Relawan menampilkan Persamuan Dharma Adaptasi Sutra berjudul Persamuhan Dharma di Puncak Burung Nasar Tidak Pernah Berakhir pada Pemberkahan Akhir Tahun 2022.
Apabila beberapa relawan sempat terkendala dengan kondisi dalam peregangan otot karena latihan isyarat tangan, berbeda dengan pasangan Lo Hoklay dan Lie Fa Li. Walaupun sudah tak muda lagi, pasangan relawan ini merasa tidak ada menemukan kendala-kendala tersebut. Di usianya yang kini sudah menginjak 64 tahun, Hoklay mengaku masih sering melakukan olahraga berupa lari pagi di sekitaran komplek rumah maupun di lingkungan lapangan olahraga seperti Gelora Bung Karno. “Kendala pribadi mungkin lebih ke ketika melawan rasa malas kalau harus latihan lagi di rumah,” tutur Hoklay tertawa.
Sementara itu Lie Fa Lie yang 3 tahun lebih tua darinya (67 tahun), juga tak menemukan kendala yang berarti. “Memang saya memakai bantuan busa di lutut karena semua relawan ditawari untuk pakai (bantuan busa) kalau kesulitan dan sakit. Nah karena itu (busa), saya jadi enak gerak dan atur posisi kaki,” jelas Lie Fa Lie.
Dari tujuh bulan latihan ini, keduanya pun tak pernah absen karena merasa mempunyai tanggung jawab sekaligus ingin mendalami Dharma yang ada dalam Sutra yang mereka tampilkan.
Lie Fa Li (kiri) dan Lo Hoklay (kanan) tak menemukan kendala yang berarti dalam proses persiapan maupun penampilan Adaptasi Sutra.
Bagi Lie Fa Lie, Dharma yeng teruntai melalui lagu-lagu tersebut sangat bagus dan bermanfaat untuk melatih diri menjadi semakin sabar, harmonis, dan kompak. Melalui setiap kehadirannya dalam latihan pun, adalah wujud mengormati seluruh relawan satu sama lain termasuk PIC latihan.
“Kehadiran kami juga adalah wujud gan en kepada seluruh PIC karena begitu sungguh hati dan sabar mengajarkan kami berbagai gerakan dalam Persamuhan Dharma ini. Makanya setiap minggu saya berusaha datang supaya bisa tampil kompak dan rapi,” papar Lie Fa Lie.
Tahun ini, relawan membentuk formasi berupa kapal, ombak, dan riak-riak di lautan yang mana merupakan interpretasi dari Dharma (kapal) yang dibabarkan oleh Buddha bertujuan untuk menyeberangkan umat manusia ke daratan – pantai bahagia.
“Dharma ini betul-betul mengajarkan kita untuk mengembangkan cinta kasih, mengembangkan tekad dan semangat bersumbangsih pada sesama dan tekad untuk melatih diri. Harus betul-betul dipraktikkan,” tambah Hoklay, “seperti salah satu syairnya yang kira-kira bunyinya begini: ‘kita seperti nakhoda yang sakit tapi kita masih bisa menyeberangkan orang lain.’ Artinya dia bisa melepaskan kemalasan, ego, demi menyeberangkan (membantu) orang lain.”
Baik Hoklay maupun Lie Fa Lie, sama-sama merasakan sukacita yang luar biasa. Mereka berharap penampilan Sutra tersebut bisa mengasah diri dan menginspirasi orang yang melihatnya.
Melampaui Keterbatasan
Harapan yang serupa juga diungkapkan oleh pasangan ibu dan anak, Elly (46) dan Juwenny Winarta (22). Keduanya juga sangat antusias ikut dalam formasi ini dengan harapan apa yang mereka tampilkkan benar-benar bisa mengena di hati para penonton. Ia juga ingin apa yang disampaikan melalui lagu dan Sutra bisa menyentuh setiap orang sehingga bisa ikut tergerak untuk bersumbangsih pada sesama.
Elly (kiri) dan Juwenny Winarta (kanan) tampil dalam formasi Adaptasi Sutra. Walaupun dengan keterbatasan (autism), Juwenny konsisten dan berhasil ikut dalam formasi Adaptasi Sutra.
Walaupun sempat mundur dari formasi karena alasan jadwal penampilan yang saat itu bertabrakan dengan jadwal menengok keluarga di Medan, namun jalinan jodoh membawa mereka tetap bisa ikut mendalami Dharma ini. Elly pun tak ingin meninggalkan kesempatan baik tersebut dan mengajak anaknya yang mempunyai keterbatasan (autism) untuk ikut serta.
“Sebenarnya ketika mengajak Juwenny untuk ikut dalam persamuhan, awalnya terasa ada sedikit kekhawatiran karena takutnya Juwenny tidak bisa fokus dan nggak bisa lama melakukan sesuatu hal, susah khusuk,” tutur Elly. Menurut Elly, Juwenny kerap kali ingin berdiri, berjalan, dan juga gelisah. “Tapi saya tanya langsung sama anaknya, ‘Juwenny bisa nggak untuk fokus dan berdiam diri?’ dia jawabnya mau,” imbuh Elly. Walaupun berada di formasi berbeda dengan ibunya, ternyata Juwenny juga bisa konsisten dengan jawabannya yang ingin ikut dan bisa fokus dalam persamuhan.
“Melihat Juwenny mampu ikut aba-aba itu rasanya senang sekali. Rasanya semua jalan yang memang kami inginkan itu lancar, seperti semua pintu terbuka,” kata Elly, “saya juga terbantu dengan teman-teman relawan dari satu komunitas He Qi Pusat dan ada juga teman sekolah saya dulu yang mau ikut persamuhan juga dan menemani Juwenny di grup C itu.”
Ada 500 relawan yang tampil dalam setiap sesinya sehingga dalam dua hari ada 1.000 relawan Tzu Chi yang menampilkan adaptasi Sutra ini.
Elly pun salut dan bangga pada anak pertamanya itu karena ternyata Juwenny menghafal 13 lagu yang ada, ditambah lagu Gatha Pembukaan dan doa, beserta isyarat tangannya dengan baik. Malahan Elly yang tekun menghafal, masih saja merasa susah, sedangkan Juwenny sedikit melihat langsung hafal dengan cepat. “Saya bilang, di antara kekurangannya pasti ada kelebihannya. Ternyata di dalam sini dia sangat fokus,” ungkapnya bahagia, “saya sangat salut dan bangga karena apa yang saya khawatirkan tidak muncul sehingga saya pun merasa sangat tenang. Dia pun sangat tekun dan perasaan saya sangat bahagia.”
Editor: Khusnul Khotimah