan alam harus menjaga dan melestarikan alam. Mengambil manfaat secara proporsional dari alam tanpa meninggalkan kerusakan. Kesadaran itu akan menuntun banyak orang untuk menjadi sosok manusia berkesadaran spiritual tinggi yang selalu selaras, sinergis, dan harmonis dengan hukum alam semesta. Karenanya, Eyang Panji berpesan, manusia harus kembali pada kemurnian hati, waspada, dan menghormati alam. Di balik kemakmurannya, Merapi menyimpan kearifan yang mendalam mengenai kehidupan manusia. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengetahui pesan ini dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. Tentu saja Merapi bukan sekadar gunung yang dikagumi dari balik jendela atau serambi villa. Tetapi dari letusan Merapi kali ini meyakini bahwa manusia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan alam. Pemahaman manusia kepada alam sesungguhnya teraih jika manusia mau merendahkan hati, membuang ego, dan melepaskan ketamakan. Karena disadari atau pun tidak, nasib manusia bergantung pada lingkungannya. Seseorang bisa merasakan keindahan alam serta keangungannya jika ia menjadikan alam sebagai sahabat dan menghormati alam sebagai kenyataan hidup. Tamat | |||