Penerima bantuan Tzu Chi, pasangan suami istri, Maladia Manalu (58) dan Isden Sinaga (Alm) hidup sederhana, tidak memiliki anak, dan finasial juga terbatas. Kesederhanaan ini berubah secara tiba-tiba ketika sang suami menderita stroke pada tahun 2010 yang mengakibatkan kebebasan beraktivitas dan ekonomi keluarganya mengalami kesulitan.
Dalam salah satu ceramahnya, Master Cheng Yen berkata bahwa “Penyakit merupakan sumber kemiskinan. Orang yang menderita penyakit tidak akan mampu mencari nafkah, dan orang yang kaya pun bisa jatuh miskin jika digerogoti penyakit.” Hal tersebut kerap terjadi dalam kehidupan manusia.
Seperti yang dialami oleh penerima bantuan Tzu Chi, pasangan suami istri, Maladia Manalu (58) dan Isden Sinaga (Alm) yang tinggal di Jl. Telaga Riau, Kec. Karimun, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Kehidupan mereka yang sederhana, tidak memiliki anak, dan finasial juga terbatas. Kesederhanaan ini berubah secara tiba-tiba ketika sang suami menderita stroke pada tahun 2010 yang mengakibatkan kebebasan beraktivitas keluarganya menjadi terganggu. Sejak saat itu, sang istri dengan hati yang penuh cinta, menjadi pilar keluarga dan berkomitmen untuk merawat sang suami.
Sejak sang suami mengalami stroke, Maladia Manalu dengan hati yang penuh cinta, menjadi pilar keluarga dan berkomitmen untuk merawatnya.
Hari demi hari Maladia Manalu melawan kelelahan fisik dan emosional. Berbagai pihak mulai bermunculan, mereka menunjukan rasa iba dengan memberikan harapan akan mensejahterakan mereka, tetapi semua itu hanya janji-janji manis. Keadaan tersebut membuatnya menjadi pribadi yang keras, berpikir tidak akan lagi membuka hatinya dan mempercayai janji-janji manis dari siapapun lagi.
Kondisi sang suami yang mengalami stroke membuat ekonomi keluarga mereka menjadi terpuruk. Maladia harus mencari nafkah sebagai tukang bersih-bersih rumah. Pekerjaan ini tidak memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Setiap bulan, ia hanya mendapatkan penghasilan sebesar 300 hingga 500 ribu. Namun pekerjaan ini sangat fleksibel dan cocok baginya karena hanya bekerja paruh waktu sehingga ia bisa kembali ke rumah dalam waktu beberapa jam untuk merawat sang suami yang kesulitan dalam melakukan aktivitas.
Tidak hanya menjadi tulang punggung keluarga, ia juga harus menjadi perawat yang setia selama bertahun-tahun lamanya. Ia mempelajari terapi fisik dari dokter demi membantu sang suami untuk pulih. Selama bertahun-tahun merawat sang suami, kulitnya berubah menjadi coklat legam. Namun malah kulit sang suami menjadi halus dan merona karena kesungguhannya dalam merawat.
Hingga pada tahun 2018, relawan Tzu Chi hadir untuk meringankan beban ekonomi keluarga mereka. Bantuan yang diberikan berupa beras, uang santunan, biaya pengobatan dan popok dewasa.
Hari demi hari, ia melawan kelelahan fisik dan emosional. Ia menolak semua rasa putus asa yang mengintainya. Berbagai pihak mulai bermunculan, mereka menunjukan rasa iba, merekam kehidupan mereka, memberikan harapan akan mensejahterakan mereka, tetapi semua itu hanya janji-janji manis. Ia kecewa seakan-akan kondisi keluarga mereka dieksploitasi untuk tontonan khalayak ramai. Keadaan ini membuatnya menjadi pribadi yang keras, berpikir tidak akan lagi membuka hatinya dan mempercayai janji-janji manis dari siapapun lagi.
Hingga pada tahun 2018, relawan Tzu Chi mengunjungi mereka, awalnya ia amat kesal dengan kedatangan relawan dikarenakan tidak butuh iba dari pihak manapun, ia tidak perlu dikasihani, lagipula pasti relawan-relawan ini sama saja dengan yang sebelumnya, hanya memberikan harapan palsu. Namun para relawan berhasil membuktikan yang sebaliknya, para relawan merangkulnya dan memberi dukungan layaknya sebagai sahabat, atau bahkan keluarga, sesuatu yang selalu ia dambakan. Bantuan yang diberikan Tzu Chi kepada keluarganya berupa beras, uang santunan, biaya pengobatan dan popok dewasa.
Tidak hanya dukungan materiil, relawan juga memberikan dukungan moril agar mereka tetap semangat dalam menghadapi ujian hidup yang diberikan oleh Tuhan.
“Pada waktu itu saya percaya dan terus berdoa kepada Tuhan. Rupanya inilah jalan yang terbuka biar saya bisa merasa agak ringan sedikit. Kalau dipikir-pikir dari kehidupan saya sehari-hari, memang saya tidak bisa membiayai suami saya. Sebab, yang dibutuhkan suami saya tidak hanya makan, tetapi juga popok, dan kalau gatal badannya, harus beli bedak dan pakai obat lagi. Sungguh luar biasa perasaan saya, makanya saya mengucap syukur dan berdoa semoga sukses yayasan ini,” ungkap Maladia Manalu sembari menangis terenyuh.
Sukmawati (51) relawan Tzu Chi yang menangani kasus ini sejak awal merasa empati dengan kondisi keluarga ini saat melakukan survei ke rumah. Walaupun tidak disambut baik oleh istirnya, dengan cinta kasih, relawan perlahan-lahan membuka pintu hatinya berubah menjadi kebahagiaan.
"Saat kita survei, kita sudah melihat kondisi mereka. Kita sangat terharu dan mempertimbangkan bahwa ini memang layak untuk dibantu. Bapak Isden Sinaga tidak punya anak, terus memang tidak ada yang cari nafkah sama sekali, kecuali ibu Maladia. Ia terkadang dipanggil untuk kerja oleh tetangga, bantu masak saja. Benar, awal kita ke rumah beliau, tidak ada senyumnya. Perlahan-lahan kita dekati, lalu minta ia sharing, terus kita rutin berkunjung seperti keluarga begitu lah. Kadang kita peluk beliau, kadang kita juga bercanda tawa bersama," ungkap Sukmawati.
Sukmawati (51) relawan Tzu Chi yang menangani kasus ini sejak awal merasa empati dengan kondisi keluarga ini saat melakukan survei ke rumah. Walaupun tidak disambut baik oleh istirnya, dengan cinta kasih, relawan perlahan-lahan membuka pintu hatinya berubah menjadi kebahagiaan.
Pada tahun 2020, suaminya berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, kepergian sang suami meninggalkan kesedihan mendalam baginya. Di setiap kunjungan ke rumah, relawan selalu memberikan perhatian kepadanya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Akhirnya, ia mulai mencari aktivitas untuk mengalihkan pikirannya dengan menanam sayuran yang banyak dan subur di depan halaman rumah. Hasil panen pun dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Relawan turut membantu menjualkan hasil panennya dengan menyisihkan Rp 5.000 per kilo dari hasil penjualan untuk didonasikan ke Tzu Chi dengan niat membantunya menanamkan benih kebajikan dalam membantu sesama yang membutuhkan.
“Aku berdoa, memang betul-betul ini Tuhan, tunjukan Tuhan, saya sudah pasrah. Tetapi itulah mukjizat Tuhan, yayasan (Tzu Chi) membantu sampai sekarang. Makanya suami saya bisa dibawa untuk berobat, bisa saya urus sampai bagus-bagus, sampai sepuluh tahun sakit. Jadi Puji Tuhan, yayasan itulah yang kurasa yang paling banyak berkorban buat keluarga aku, sampai dia meninggal bahkan sampai sekarang, memang luar biasa yayasan,” ungkap Maladia sembari menangis terenyuh.
Pada tahun 2020, suaminya berpulang ke sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, kepergian sang suami meninggalkan kesedihan mendalam baginya. Untuk mengalihkan pikiran atas kepergian sang suami, ia mulai mencari aktivitas dengan menanam sayuran yang banyak dan subur di depan halaman rumah.
Langkah pertama Tzu Chi dimulai dari misi amal dengan berpedoman pada ajaran dan niat luhur Buddha yaitu, welas asih kepada sesama tanpa harus sedarah serta sependeritaan dan sepenanggungan, dan menjunjung tinggi komitmen demi ajaran Buddha, demi semua mahkluk yang diamanatkan oleh Master Yin Shun, guru dari Master Cheng Yen.
Master Cheng Yen menyadari bahwa niat baik harus diwujudkan dengan berbuat baik pada sesama. Rasa empatinya pada orang-orang miskin dan menderita, membuat beliau bertekad untuk berbuat sesuatu demi membantu mereka.
Tzu Chi tidak hanya mengutamakan pemberian bantuan dan keberhasilan bantuan saja, namun lebih memperhatikan motivasi kemampuan bajik setiap manusia. Menginspirasi yang mampu untuk menolong yang kurang mampu artinya berupaya agar orang yang mampu merasakan sukacita karena bersumbangsih, serta belajar membantu yang kurang mampu dengan menyumbangkan cinta kasih, hingga memperoleh makna dalam kehidupannya.
Hasil panen sayuran dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Relawan turut membantu menjualkan hasil panennya dengan menyisihkan Rp 5.000 per kilo dari hasil penjualan untuk didonasikan ke Tzu Chi dengan niat membantunya menanamkan benih kebajikan dalam membantu sesama yang membutuhkan.
Hal ini menjadi pedoman bagi relawan, Sukmawati (51) dalam menangani setiap kasus penerima bantuan Tzu Chi. “Mungkin dia sudah kecewa sama siapapun yang datang. Awalnya kita tidak tahu, kog muka ibu ini serem banget. Jujur saja iya, mungkin kita sudah biasa menangani kasus seperti ini, intinya hati kita harus tulus biar mereka juga merasakan ketulusan kita. Setiap mau survei kasus, kita harus memilki rasa welas asih dan empati terhadap setiap kasus yang kita kunjungi,” ungkap Sukmawati.
Editor: Metta Wulandari