Sesi sharing relawan amal ditampilkan dalam bentuk talkshow dengan moderator Hok Lay dan 6 orang narasumber dari relawan amal senior yang telah bersumbangsih lebih dari 20 tahun di Tzu Chi.
Dalam acara Pemberkahan Akhir Tahun 2023 yang diadakan di Aula Jing Si, Tzu Chi Centerk PIK, Jakarta pada 21 Januari 2024, terdapat beberapa sharing inspiratif dari relawan yaitu relawan amal, relawan pemerhati rumah sakit, dan relawan pendidikan. Sesi sharing relawan amal ditampilkan dalam bentuk talkshow dengan moderator Hok Lay dan 6 orang narasumber dari relawan amal senior yang telah bersumbangsih lebih dari 20 tahun di Tzu Chi.
Hok Lay menyampaikan bahwa Master Cheng Yen berpesan, “ada dua hal yang tidak dapat ditunda, yang pertama adalah berbakti kepada orang tua dan yang kedua adalah berbuat kebajikan”. Oleh karena itu, Master Cheng Yen membimbing murid-muridnya agar mengajak lebih banyak orang lagi untuk berbagi cinta kasih dan menggalang hati untuk terus dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tzu Chi dapat mewujudkan misi amal, tentunya tidak terlepas dari partisipasi para donatur dan relawan.
San Ing (71) yang sudah menjadi relawan selama 20 tahun mengutarakan bahwa dirinya sangat bersyukur dapat terlahir sehat fisik dan mental. “Turun naik angkot atau kereta untuk melakukan kegiatan Tzu Chi adalah berkah besar jika dibandingkan dengan orang yang berkesusahan,” ucap San Ing. Beliau menyatakan bahwa hal itu membuatnya merasa hidupnya lebih bermakna.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Anna Tukimin (72) yang telah aktif selama 24 tahun sebagai relawan Tzu Chi. Ia mengungkapkan bahwa dulu hidupnya banyak kerisauan, namun setelah melihat banyak penderitaan, barulah menyadari bahwa hidupnya penuh berkah. “Di situ saya cuan banyak, kerisauan pun hilang,” selorohnya sambil tersenyum.
Lain lagi dengan Qiu Lan (69 tahun) yang telah bergabung dengan Tzu Chi selama 25 tahun, ketika tsunami Aceh beliau rela meninggalkan usaha rumah makan vegetariannya untuk pergi ke lokasi bencana dan memasak untuk para relawan selama 3 bulan. Beliau menyatakan bahwa penderitaan korban tsunami sangat besar, sehingga ia tergerak untuk menyumbangkan tenaga dan waktunya. Sementara itu Lulu (68) yang telah berkontribusi di Tzu Chi selama 20 tahun, saat ini aktif sebagai relawan pemerhati di Tzu Chi Hospital. Mengutip dari ucapan Master Cheng Yen, ia mengutarakan, “Kita harus mengasihi setiap orang; kepada orang tua, anggaplah seperti orang tua sendiri dan anak-anak, anggaplah seperti anak kita sendiri.”
Berikutnya adalah Rui Ying yang menyatakan bahwa melakukan Tzu Chi adalah melatih kesabaran, terutama dalam menghadapi lansia dan orang sakit (pasien) yang sering mengalami fluktuasi emosi sehingga memerlukan banyak kesabaran dan penuh pengertian. Beliau merasa sangat bersyukur karena kiprahnya dalam bidang amal di Tzu Chi telah membuatnya banyak belajar. Terakhir adalah Tini Wijaya (72) yang telah berkecimpung di Tzu Chi selama 28 tahun menuturkan, “Tzu Chi merupakan keluarga besar yang membutuhkan banyak relawan,” hal itulah yang memotivasinya untuk senantiasa mendampingi relawan baru dengan tulus dan penuh sukacita. “Dalam menjalankan visi amal, seperti survei kasus diperlukan team work dan saling menghormati,” imbuhnya seraya menutup sharing.
Rumah Sakit adalah Ladang Berkah yang Luar Biasa
Menjadi relawan pemerhati rumah sakit merupakan hal yang membahagiakan bagi para relawan. Peran pemerhati rumah sakit selain memberikan perhatian tulus dan penuh kasih kepada pasien dan keluarga, juga menjadi perantara komunikasi antara management rumah sakit, tim medis dengan pasien dan keluarga. Relawan pemerhati juga menjadi role model budaya humanis.
Terdapat 11 orang relawan pemerhati rumah sakit yang sharing mengenai kebahagiaan mereka dalam melayani di rumah sakit.
Pada sesi sharing relawan pemerhati, dr.Laksmi Widyastuti (67) selaku wakil ketua relawan pemerhati rumah sakit membuka sharing dengan menjelaskan bahwa Tzu Chi Hospital merupakan rumah sakit yang mengedepankan Hitech dan Hitouch. Hitech dengan memiliki peralatan medis yang canggih dan modern sedangkan Hitouch dengan adanya relawan pemerhati rumah sakit. “Tugas kami di antaranya adalah memberi perhatian kepada pasien, memberi semangat kepada pasien, menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien apabila ingin ke poli-poli lain, ke toilet, pendaftaran, dan sebagainya, kami juga menyediakan teh hangat bagi pasien, juga jika ada pasien yang kedinginan, kami bisa meminjamkan selimut,” ungkap Laksmi.
Bersama dengan 10 relawan lain yang juga membagikan pengalaman sukacitanya menjadi relawan pemerhati, Hendra Tanumiharja (76) mengungkapkan, “Dari pemerhati rumah sakit saya melihat penderitaan, saya mengerti bersyukur, saya melihat ketidak kekalan, saya menggunakan waktu dengan baik sebisa mungkin,” ungkapnya yang diiringi riuh tepuk tangan hadirin. Hendra sendiri sudah menjadi relawan sejak tahun 2013. Selain aktif menjadi relawan pemerhati rumah sakit ia juga aktif dalam misi amal di komunitas relawan He Qi Barat 2. Berawal dari ikut-ikut saja, Hendra terjun menjadi pemerhati dan bertahan hingga saat ini. “Sebenarnya semua kegiatan itu bisa lanjut kalau sukacita, rumah sakit itu ladang berkah yang sangat luar biasa dan banyak kesempatan kita untuk belajar,“ tambahnya.
Dokter Laksmi Widyastuti (kanan) selaku wakil ketua relawan pemerhati rumah sakit membuka sharing, dilanjutkan dengan Hendra Tanumiharja dan Dewi Intan Surya yang berbagi bahwa mereka bersyukur masih dapat bersumbangsih di usia yang sudah tidak muda.
Pengalaman luar biasa juga di ungkapkan oleh Dewi Intan Surya (71) atau yang akrab dipanggil Nainai. Bergabung menjadi relawan sejak tahun 2008, ia merasa dahulu dirinya memiliki banyak masalah dan rintangan dalam hidupnya sehingga perlu untuk “melunasi”-nya dengan berbuat baik dan membantu orang lain. Selama menjadi relawan, ia rajin mengikuti semua kegiatan. “Saya ikut daur ulang, tapi hidung saya bersin-bersin, saya ikut Daai Mama, tapi kok saya gak telaten sama anak kecil, akhirnya saya ikut pemerhati dan nah ini, di sini saya merasa berguna dan lebih pas,” ungkatnya penuh semangat. Dengan usia yang tidak muda lagi semangat Nainai tidak pernah surut, Senin hingga Sabtu ia mengabdikan dirinya menjadi relawan pemerhati rumah sakit.
Sharing Relawan Pendidikan
Pada sesi sharing relawan pendidikan, Goh Poh Peng yang pertama tampil. Dalam sharingnya ia bercerita ketika awal memasuki dunia Tzu Chi, ia bertemu dengan seorang relawan Taiwan yang memintanya menjadi penerjemahnya di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng. Ketika hendak kembali ke Taiwan, relawan itu berpesan kepada Goh Poh Peng untuk tetap menjadi relawan pemerhati di sekolah itu. Hingga hari ini sudah 20 tahun lamanya. Awalnya ia sempat khawatir karena dirinya merupakan orang yang cenderung sedikit keras. Namun seiring waktu, ia merubah dirinya dengan cara memandang para guru seperti anaknya sendiri, dan para siswa seperti cucunya sendiri. “Saya merasa dengan melakukan pendekatan kepada guru dan murid membuat pekerjaan saya jadi tidak terbebani, melainkan membawa kebahagiaan untuk semua warga sekolah, dan mulai sejak itu saya sadar bahwa menyayangi orang lain dan disayangi orang lain merupakan kasih sayang universal yang sempurna,” ungkapnya.
Relawan pendidikan yaitu (dari kiri) Goh Poh Peng, Tinnie Tiolani, Meirong, dan Lim Airu juga berbagi perjalanan dan kebahagiaan mereka selama menjadi relawan pendidikan yang sudah berjalan 20 tahun.
Berbeda dengan Tinnie Tiolani (52) yang pada dasarnya suka dengan dunia anak-anak. Ia merasa bersyukur karena menjadi saksi perjalanan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Master Cheng Yen mengajarkan insan Tzu Chi untuk tahu bersyukur, saling menghormati, saling menghargai, dan bekerjasama untuk menciptakan suatu dunia yang tentram. Dan setiap kali acara graduation merupakan acara yang membahagiakan bagi Tinnie karena baginya anak-anak telah berhasil menjadi manusia yang berkarakter baik dan juga menjunjung tinggi toleransi. “Ketika kita mendidik satu anak itu juga merupakan mendidik satu keluarga, hal ini merupakan transformasi bagi masyarakat. Karena untuk mendidik satu anak dibutuhkan dukungan dari seluruh lapisan masyakat, saya relawan pendidikan hanyalah sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang berkontribusi demi memajukan pendidikan Tzu Chi yang holistic bagi anak-anak,” ucapnya.
Selanjutnya adalah sharing dari Meirong yang sudah menjadi relawan pendidikan sejak tahun 2003. Awalnya sangat sulit karena pertama kali mengajar di depan kelas para murid tidak fokus mendengarkan. Ia sempat frustrasi saat memberi tugas rumah karena tulisan anak-anak itu sulit dibaca. Saat itu ada satu kata perenungan Master Cheng Yen, “Apapun yang anda lakukan, lakukanlah dengan sungguh hati. Orang yang memiliki niat akan mencari cara, orang yang tidak memiliki niat akan mencari alasan.” Kalimat itu membuatnya berpikir kembali. “Jika saya sudah melakukan yang terbaik maka saya tidak perlu khawatir, Karena saya telah menjalankan yang benar. Sehingga saya menggunakan metode motivasi agar para murid bisa mendengarkan saya pada saat kelas berlangsung. Sejak itu saya pun bisa menjalin jodoh dengan guru-guru dan anak-anak di sekolah dengan baik,” ucapnya.
Terakhir adalah sharing dari Lim Airu yang sudah 20 tahun menjadi relawan Tzu Chi. Saat ini ia bertanggung jawab sebagai koordinator kelas budaya humanis, seni meracik teh dan kelas merangkai bunga. Dari seni meracik teh, ia belajar makna dan filosofi mengenai kehidupan sehari-hari. Sedangkan dari merangkai bunga, bisa mendapatkan 5 tata krama dalam kehidupan yaitu keindahan, keanggunan, ketenangan, membina diri, dan cinta kasih. Berbicara tentang perubahan hidup tidak hanya dialami oleh Airu sendiri, namun ia juga melihat perubahan sikap anak-anak murid selama 11 tahun ini mengikuti kelas budaya humanis. “Dan membuat saya terharu melihat anak-anak menjadi orang yang lebih baik karena kelas ini,” ucapnya. “Di dalam kehidupan ini, nilai kita masih dibutuhkan orang dan mampu bersumbangsih untuk orang merupakan kehidupan paling bahagia,” sambungya seraya menutup sharing dengan kutipan dari kata perenungan Master Cheng Yen.
Mimpi Menjadi Nyata
Dari lima relawan komite yang dilantik, salah satunya adalah Meta Sari (42), relawan dari Batam. Jalinan jodoh Meta dengan Tzu Chi pada tahun 2019 yaitu pada saat mereka sekeluarga pindah dari Jakarta ke Batam. Saat itu mereka mencari sekolah minggu untuk anaknya, yang akhirnya berjodoh dengan kelas budi pekerti Tzu Chi. Seiring waktu Meta pun diajak menjadi relawan Daai Mama serta mengikuti beberapa kegiatan Tzu Chi hingga menjadi relawan berseragam. Sejak menjadi relawan, Nanik, ketua komunitasnya selalu merangkul dan mendampinginya hingga saat ini.
Meta Sari, relawan Tzu Chi Batam, menjadi salah satu dari 5 relawan komite yang dilantik pada 21 Januari 2024 di Aula Jing Si, Jakarta oleh Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Liu Sumei.
Sejak menjadi relawan ia pun jadi lebih mendalami dharma lewat ceramah Master Cheng Yen melalui Xun Fa Xiang. Namun seiring berjalan waktu ia kurang mendapatkan dukungan dari keluarga, hal ini sempat membuatnya down. Dukungan dari para mitra bajik membuat dirinya seperti dicas kembali, dan ia pun bertekad menjalankan ajaran Master Cheng Yen dengan menjadi Bodhisattva dunia.
Bulan November 2023 ketika saatnya berangkat ke Taiwan untuk pelantikan komite, Meta tidak ikut. Selain kurang mendapat dukungan dari keluarga, saat itu kebetulan anaknya juga sedang ujian sehingga ia memutuskan tidak berangkat. “Saya merasa mungkin kebajikan parami saya belum cukup untuk bertemu Master, dan saya harus berusaha untuk menanam kebajikan, lebih bersungguh hati lagi supaya berkesempatan untuk bertemu Master Cheng Yen di kehidupan ini,” ungkapnya.
Sebelum bulan November itu, Meta sempat bermimpi memakai baju ba zhen dao (salah satu seragam relawan komite wanita). Namun dalam mimpi itu lokasinya bukan di Taiwan, tetapi di lorong dalam gedung Tzu Chi Center, Indonesia. Mimpi itu membuatnya bingung kenapa dia bisa pakai baju ba zhen dao dan apa arti dari mimpnya itu. “Hari ini saya baru merasakan mimpi saya seperti nyata, karena memakai baju (komite) seperti di mimpi, saya merasa haru serta senang bisa dilantik walaupun di Indonesia. Namun bagi saya ini merupakan sebuah awal perjalanan baru, dan akan masih banyak lagi tantangan di depan. Jadi saya harus lebih bersungguh hati lagi karena jalan di depan tidak mulus, pasti akan ada batu-batu besar dan kecil,“ ungkapnya dengan haru dan bahagia.
Editor: Erli Tan