Persamuhan Dharma pada 10-11 Desember 2022 memberikan kesan mendalam bagi para partisipannya, gerakan isyarat tangan dari Adaptasi Sutra Makna Tanpa Batas ini telah membuat Dharma meresap dalam diri mereka.
“Saya dari tadi sebenarnya tahan nangis, terharu. Beneran tidak gampang bisa ada di hari ini dan tiba-tiba udah selesai. Dengan adanya keuletan, keyakinan, niat kita, semua itu pasti bisa teratasi, keajaiban itu hadir,” ucap Candy Wong, salah satu penyelam Dharma usai Persamuhan Dharma yang diadakan pada acara Pemberkahan Akhir Tahun 10-11 Desember 2022 di Aula Jing Si, PIK, Jakarta Utara.
“Rasanya sangat mengharukan, apalagi pas kita angkat tangan sama-sama, aura dan energinya itu entah kenapa setiap gerakannya itu bikin kita merinding. Saya tahan nangis tahan nangis, pas tadi selesai dan closing dari MC itu saya langsung nangis,” keharuannya pun pecah setelah persamuhan selesai. Karena untuk tampil dalam Persamuhan Dharma ini, para penyelam Dharma menghabiskan waktu untuk latihan selama tujuh bulan. Di samping harus menghapal lirik, gerakan, dan formasi, juga dibutuhkan tekad dan niat yang kuat agar dapat terus latihan hingga hari persamuhan tiba.
Candy yang merupakan relawan Abu Putih komunitas Tzu Chi Tangerang ini awalnya ikut latihan bersama sang suami. Namun karena Persamuhan Dharma yang tadinya bulan Juli diundur menjadi bulan Desember, suaminya pun mengundurkan diri karena faktor waktu. Candy sendiri saat itu masih ragu, apakah ia sanggup untuk ikut latihan setiap hari Minggu hingga bulan Desember. Dirinya pun sempat merasa malas berlatih karena mengingat masih banyak urusan lain yang juga penting.
“Karena Senin sampe Jumat udah sibuk di tempat kerja, kadang Sabtu itu kalo ada event kita guru harus masuk, belum lagi komunitas kita He Qi Tangerang ada kegiatan. Jadi waktu bersama keluarga udah berkurang banyak. Untung suami mendukung, tetapi keluarga besar awalnya gak begitu mendukung, karena lihat saya kecapean, dan akhirnya beneran ada di satu titik saya sakit,” ujar guru di Sekolah Pahoa ini sedikit tersipu.
Candy Wong sangat terharu, air mata yang sudah ditahan-tahan olehnya sejak awal tampil pun tumpah ketika Persamuhan Dharma ini selesai, mengingat banyak sekali kendala yang ia hadapi selama latihan.
Bermacam kejadian datang silih berganti. Suatu hari saat hendak berangkat ke Aula Jing Si untuk latihan, terjadi tabrakan kecil. Kakinya juga pernah terkena beling dan berdarah sehingga tidak bisa ikut latihan. Bahkan seminggu sebelum persamuhan, dirinya jatuh sakit dan harus diopname di rumah sakit selama 4 hari sehingga ia pun melewatkan gladi resik.
“Saya bersyukurnya itu, untungnya tumbangnya itu bukan pas di hari H, tapi satu minggu sebelumnya. Jadi kayaknya memang banyak kendala, kadang merasa mau menyerah dan mundur, tapi jangan. Dalam hati saya merasa sangat tidak rela, kita tujuh bulan loh latihan, masa’ menyerah begitu saja. Dari lagu-lagu yang di persamuhan inilah yang membuat saya balik ke tekad awal, tekad awal kita ikut persamuhan itu apa, jangan menyerah begitu saja,” tutur Candy yang memang sejak awal senang dengan kegiatan Tzu Chi, apalagi persamuhan seperti ini memang ia tunggu sejak dulu.
Jalinan jodohnya dengan Tzu Chi terbilang cukup dalam. Tahun 2016 ketika ia kuliah di Guangzhou, Tiongkok, ia berjodoh dan kenal dengan relawan Tzu Chi di komunitas setempat. Saat itu ia sangat senang dengan kegiatan Bedah Buku dan Xunfaxiang (pembabaran Dharma pagi oleh Master Cheng Yen). “Setiap pagi itu berantem dulu sama penjaga asrama supaya kita boleh keluar dari asrama pagi-pagi, hehehe. Kita gowes sepeda pergi ikut Xunfaxiang. Jadi dalam hati itu selalu mikir, nanti balik ke Indonesia pasti harus cari dan kembali ke Tzu Chi." Tahun 2019 Candy selesai kuliah dan pulang ke Indonesia, ia pun langsung bergabung ke komunitas Tzu Chi Tangerang.
Tetap Fokus dan Tampil Sebaik Mungkin
Lain lagi dengan kisah penyelam Dharma yang usianya baru 16 ini, Vincent Fransidy namanya. Meski baru berusia 16 tahun, ia sudah kuliah semester I Jurusan Bisnis Mandarin di Universitas Tarumanegara, dan dari total 73 penyelam Dharma di bagian panggung, Vincent-lah yang paling muda usianya.
“Rasanya s
eneng mendapat kesempatan bisa ikut dalam
perform segede ini. Senang banget,” ujarnya riang. Awalnya ketika didaftarkan orang tuanya ikut dalam Persamuhan ini, Vincent masuk di grup C (bagian lautan Dharma). Namun karena bagian panggung kekurangan orang, Vincent lalu ditarik ke bagian panggung.
Vincent Fransidy adalah pemain yang termuda di bagian panggung. Dua hari sebelum tampil, keluarganya berduka karena kakek tercinta meninggal dunia. Kedua orang tuanya pun harus mundur dari persamuhan, namun Vincent tetap tampil mewakili keluarga.
“Pertama ada perasaan susah, tapi akhir-akhirnya seru juga, yang tadinya mungkin kurang kompak trus juga gak tahu gerakannya, sekarang kayak bisa bagus banget gitu performnya. Gak gampang tapi sangat worth it,” ujarnya. Bergabung dalam tim panggung ini, Vincent hanya berlatih selama 3 bulan karena baru bergabung di pertengahan latihan. Meski demikian ia masih mampu mengejar ketinggalan. “Jadi kayak agak susah untuk catch up (mengejar ketinggalan), jadi harus coba untuk mengikuti temponya gitu, tapi syukurnya ada Shibo dan Shixiong lain yang bantu mengajari saya. Seneng banget bisa ikut ini. Kadang kalo lupa bisa nanya, semuanya saling membantu,” ujar Vincent.
Dari yang awalnya tidak bisa hingga hapal dan bergerak dengan selaras dan kompak di atas panggung, Vincent merasa di dunia ini tidak ada yang instan jika menginginkan hasil yang bagus. Ini juga merupakan pelajaran yang ia petik dari mengikuti persamuhan ini. “Semua hal berproses sih, awal-awalnya panggung pun gak kompak banget, gak serentak, ada yang lupa. Tapi kayak sekarang bisa kompak gitu, itu kan berproses. Jadi gak semua hal itu instan gitu loh, butuh ada proses dan butuh kerja kerasnya baru bisa capai hasil terbaiknya,” jelasnya.
Dua hari sebelum hari persamuhan, kabar duka tiba-tiba datang, kakek Vincent meninggal. Ayah dan ibunya, Sujono dan Yessie, yang terdaftar dalam grup C terpaksa mundur dari persamuhan ini, sedangkan Vincent yang di bagian panggung tetap ikut tampil. “Kata Mami, ini sebagai suatu zhu fu (doa) untuk Yeye (kakek), udah dapat kesempatan di panggung, jadi Mami bilang tampil aja gak apa-apa. Saya juga anggap ini kayak huixiang (pelimpahan jasa) untuk Yeye,” ungkap Vincent yang juga menganggap ini adalah sebuah bentuk bakti terhadap kakek tercintanya, sekaligus mewakili kedua orang tuanya mengikuti persamuhan ini.
Meski awalnya ia juga terkejut dan sedih ditinggal sang kakek, namun saat tampil Vincent tetap dapat memberikan yang terbaik. “Pas awal-awal agak shock sih, tapi kan harus coba untuk fokus kembali, jangan karena saya nanti performnya (secara keseluruhan) jadi jelek, jadi tetap harus fokus untuk tampil sebaik mungkin,” tukasnya.
Bertekad Menjalani Ajaran Sang Guru
Sementara itu Hadinata, relawan dari komunitas He Qi Barat 2 juga berada di bagian panggung sama seperti Vincent. Hadinata mengikuti persamuhan ini karena ingin mendalami Dharma. “Saya melihat latihan ini sebagai salah satu cara bagi saya dalam mendalami Dharma,” ujar Hadinata
. Ia merasa mengikuti persamuhan ini juga melatih otak kiri dan otak kanannya dalam menggerakkan anggota badan, ini merupakan hal yang baru dan menarik baginya
.
Meski sempat merasa ragu dan bosan di tengah latihan, Hadinata (berdiri, depan) tetap berkomitmen hadir dalam setiap latihan. Ia juga merasa dapat mendalami Dharma lebih dalam lagi melalui persamuhan ini.
Karena proses latihan yang berbulan-bulan, tidak sedikit orang yang mundur dan Hadinata sendiri sempat merasa bosan. “Selama 3 – 4 bulan sejak latihan dilakukan, saya mulai merasa bosan dan timbul keraguan, apakah akan terus berlatih atau mundur,” ujar pria yang berprofesi sebagai konsultan di bidang Informasi dan Teknologi (IT) ini. Meski demikian ia terus berkomitmen mengikuti latihan setiap minggu. Kadang acara kumpul keluarga ia tinggalkan demi mengikuti latihan, lantaran ia merasa posisinya cukup penting karena berada di bagian depan.
“Puji Tuhan sampai mendekati pementasan, saya tidak pernah bolong saat latihan dilakuan,” ujar Hadinata bangga. Ia terus berpikiran positif bahwa latihan ini akan membantunya menjadi lebih baik, selain itu ia juga teringat akan kata Master Cheng Yen, “Jika ada pikiran jelek atau menyimpang, harus segera dihilangkan.” Kata-kata ini pula yang menjadi motivasi baginya untuk berlatih hingga akhir.
Usai tampil dalam Persamuhan Dharma ini, Hadinata merasa terharu dan sangat senang. “Terharu dan senang akhirnya dapat menyelesaikan tugas Persamuhan setelah tujuh bulan berlatih dan hasilnya baik sekali. Suatu kebanggan dapat belajar Dharma dari gerakan isyarat tangan,” ucapnya. Ia pun berharap dari Persamuhan Dharma ini semoga lebih banyak orang yang memahami makna dari Dharma yang terkandung dalam persamuhan ini sehingga terbentuk masyarakat dan dunia yang harmonis.
Penyelam Dharma dari Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi
Partisipan dalam persamuhan berjudul Persamuhan Dharma di Puncak Burung Nasar Tidak Pernah Berakhir ini selain dari kalangan relawan Tzu Chi, juga terdapat siswa-siswi dari SMA dan SMK Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng. Menurut pengakuan beberapa relawan senior yang menjadi pelatih, anak-anak ini sangat mudah diarahkan, daya ingat mereka bagus, energik, gerakan mereka juga rapi dan kompak.
Stefanny (kiri) dan Roberth (kanan, depan) adalah penyelam (peserta persamuhan) Dharma dari Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat.
Salah satunya adalah Stefanny, siswi SMK Cinta Kasih Tzu Chi ini mengaku mengikuti persamuhan ini mendatangkan dampak yang bagus bagi dirinya. “Dapat menyelami Dharma lebih dalam, jika ada lagi saya masih mau ikut. Perasaan saya setelah ikut Persamuhan Dharma tentunya lega ya. Apalagi udah latihan berbulan-bulan. Hasilnya juga nggak sia-sia, sesuai dengan yang diharapkan,” ucap Stefanny.
Selain Stefanny juga ada Roberth Louwos yang juga dari Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Robeth merasa bangga karena dapat menyelesaikan “tugas” yang bisa dibilang cukup menantang ini. “Senang pastinya, bangga ke diri kita dan teman-teman. Pas selesai di backstage kita semua pada senyum-senyum dan celebrate. Rasanya puas banget. Kita bisa bikin banyak orang terharu, bikin orang sadar akan Dharma,” ucapnya gembira.
Roberth bahkan seperti “ketagihan” dan ingin latihan lagi meski persamuhan telah selesai. Roberth dan Stefanny pun sangat berterima kasih kepada semua pelatih yang telah melatih mereka selama ini. “Gan en banget semua bisa kerja sama menjalankan Persamuhan Dharma dengan serius. Gan en banget buat Laoshi (Guru) Adi, Laoshi Mul yang sudah membimbing kita, semoga karma baik bisa membalas mereka kembali,” harap Roberth.
Pelantikan Komite Angkatan 2020-2022
Dalam acara Pemberkahan Akhir Tahun kali ini, selain Persamuhan Dharma juga diadakan pelantikan Relawan Komite Angkatan 2020, 2021, dan 2022. Andre Prawira Putra adalah salah satu dari 156 orang yang dilantik pada hari itu. Ia merasa senang karena momen ini memang sudah ditunggunya. Andre juga merupakan anggota Tzu Chi International Association (TIMA) Indonesia, yang kini tengah menempuh pendidikan spesialis onkologi radiasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dirinya ingin menjadi Komite karena terinspirasi dari tekad Master Cheng Yen yang ingin menyelamatkan Bumi dan menyucikan hati manusia.
Dalam acara Pemberkahan Akhir Tahun kali ini, selain Persamuhan Dharma juga diadakan pelantikan Relawan Komite Angkatan tahun 2020, 2021, dan 2022 pada 11 Desember 2022. Andre Prawira Putra adalah salah satu dari 156 orang yang dilantik pada hari itu.
“Tzu Chi mengajarkan Gan En, Zhun Zhong, Ai (bersyukur, menghormati dan mencintai) yang membuat Tzu Chi universal, baik untuk semua jalan hidup dan juga lintas agama,” kata Andre. Menurutnya, hidup ini jangan terbatas dengan kerja saja, tapi juga harus bisa punya nilai lebih, terutama untuk dirinya sendiri dan keluarga.
Hal yang paling membuatnya berubah semenjak bergabung di Tzu Chi adalah pengendalian emosinya. Ia mengaku dulu dirinya agak temperamental dan sulit bersabar, apalagi ia harus bertemu dengan banyak orang di rumah sakit dengan bermacam karakter. Di Tzu Chi, ia belajar berempati. Andre juga mengaku banyak belajar banyak dari pengalaman orang lain dengan “mengurangi gelas”-nya dan mengisi kembali dengan berempati, terutama pada pasien-pasiennya.
Setelah dilantik menjadi Komite, Andre ingin lebih giat lagi untuk berkegiatan di Tzu Chi, salah satunya adalah aktif dalam aksi tanggap bencana. Dia merasa selama ini seringkali tidak bisa ikut karena berbarengan dengan kegiatan pendidikan atau pekerjaannya. Setelah lulus spesialis nanti tahun depan, ia ingin kembali ke Tzu Chi Hospital dan lebih memprioritaskan kegiatan-kegiatan Tzu Chi.
Perjalanan menjadi relawan Komite telah membuat Mery Hasan berubah menjadi orang yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih berwelas asih dalam menghadapi sesama.
Relawan lain yang juga dilantik adalah Mery Hasan. Awalnya Mery mengenal Tzu Chi dari DAAI TV. Rasa ingin tahunya tentang kehidupan relawan telah membawanya bergabung menjadi relawan sejak tahun 2014. Sejak itu ia pun rajin mengikuti kegiatan, sampai akhirnya ia tertarik dan bergabung menjadi relawan dokumentasi atau Zhen Shan Mei (Benar, bajik, Indah) di komunitas He Qi Barat.
Selama berkegiatan Tzu Chi, Mery merasakan banyak yang didapatnya, ia belajar mengasihi sesama, berwelas asih kepada orang lain, ia juga bersyukur atas berkah yang dimilikinya, selain itu kehidupan di dalam keluarga juga lebih baik. “Kehidupan keluarga semakin harmonis, saling mendukung satu sama lain, dan selalu terbuka dalam berkomunikasi,” ujar Mery.
Dengan dilantik menjadi Komite, Mery melihat bahwa menjadi relawan Komite adalah salah satu cara untuk belajar menjadi lebih baik. Tak ayal, ia pun banyak mengalami perubahan selama ini. “Saya lebih banyak bersyukur dan berusaha melepas ego, menghadapi kehidupan lebih damai di dalam keluarga dan lingkungan,” ucap Mery. Ia bertekad akan terus berusaha lebih bertanggung jawab dalam mengemban tugas di komunitas.
Editor: Hadi Pranoto