Paket Lebaran 2019: Perhatian untuk Warga Bantargebang

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto


Kusri tengah memilah barang-barang bisa dijual kembali. Setelah sang suami mengumpulkannya dari TPST Bantargebang, tugas Kusri di rumah untuk memilahnya sebelum dijual.

Hawa tak sedap langsung membekap ketika saya mulai memasuki daerah pemukiman di wilayah Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.  Semakin dekat, bau tak sedap itu semakin tajam. Seolah-olah ada hukum gravitasi (tarik-menarik) yang kuat di sana, semakin kita hampiri, semakin kuat pula bau itu menghinggapi. Setelah beberapa lama, bau itu pun mulai terasa biasa. Mungkin itu pula yang membuat ratusan warga di rumah-rumah petakan itu bisa akrab dengan bau dan lingkungan yang kotor. Bau dan kumuh pada awalnya, dan terbiasa sesudahnya.

Ada ratusan rumah berderet di situ. Bentuknya semi permamen dan rata-rata sama kondisinya. Rumah-rumah ini dihuni oleh mereka yang berprofesi sebagai pemulung, mengais rezeki dari gunungan sampah yang ada di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi. Mereka rata-rata adalah warga pendatang (dari luar Bekasi), meski seiring berjalannya waktu banyak pula warga sekitar yang kemudian ikut bekerja di “Bulog” (sebutan warga sekitar untuk Bantargebang –red). Bagi warga pendatang, Bantargebang bukanlah gunungan sampah, tetapi “gunungan emas” bagi mereka ketimbang memilih bertahan di kampung yang tak lebih baik kondisinya. Umumnya mereka yang memilih profesi “penambang” di Bantargebang adalah mereka yang tak lagi memiliki lahan untuk digarap, atau tidak memiliki pekerjaan tetap di kampung halamannya.

Sudah delapan tahun Kusri dan keluarga tinggal di wilayah sekitar TPST Bantargebang. Meski kurang layak, setidaknya di sini mencari uang lebih mudah ketimbang di kampung halaman.

Iyas (33) dan Kusri (33) salah satunya. Pasangan suami-istri asal Indramayu, Jawa Barat ini sudah delapan tahun tinggal di perbatasan DKI Jakarta dan Jawa Barat ini. “Meski kondisinya begini, tetapi masih mending. Di sini mah buat nyari duit sehari-hari lebih enak ketimbang di kampung,” kata Kusri saat saya temui di rumahya, Minggu, 26 Mei 2019. Di rumah petakan yang ia sewa 300 ribu per bulan ini Iyas dan Kusri tinggal bersama ketiga anaknya. Untuk uang sewa rumah, mereka bisa membayarnya di ujung bulan, mengingat pemilik rumah adalah Bos Iyas. Konsekuensinya, Iyas tak boleh menjual barang-barang hasil memulungnya kepada pihak lain.

Semua anak-anak Iyas dan Kusri lahir di sini. “Pas habis nikah saya langsung diajak suami ke sini,” kata Kusri tersenyum. Bahkan, dalam satu deretan rumah petakan ini, beberapa diantaranya merupakan saudara dari pihak Iyas. Jika pun bukan saudara, minimal semua saling mengenal dan akrab karena berasal dari daerah yang sama.

Kusri menuruti permintaan putrinya untuk memasak mi. Mi instan ini salah satu bahan sembako yang diterima dari Tzu Chi, selain beras, dan minyak goreng.

Hidup adalah sebuah pilihan, dan pilihan bagi Iyas dan Kusri adalah memilih bertahan hidup di Bantargebang. Mimpi pasti ada, seperti keinginan untuk menikmati hari tua di kampung halaman. “Ya dari sedikit demi sedikit penghasilan kita sisihkan buat tabungan, syukur-syukur bisa buat beli sawah,” kata Kusri. Untuk mewujudkannya, Iyas saban hari bekerja sejak pukul 7 pagi hingga 4 sore. Hasilnya tentu tak langsung berupa uang, tetapi kumpulan barang-barang bekas yang laku dijual, seperti botol plastik, botol kaca, kardus, besi-besi tua, dan barang-barang lainnya.  Hasil “nambang” sang suami kemudian dipilah oleh Kusri sesuai jenisnya. Setelah itu, dua minggu sekali barang-barang ini dijual. Sekali jual mereka bisa mengantungi sekitar 1,5 juta rupiah. “ya cukup nggak cukup harus cukup. Malah harus bisa nyimpan,” kata Kusri. Pengeluaran terbesar keluarga ini memang dari konsumsi yang rata-rata 50 ribu perhari. Karena itu ketika mendapatkan bantuan Paket Lebaran berupa sembako dari Tzu Chi, Kusri dan 142 tetangganya merasa sangat bersyukur. “Alhamdulillah jadi bisa sedikit membantu, apalagi ini mau Lebaran,” kata Kusri, “terima kasih, semoga yayasan (Tzu Chi) bisa terus maju.”

Menjalin Jodoh Baru, Merawat Jalinan Kasih Sayang
Kusri dan tetangganya adalah salah satu warga penerima bantuan Paket Lebaran dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ada 500 paket yang dibagikan di SDN Ciketing Udik 01, Pangkalan 6, Kecamatan Bantergebang, Bekasi, Jawa Barat. Denasari, relawan Tzu Chi yang menjadi koordinator kegiatan ini mengatakan dipilihnya daerah ini salah satunya adalah melihat kondisi kehidupan warga yang mayoritas bekerja sebagai pemulung. “Ya semoga bisa sedikit meringankan beban kehidupan warga,” kata Denasari, yang juga tinggal di Bekasi.

Sebelum pembagian Paket Lebaran, warga mengikuti Sosialisasi Tzu Chi dijelaskan tentang makna Satu Keluarga.

Dalam pemberian bantuan ini, selain melibatkan 26 relawan Tzu Chi Bekasi, Dena juga merangkul 43 relawan lain dari Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), dan 19 relawan dari Kader PKK dan Karang Taruna setempat. “Semakin banyak yang terlibat akan semakin baik. Harapan ke depannya semoga bisa menumbuhkan semangat-semangat kerelawanan di wilayah ini,” kata Dena berharap. Jika itu terwujud maka wilayah ini bisa menjadi satu potensi daerah binaan Tzu Chi.

Kegiatan ini bisa berjalan baik dan lancar salah satunya adalah berkat kesediaan Aminudin, Kepala SDN 01 Ciketing Udik yang mengizinkan sekolahnya menjadi tempat pembagian Paket Lebaran. “Saya sangat mendukung. Pertama sekolah ini adalah milik masyarakat Ciketing Udik dan Tzu Chi memberikan bantuan untuk mereka, ini bagus sekali karena mayoritas warga di sini adalah pemulung,” kata Aminudin. Ia pun mengapresiasi cara kerja relawan yang menurutnya sangat rapi, mulai dari perencanaan, koordinasi, sampai saat pembagian yang berlangsung lancar dan tertib.

Ada 500 Paket Lebaran yang dibagikan, dan 143 diantaranya diberikan kepada mereka yang bekerja sebagai pemulung.

Selain menjalin jodoh dengan warga sekitar, dalam kegiatan ini Tzu Chi juga kembali merajut jalinan jodoh dengan dua orang penerima bantuan Tzu Chi: Handoko dan Sintia Dewi. Handoko adalah penerima bantuan pengobatan Tzu Chi pada tahun 2000 lalu, sedangkan Sintia Dewi adalah penerima bantuan beasiswa Tzu Chi (2013 – 2016). Keduanya adalah warga Bekasi.

Handoko dulu mengalami kecelakaan yang mengakibatkan salah satu kakinya harus diamputasi. Berkat bantuan Tzu Chi, mulai dari bantuan biaya pengobatan hingga pemberian kaki palsu, kini Handoko sudah bisa beraktivitas kembali. Ia kini sudah bekerja dan juga berumah tangga. “Bersyukur bisa dibantu Tzu Chi, sekarang saya bisa hidup normal,” ungkapnya. Hampir setiap ada kegiatan Tzu Chi di Bekasi, Handoko selalu menyempatkan diri untuk bergabung. “Ya dulu saya dibantu, sekarang saya coba membantu sesuai kemampuan saya,” katanya.

Sintia Dewi, salah satu anak asuh Tzu Chi yang kini telah mandiri dan terus menggenggam jalinan jodoh dengan menjadi relawan Tzu Chi.

Sementara Sintia mendapatkan beasiswa dari Tzu Chi saat di SMK Ananda Bekasi. Lulus dari sekolah menengah kejuruan, Sintia langsung mendapatkan pekerjaan. Ia diterima bekerja sebagai tenaga keuangan di salah satu perusahaan di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur. Setelah kurang lebih tiga tahun bekerja, semangatnya untuk melanjutkan studi kembali muncul. Ia pun berinisiatif untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Indonesia di Bekasi dengan biaya sendiri. “Ya mesti bisa bagi waktu aja. Pulang kantor langsung kuliah. Kalo pas minggu ada waktu ya ikut kegiatan Tzu Chi,” ungkapnya.

Di tengah kesibukannya antara bekerja dan kuliah, nyatanya Sintia masih menyempatkan diri untuk hadir dalam berbagai kegiatan Tzu Chi. “Ya mungkin karena memang sudah jalinan jodoh ya,” kata Sintia saat ditanya alasannya menjadi relawan Tzu Chi, "lagi pula kegiatan sosial ini kan ladang berkah buat diri kita juga. Kalau menghimpun karma baik kenapa ditunda-tunda.” 

Editor: Yuliati


Artikel Terkait

Paket Lebaran 2019: Mendekap Paket Lebaran Tzu Chi dengan Sukacita

Paket Lebaran 2019: Mendekap Paket Lebaran Tzu Chi dengan Sukacita

20 Mei 2019

Menjelang lebaran, hampir tiap komunitas relawan Tzu Chi membagikan paket lebaran bagi masyarakat yang kurang mampu. Kemarin, Minggu 19 Mei 2019, relawan di Komunitas He Qi Timur membagikan 900 paket lebaran di tiga tempat di Cilincing Jakarta Utara. Paket lebaran ini berisi 10 kilogram beras, 1 kilogram beras merah, 1 liter minyak goreng, serta 20 bungkus DAAI Mi.

Paket Lebaran 2019: Senyum Bahagia di Bulan Ramadan

Paket Lebaran 2019: Senyum Bahagia di Bulan Ramadan

21 Mei 2019
Pada Minggu, 19 Mei 2019, Tzu Chi Indonesia membagikan Paket Cinta kasih Lebaran 2019 di kampus UNUSIA, Parung, Bogor. Kegiatan ini mendistribusikan 500 paket untuk warga yang membutuhkan di sekitar kampus UNUSIA.
Paket Lebaran 2019: Menjalin Jodoh Baik Di Bulan Penuh Berkah

Paket Lebaran 2019: Menjalin Jodoh Baik Di Bulan Penuh Berkah

22 Mei 2019
Relawan di Komunitas He Qi Barat 1 membagikan paket cinta kasih bagi staf keamanan dan kebersihan lingkungan Citra Garden 5 Cengkareng Jakarta Barat, Minggu, 19 Mei 2019. Pembagian ini berbarengan dengan kegiatan pelestarian lingkungan. 
Keharmonisan organisasi tercermin dari tutur kata dan perilaku yang lembut dari setiap anggota.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -