Pasien Juga Manusia

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoDengan mengikuti kunjungan kasih, Bong Bu Jan kini dapat lebih mensyukuri karunia yang ia peroleh. Lewat kegiatan ini, ia berkeyakinan dapat memberi inspirasi bagi para pasien lainnya.

Kunjungan relawan Tzu Chi kepada para pasien penerima bantuan pada hari Minggu tanggal 28 Februari 2010 lalu, membuat saya teringat kembali pada masa-masa kuliah di fakultas Psikologi. Di tingkat akhir, kami yang mempelajari ilmu kejiwaan diwajibkan untuk melakukan kunjungan ke beberapa rumah sakit jiwa. Kegiatan ini tak lain bertujuan untuk mempraktikkan teori-teori yang sudah dipelajari sekaligus membiasakan diri terhadap perilaku pasien gangguan jiwa.

Kebetulan waktu itu saya mendapatkan tugas untuk melakukan kunjungan ke Rumah Sakit Jiwa Pusat di Bogor. Begitu tiba di sana, rombongan saya langsung diberikan penjelasan oleh para dokter dan perawat rumah sakit mengenai latar belakang sosial dan kondisi pasien di rumah sakit itu. Setelah itu barulah kami diperkenankan untuk mengunjungi bangsal-bangsal rumah sakit dan sekadar mengobservasi perilaku pasien atau berdialog dengan mereka.

Sebuah Pengalaman
Salah satu teman saya adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan berpenampilan menarik. Sama halnya seperti di kampus atau di mana pun ia berada. Saat di rumah sakit ini, ia juga menjadi primadona. Kecantikannya telah menjadi magnet yang menarik banyak perhatian setiap pasien yang melihatnya. Makanya tak heran bila banyak pasien yang mencuri pandang atau berlama-lama menatapnya.

Ketika kami mulai mengunjungi bangsal, tiba-tiba dari balik jeruji besi muncul seorang wanita berambut kusut. Tubuhnya gemuk dan wajahnya tembam dengan polesan bedak yang sangat tebal. Dua buah blush on (pewarna pipi) berwarna merah merona berbentuk bulat menempel di kedua pipinya yang cabi (tembam). Hal itu ditambah lagi dengan pulasan gincu yang meluas melewati bibirnya, membuat wanita itu lebih mirip badut ketimbang seorang wanita pesolek.

Sambil tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang putih, ia menjulurkan tangannya seraya berkata, “Mbak yang cantik kenalan dong sama saya.” Teman saya langsung terkejut mendengarnya. Saya melihat ada kekhawatiran di wajah teman saya. Maka Seolah tak mendengar apa yang diucapkan oleh pasien itu, teman saya segera memalingkan wajah dan mempercepat langkahnya meninggalkan pasien itu.

foto  foto

Ket : - Menurut Johny, Bong Bu Jan langsung aktif di kegiatan kunjungan kasih setelah ia sembuh dari               penyakitnya. Rasa syukurnya pun ia curahkan, tidak hanya dalam mengikuti kegiatan tetapi juga               menjadi donatur Tzu Chi. (kiri).
         - Kunjungan kasih adalah salah satu kegiatan yang bertujuan untuk membangun hubungan              kekeluargaan para relawan Tzu Chi dengan para pasien seraya menumbuhkan kepedulian mereka.              (kanan)

Namun baru beberapa langkah ia maju ke depan, pasien itu kembali berteriak, “Mbak yang cantik,” panggilnya. “Kenapa mbak tidak mau kenalan sama saya, apa karena saya gila? Biar gila, saya kan juga manusia,” keluhnya.

Seketika itu, langkah teman saya langsung terhenti. Tak ada kata yang terucap dari balik bibirnya yang mungil. Hanya ekspresi malu dan tatapan penuh arti terpancar dari balik bola matanya yang sayu. 

Memanusiakan Pasien
“Saya juga manusia” itulah kalimat yang selalu terngiang diingatan saya, bila bertemu dengan orang-orang yang mengalami kekurangan. Dan tema ini pula yang selalu diusung oleh relawan Tzu Chi setiap kali mereka melakukan pendampingan pasien atau menjenguknya. “Pasien penerima bantuan adalah manusia yang harus dikasihi. Kita harus menghargainya, mengasihinya, dan jangan menyinggung perasaannya dengan mengorek luka lama,” demikian yang dikatakan Johny kepada beberapa relawan Tzu Chi sebelum berangkat manjalankan kunjungan kasih.

Hari itu Minggu, 28 Februari 2010 bertempat di gedung Sekolah Cinta Kasih, Cengkareang sebanyak 27 relawan Tzu Chi dari He Qi barat bersiap untuk melakukan kunjungan kasih ke beberapa pasien yang pernah dibantu oleh Tzu Chi. Menurut Sutrisno salah satu relawan kasus yang ikut hadir pada hari itu. Kunjungan kasih secara bersama-sama ini sesungguhnya memiliki tujuan, yaitu membangun kekeluargaan dan membangkitkan kepedulian terhadap sesama.

Dari saling memperhatikan dengan penuh ketulusan dan dihargai layaknya satu keluarga inilah membuat Bong Bu Jan yang semula sebagai pasien penerima bantuan, kini bersama dengan relawan lainnya turut aktif dalam kegiatan kunjungan kasih.

Setelah sekian lama merasa putus asa oleh penyakit yang dideritanya, kini semangat hidup Bong Bu Jan kembali bersemi seiring dengan tumbuhnya kepedulian terhadap sesama. Semua ini tidaklah muncul begitu saja di dalam dirinya. Melainkan melalui sebuah proses yang ia alami sendiri sebagai suatu pengalaman yang mengesankan akan arti menghargai dan mengasihi terhadap sesama. “Selama saya sakit, relawan Tzu Chi selalu datang memperhatikan saya. Tak ada diantara mereka yang mencemoohkan saya, mereka semuanya memperhatikan saya seperti dalam satu keluarga,” katanya.

foto  foto

Ket : - Sutrisno saat bersama Agus, pasien penerima bantuan sepatu penunjang kaki. Sebelumnya,             Agus tidak bisa berjalan karena tulang kakinya yang tidak simetris. (kiri)
       - Kegiatan kunjungan kasih rutin dilaksanakan setiap satu bulan sekali. Sebagai pembuka kegiatan,             para relawan pun melakukan bahasa isyarat tangan berjudul satu keluarga. (kanan)

Semuanya Berawal
Penyakit getah bening yang diderita selama beberapa tahun telah membuat Bong Bu Jan merasa putus asa. Semula penyakit ini berawal dari sakit gigi biasa yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah benjolan kecil di rahang kiri bagian bawah. Bong Bu Jang yang tidak memahami kesehatan medis, lantas mengabaikan kondisinya. Pengobatannya pun hanya ia lakukan dengan pemijatan.

Namun semakin lama diabaikan, benjolan ini justru semakin tumbuh menjadi lebih besar dan mulai mengganggu penampilan Bong Bu Jan. Saudara-saudara Bong Bu Jan menyarankan agar ia menjalani pengobatan alternatif. Sebab menurut mereka pengobatan medis yang umumnya melalui jalan operasi dapat merugikan diri Bong Bu Jan. “Menurut mereka jangan dioperasi nanti sarafnya bisa lari ke otak dan bisa lumpuh,” kata Bong Bu Jan.   

Dari kepercayaan inilah akhirnya Bong Bu Jan menjalani pengobatan alternatif ke berbagai daerah. Dari pelosok Kalimantan sampai ke pelosok Jawa Barat telah ia sambangi demi menemukan pengobatan alternatif yang pas. Namun kenyataannya selama setahun ia mencari pengobatan alternatif yang tepat, selama itu pula Bong Bu Jan tak memperoleh kesembuhan. Justru semakin hari, dirinya semakin lemah oleh benjolan di lehernya yang semakin besar dan tak henti-hentinya mengeluarkan cairan berbau tak sedap. Selera makan Bong Bu Jan menjadi turun drastis karena penyakit itu tidak hanya meninggalkan luka dan lubang-lubang di leher, tetapi juga memberikan rasa sakit yang amat sangat.  

Di tengah ketidakberdayaannya karena penyakit dan kondisi keuangan yang semakin menipis lantaran banyak pekerjaannya yang terlantar. Salah satu rekan usahanya menyarankan agar Bu Jan mengajukan permohonan ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Namun pengetahuannya yang tidak mendalam terhadap Tzu Chi membuat ia menolak untuk mengajukan permohonan. Didorong oleh kondisi yang semakin parah, dari hari ke hari akhirnya Bong Bu Jan memberanikan diri untuk mengajukan permohonan pengobatan ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi di Mangga Dua.

Dari permohonan pengobatan inilah akhirnya Bu Jan bertemu dengan Johny relawan Tzu Chi. Johny yang bertugas sebagai relawan pendamping selalu memberikan perhatian dan semangat kepada Bu Jan yang saat itu sudah memiliki pandangan yang pesimis terhadap dirinya. Bahkan Bu Jan sudah berencana akan kembali ke kampung halamannya di Kalimantan Barat, karena ia merasa usianya yang tak akan lama lagi.

Berkat kasih sayang dan perhatian inilah akhirnya Bu Jan berbesar hati untuk menjalankan pengobatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah dilakukan biopsi selama beberapa minggu akhirnya kemoterapi Bong Bu Jan mulai dilaksanakan pada pertengakan tahun 2009. Baru 5 kali kemoterapi diberikan, kondisi Bong Bu Jan terlihat semakin membaik. Benjolannya sudah semakin mengecil dan tak lagi mengeluarkan cairan berbau tak sedap. Setelah selesai menjalani 6 kali kemoterapi dokter yang menanganinya menyatakan Bu Jan telah sembuh.

Rasa haru dan gembira langsung meluap-luap dalam hati Bong Bu Jan. Kini tidak hanya kesehatan dan kehidupan normal yang kembali diperolehnya. Tetapi juga kesempatan hidup yang lebih baik pun terhampar dihadapannya. Karenanya setelah Bu Jan kembali bugar ia langsung mengikuti sederetan kagiatan kunjungan kasih yang diadakan oleh relawan Tzu Chi. Tidak hanya sebatas itu, Bu Jan juga telah rutin menjadi dinatur tetap Tzu Chi setiap bulannya. Bahkan kini ia mendaftarkan istri dan ketiga anaknya untuk menjadi donatur Tzu Chi.

“Ia merupakan salah satu orang yang mempunyai rasa syukur yang besar dari yang ia peroleh,” komentar Johny. Sebaliknya Bong Bu Jan merasa di Tzu Chi-lah ia menemukan arti kekeluargaan, kepedulian, dan penghargaan sebagai manusia yang utuh selama menjadi pasien penerima bantuan. “Saya senang bergabung di Tzu Chi. Relawannya bagus semua, penuh semangat memperhatikan pasien.  Karena itu saya ingin membagikan semangat saya kepada pasien lainnya,” terangnya.  

  
 
 

Artikel Terkait

Berdana Mulai dari Sekarang

Berdana Mulai dari Sekarang

19 Maret 2014 Kita tidak pernah tahu kapan kita akan pergi meninggalkan dunia ini, dan kesehatan badan kita pun tidak kita ketahui akan berapa lama dapat bertahan. Kalau tubuh sakit, maka akan sulit bagi kita untuk bisa berdana membantu orang lain.
Sebarkan Benih Kebaikan untuk Sesama

Sebarkan Benih Kebaikan untuk Sesama

23 Februari 2017

Tzu Chi Cabang Sinar Mas kembali menebarkan benih cinta kasih melalui kegiatan donor darah yang bertempat di Narwastu, Plaza Sinarmas Land, Jakarta Pusat. Kamis, 16 Februari 2017. Sebanyak 275 pendonor darah mengikuti kegiatan ini.

Rasa Syukur Anak-Anak di Radmila

Rasa Syukur Anak-Anak di Radmila

07 Juli 2015
Pada dasarnya, anak-anak sudah mengerti makna dari kata bersyukur. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa hal-hal sederhana juga seharusnya disyukuri.
Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -