Peduli Merapi : Perjalanan Berbagi Kasih

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Ivana
 
 

fotoAudiensi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X .

Tanggal 17 November 2010, bertepatan dengan Hari Besar Idul Adha bagi umat muslim, sejumlah 33 relawan Tzu Chi dari Jakarta tiba di Bandara Adi Sumarmo, Solo pukul 07.30 pagi dan menuju ke Stadion Meguwoharjo, Yogyakarta.

Sampai dengan hari ini, Bandara Adisucipto Yogyakarta belum dinyatakan dapat dibuka, sebab Gunung Merapi yang masih berpotensi menghembuskan abu vulkanik dapat berbahaya bagi penerbangan. Karena itu, relawan melanjutkan perjalanan dari Solo ke Yogyakarta dengan mobil selama 2 jam.

Stadion Meguwoharjo adalah posko penampungan yang paling banyak ditinggali oleh pengungsi. Satu minggu yang lalu, sekitar tiga puluh ribu warga menempati gedung olah raga ini. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang ketika status berbahaya telah diturunkan dari jarak 20 km (dari puncak) menjadi 15 km. Pada hari ini jumlahnya sekitar sembilan ribu orang. Di stadion inilah relawan Tzu Chi mendapat waktu untuk bertemu dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X, pemimpin masyarakat dan juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mengkoordinasikan bantuan lanjutan penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi.

Bangkit dan Mandiri
Dalam pertemuan itu, Sri Sultan menjelaskan bahwa pemerintah Yogyakarta sedang menangani 146 titik pengungsian dengan jumlah pengungsi sekitar 60 ribu orang, sehingga memerlukan cukup banyak tenaga untuk melayani para pengungsi tersebut. Bagi Sri Sultan kerja keras untuk memberikan kenyamanan bagi pengungsi memang layak untuk dilakukan, ”Bagi mereka yang meninggalkan rumah sudah merasa menderita, jangan sampai mereka menderita yang kedua kalinya di pengungsian.” Karena itulah pemerintah Yogyakarta berusaha agar para pengungsi merasa nyaman, salah satunya dengan melibatkan mereka dalam aktivitas di pengungsian seperti ikut menentukan menu masakan di dapur umum.

Ketika relawan Tzu Chi menawarkan untuk memberikan bantuan beras bagi beberapa titik pengungsian yang masih membutuhkan, Sri Sultan menyambut niat baik tersebut, namun menambahkan bahwa ia berharap masyarakatnya tidak pasif hanya menerima bantuan. ”Saya ingin ada yang dapat mereka lakukan agar mereka memiliki pekerjaan. Supaya mereka tetap ada tanggung jawab untuk membangun dirinya sediri. Karena hanya dengan cara dia bangkit baru dia bisa membantu dirinya sendiri. Bantuan seperti apapun kita sampaikan terima kasih, tapi bantuan seperti apapun tidak akan bisa menyelesaikan masalah kecuali dia (korban) sendiri yang menyelesaikan,” demikian kata pimpinan kharismatik masyarakat Yogya ini.

Setelah pertemuan selesai, relawan Tzu Chi menyerahkan dana santunan bagi 40 ahli waris korban meninggal dalam bencana letusan Merapi. Almarhum/almarhumah adalah korban yang masih dapat teridentifikasi dan dibawa ke RS Dr. Sardjito. Ada banyak korban lain yang tidak dapat dikenali ataupun belum dapat dievakuasi dari lokasi di Gunung Merapi. Beberapa korban tampak berlinang air mata sewaktu menerima santunan ini, karena sedih teringat kembali kejadian yang memisahkan mereka dengan keluarga mereka, ataupun haru menerima kepedulian para donatur dan relawan Tzu Chi.

foto  foto

Keterangan :

  • Relawan Tzu Chi menghibur dan memberi santunan pada Wahyu, anak Bejomulyo yang kedua. (kiri)
  • Kegembiraan warga pengungsi di Lapangan Tembak Salaman saat menyanyikan lagu "Satu Keluarga" dengan relawan. (kanan)

Tetap Bersyukur
Berikutnya rombongan relawan Tzu Chi (sekitar 50 orang) mengunjungi para korban yang masih dirawat di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. Dokter Sutanto Maduseno, SpPD, K-GEH mewakili direktur rumah sakit untuk menyambut kunjungan ini. Dalam ramah tamah singkat, dr. Seno mengisahkan kegiatan yang dilakukan tim medis di rumah sakit tersebut untuk menangani para korban Merapi. Dalam sebuah rekaman yang ditayangkan, pemandangan tentang korban yang terkena awan panas ataupun menjadi korban letusan ini, membuat relawan Tzu Chi tertegun dan pilu. Kondisi korban itu rata-rata tampak berselimut abu, ataupun berwarna kehitaman karena hangus terbakar. Dokter Sigit Priohutomo yang menyusun tayangan tersebut memberi penjelasan tentang gambar-gambar yang tampil tersebut. Di antaranya terdapat kasih sayang yang memilukan ketika jenazah ibu ditemukan tengah berpelukan dengan anaknya. Bahkan ada ibu yang sedang berusaha melindungi kedua anaknya dengan tubuhnya namun ketiganya tidak terselamatkan.

Kisah kasih sayang mirip seperti ini pula yang menyebabkan kedua anak Bejomulyo – Arif Chandra Abdurosyid dan Wahyu Nur Irawan – menjadi korban. Keluarga Bejomulyo tinggal bersama kakek dan nenek dari istri Bejomulyo yang sudah berusia lebih dari 90 tahun. Sore tanggal 26 Oktober 2010, kondisi berbahaya diumumkan dan semua warga diminta untuk mengungsi. Namun kedua orang tua ini enggan mengikuti anjuran tersebut. Pada detik-detik terakhir, kedua cucu buyut mereka ini nekat membopong kakek-nenek buyut itu dan menaikkannya ke mobil terakhir yang mengevakuasi warga.

Ketika kakak-beradik yang berbakti ini akan menyelamatkan diri, mereka baru menyadari bahwa kunci motor yang akan mereka gunakan untuk lari, hilang entah ke mana. ”Mungkin sebenarnya ada di dalam kantong kami, tapi karena panik kami coba cari tidak ketemu. Karena waktu itu suara gemuruh dari arah puncak gunung keras sekali,” kata Arif bercerita dengan suara yang masih lemah. Maka mereka tetap menaiki motor itu tanpa menyalakan mesinnya dan mendayuhnya dengan kaki. Namun mereka kalah cepat. Arif masih ingat bahwa Wahyu menengok ke belakang dan berkata, ”Mas coba liat belakang.” Sewaktu Arif menoleh, dari langit tampak seperti sedang hujan api, dan setelahnya ia hanya merasakan panas yang luar biasa.

Arif dan Wahyu mengalami luka bakar di wajah dan kedua tangan-kaki mereka. Ketika rombongan relawan mengunjungi mereka, tampak kulit di jari-jari tangan dan kaki keduanya belum tumbuh sempurna. Meski demikian, keduanya tersenyum tanpa penyesalan. Bejomulyo yang juga adalah Kepala Desa Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan mewakili kedua anaknya itu menerima dana santunan dari para relawan. Bagaimanapun ia tetap bersyukur bahwa pemulihan kedua anaknya ini cukup cepat dan bahwa ada orang-orang yang peduli pada mereka. Dalam kunjungan ke korban yang dirawat di RS Dr. Sardjito dan RS Panti Rapih, relawan membagikan dana santunan kepada 57 korban yang terluka.

foto  foto

Keterangan :

  • Cameron Hume, mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang merasa sangat tersentuh dengan kegiatan Tzu Chi ini.  (kiri)
  • Relawan Tzu Chi berkunjung ke barak warga dan menanyakan perasaan mereka setelah menerima bantuan ini. (kanan)

Kesempatan Berharga untuk Berbagi
Usai makan siang, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Lapangan Tembak Tentara, Desa Ngadirejo, Kec. Salaman, Magelang. Di sana relawan Tzu Chi telah menyiapkan pembagian bantuan pada sekitar 600 pengungsi dari Kecamatan Srumbung yang tinggal sementara di barak tentara tersebut. Lagu Satu Keluarga terdengar dari pengeras suara, dan beberapa relawan Tzu Chi berdiri di depan warga yang berbaris untuk mengajak mereka memperagakan isyarat tangan. ”Banyak warga yang terlihat menangis terharu,” kata Mony Alwi relawan Tzu Chi yang ikut larut dalam perasaan haru tersebut.

Upacara singkat membuka acara pembagian, dan setelah sama-sama berdoa agar bencana segera berakhir, barang-barang bantuan diserahtangankan pada para warga. Barang bantuan tersebut terdiri dari 584 paket barang-barang yang dibutuhkan warga di pengungsian seperti ember, gayung, sarung, handuk, perlengkapan mandi, pakaian luar dan dalam, sandal, selimut, obat-obatan ringan, masker, dan kacamata pelindung debu. Tak terhitung ucapan ”terima kasih” yang terlontar dari mulut warga maupun para relawan, membuat suasana sore itu begitu hangat. Senyum lebar terulas di wajah hampir semua warga. Suminah dan Sumiyati, kedua kakak adik yang tinggal di Dukuh Pandean sangat gembira, ”Biasanya memang ada bantuan, tapi tidak seperti ini dan biasanya tidak merata untuk semua warga.” Penyerahan bantuan Tzu Chi menyentuh hati mereka. ”Baru kali ini bantuan yang diberikan bermacam-macam barangnya, dan dibagi secara adil dan tertib. Kebahagiaan warga menerima bantuan ini, para relawan bisa melihatnya sendiri,” ujar Haryono, Kepala Dusun Pandean.

Sentuhan hangat juga dirasakan Cameron Hume, mantan Duta Besar Amerika Serikat termasuk dalam rombongan yang tiba dari Jakarta dan mengikuti rangkaian kegiatan hari ini. Ia yang mengenakan seragam relawan abu-abu dan baru pertama kali mengikuti kegiatan Tzu Chi ini menyampaikan perasaannya, ”Memiliki kesempatan untuk bersentuhan secara pribadi dengan semua orang di sini, adalah pengalaman yang sangat menarik dan menggugah. Anda sangat menghargai kesempatan untuk membantu orang lain, dan uluran tangan ini membuat warga merasa dapat kembali ke kehidupan normal mereka. Menurut saya hal ini sangat menyentuh.”

  
 

Artikel Terkait

Pelestarian Lingkungan 30 Ibu Rumah tangga

Pelestarian Lingkungan 30 Ibu Rumah tangga

06 Oktober 2010 Oleh karena itu pada tanggal 25 Sep 2010, jam 7 pagi diadakan ramah tamah Yayasan Buddha Tzu Chi dengan warga Kompleks Perumahan Grawisa Jakarta Barat. Dalam acara ramah tamah ini disampaikan pentingnya memilah sampah untuk didaur ulang.
PAT 2019: Jalin Keberagaman Antarumat Beragama

PAT 2019: Jalin Keberagaman Antarumat Beragama

09 Januari 2020

Sebagai wujud terima kasih dan apresiasi terhadap dukungan para relawan, donatur, dan segenap insan Tzu Chi di Kota Makassar, Tzu Chi Makassar mengadakan acara Pemberkahan Akhir Tahun (PAT) 2019, di Kantor Tzu Chi Makassar. Ratusan undangan mengikuti acara yang bertajuk keberagaman dan kebersamaan antarumat beragama ini.

Jangan takut terlambat, yang seharusnya ditakuti adalah hanya diam di tempat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -