Peduli Merapi : Menunaikan Tanggung Jawab

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Ivana
 
 

fotoDesa Glagaharjo, Cangkringan, Yogyakarta terdiri dari 10 dusun. Setelah letusan Merapi, 5 dusunnya tertimbun lahar dan 2 lainnya terbakar karena dilanda awan panas.

Glagaharjo adalah sebuah desa yang letaknya 4 km dari puncak Gunung Merapi. Rata-rata penduduk di sini, memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan beternak sapi perah. Maka daerah ini dikenal sebagai daerah penghasil susu. Dan juga sebagai wilayah penopang di gunung, Glagaharjo yang terdiri dari 10 dusun dengan luas 795 hektar ini, memiliki banyak pepohonan kayu sehingga tampak hijau.

Semua pemandangan sebagai desa yang makmur dan tenteram tersebut, tak lagi tampak ketika kami mengunjungi desa ini pada tanggal 19 November 2010. Yang ada hanya kekosongan, serta kehancuran yang melingkupi tiga perempat wilayah desa. Dari data yang ada, 5 dusun dilaporkan hilang karena tertimbun batu dan pasir lahar, dan 2 dusun hangus terkena awan panas. Tinggal 3 dusun yang selamat dan hanya mengalami kerusakan ringan. Semua data ini dikumpulkan oleh bapak carik atau sekretaris desa, Agralno (55 tahun) dan diserahkannya pada Tzu Chi.

Tanggung Jawab Perangkat Desa
Tzu Chi memiliki jodoh dengan Desa Glagaharjo sejak awal memberikan bantuan pada letusan Gunung Merapi. Pada tanggal 2 November, Tzu Chi sempat melakukan pembagian barang bantuan di 3 desa, salah satunya di Glagaharjo. Saat itu desa ini masih aman dan hijau. Di tengah pembagian itu, sirene tanda bahaya awan panas berbunyi sehingga warga maupun relawan Tzu Chi yang sedang membagikan bantuan berhamburan menyelamatkan diri. Sore harinya setelah kondisi dinyatakan aman, relawan dan warga kembali serta melanjutkan pembagian. Tiga hari kemudian, pada tengah malam tanggal 5 November – sewaktu erupsi besar Merapi yang kedua – lahar panas dan awan panas mengenai desa ini.

Dari bencana ini, 39 warga Desa Glagaharjo meninggal. Ketika pada tanggal 17 November Tzu Chi menyerahkan santunan bagi warga yang keluarganya meninggal, sekali lagi jalan Tzu Chi bersimpangan dengan Glagaharjo. Hanya saja, beberapa ahli waris korban tidak bisa hadir pada hari itu, sehingga penyerahan santunan dilanjutkan tanggal 20 November 2010.

foto  foto

Keterangan :

  • Tanggal 20 November 2010, relawan Tzu Chi Yogyakarta melanjutkan penyerahan santunan bagi ahli waris korban yang meninggal akibat erupsi Gunung Merapi. (kiri)
  • Sudah 28 tahun Agralno (topi hitam) menjabat Carik di Desa Glagaharjo. Panggilan tanggung jawab sebagai perangkat desa, membuatnya berinisiatif mengupayakan bantuan bagi warganya yang terkena bencana. (kanan)

Proses pemberian bantuan mulai dari bantuan barang hingga santunan korban meninggal, menjalin hubungan yang erat antara relawan Tzu Chi dengan Agralno. Sebagai sekretaris desa yang telah menjabat selama 28 tahun, Agralno memiliki catatan lengkap mengenai warga Glagaharjo. Meski ia sendiri juga berstatus pengungsi, Agralno berusaha mengumpulkan data selengkap dan seakurat mungkin, dan menyerahkannya pada relawan Tzu Chi. Ia berharap agar setiap warganya yang menjadi korban dapat menerima uluran tangan yang selayaknya.

Agralno sangat bersyukur, bahwa seluruh anggotanya dalam keadaan sehat dan selamat, hanya rumahnya saja yang lenyap tertimbun lahar. ”Kita menerima dengan lapang dada saja. Ini kehendak Yang Maha Kuasa. Toh banyak orang juga mengalami yang sama,” tuturnya dalam, ”Yang Maha Kuasa mungkin memiliki kehendak lain yang mungkin lebih baik daripada yang lalu asalkan kita tetap berusaha secara halal.” Meski demikian, setiap kali melihat wajah Glagaharjo yang hancur pascabencana, Agralno tetap merasa trenyuh dan pedih. Yang dapat dilakukannya sebagai perangkat desa, hanyalah memuluskan jalan agar warga dapat segera mendapat tempat tinggal sementara yang menggantikan rumah mereka yang musnah.

”Perangkat harus memiliki prinsip berpikir setingkat di atas masyarakat, yang artinya kita harus memikirkan masyarakat luas,” begitu pedoman yang didapat Agralno dari kakeknya yang dahulu juga menjabat sebagai perangkat desa. Maka baginya tak ada yang luar biasa untuk mengurus berbagai kepentingan warganya yang mengungsi di berbagai tempat, agar mereka bisa menerima bantuan, dana santunan, dan semoga juga rumah tinggal. ”Inilah yang bisa saya usahakan, inilah yang bisa saya kerjakan. Mudah-mudahan masyarakat tu seneng. Cuma itu thok (saja),” harapnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Bagi Rubiyo, dana santunan yang diterimanya atas nama kakak dan kakak iparnya ini sangat bermanfaat untuk menambah biaya bagi tiga keponakannya yang kini menjadi yatim piatu. (kiri)
  • Warga Desa Glagaharjo mengungsi di berbagai posko yang berjauhan satu sama lain. Sewaktu beberapa dari mereka berkumpul untuk menerima dana santunan, rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang sempat hilang muncul kembali. (kanan)

Mengemban Tanggung Jawab sang Kakak
Tanggal 20 November 2010, Rubiyo (30) datang ke sebuah rumah di lingkungan luar Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Pria yang tadinya tinggal di Besalen, Glagaharjo ini datang untuk menerima dana santunan dari Tzu Chi sebagai ahli waris almarhum kakaknya (Suroso) dan kakak iparnya (Maryam). Keduanya meninggal karena terjangan awan panas.

Rubiyo bercerita, saat mengungsi dalam peringatan pertama, Suroso menyuruhnya untuk mengungsi dengan mobil, bersama orang tua mereka, anak-anak Suroso, dan anak-istri Rubiyo sendiri. Sementara Suroso mengungsi berboncengan motor dengan Maryam. Namun ternyata mereka menuju posko pengungsian yang berbeda. Kemudian, karena aktivitas Merapi semakin tinggi, rombongan Suroso diperintahkan untuk pindah ke posko pengungsian yang lebih jauh lagi. Saat itulah Suroso memutuskan untuk menyusul rombongan Rubiyo agar dapat bergabung dengan anak-anaknya. Dan saat itu pula, mereka harus berpisah untuk selamanya.

Hingga saat ini, Rubiyo masih menyembunyikan kenyataan pilu itu dari ketiga anak Suroso yang masih kecil-kecil. Yang tertua baru kelas 6 SD. Rubiyo hanya dua bersaudara dengan Suroso, maka kini ia menjadi penopang utama keluarga itu. Tanggung jawab membesarkan 5 anak yang masih kecil terasa berat di pundaknya. Namun dibanding beban itu, ia lebih sedih karena melihat kemalangan yang menimpa keponakannya. ”Kalau anak saya kan masih punya orang tua, masih tenang, tapi ponakan-ponakan saya gimana, udah bapaknya nggak ada, dan ibunya juga nggak ada,” katanya hampir tak dapat menahan isak sedihnya. Masa depan hanya dapat dijalaninya saja, dan baginya yang penting anak-anak kakaknya maupun anak-anaknya sendiri bisa terus bersekolah.

Maka dari itu, sewaktu menerima santunan atas nama Suroso dan Maryam, Rubiyo terus mengatakan, ”Dana ini sangat berguna buat anak-anak, buat keponakan saya yang ditinggal orang tuanya.”
  
 

Artikel Terkait

Rahmad, Sarif, dan Samsul (Bag. 2)

Rahmad, Sarif, dan Samsul (Bag. 2)

11 Januari 2011 Rupanya apa yang dialami Rahmad juga dialami oleh kedua adik laki-lakinya, sehingga mereka pun tak bisa bersekolah di sekolah biasa seperti anak-anak sebaya mereka. Bahkan Sarif juga mengalami hypospadia, namun dengan kadar yang sedikit lebih ringan.
Rumah Lambang Cinta Kasih

Rumah Lambang Cinta Kasih

20 Oktober 2020

Berawal dari jalinan jodoh Martin Hasibuan yang menjadi anak asuh Tzu Chi, ibunya yang bernama Doriska Sinaga, janda beranak tujuh yang berprofesi sebagai pengumpul barang-barang daur ulang ini mendapat bantuan renovasi rumah dari Tzu Chi. Atap rumah yang dulunya bocor kini diganti dengan seng baru, dinding tepas kini diganti menjadi tripleks yang bagus. Rumah ini diharapkan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi Doriskha dan anak-anaknya.

Merangkul Masyarakat untuk Peduli Lingkungan

Merangkul Masyarakat untuk Peduli Lingkungan

23 Maret 2021

Setiap 2 bulan sekali, komunitas Hu Ai 1 Batam akan menyelengkarangan kegiatan daur ulang di Posko Tzu Chi Batam. Kegiatan Daur Ulang tidak hanya dapat mengurangsi polusi lingkungan, tapi juga sebuah kesempatan merangkul lebih banyak Bodhisatwa Pelestarian Lingkungan.

Jika menjalani kehidupan dengan penuh welas asih, maka hasil pelatihan diri akan segera berbuah dengan sendirinya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -