Peduli Merapi : "Saya Terus Menjagamu"

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Ivana
 
 

fotoSetelah menyerahkan dana santunan, relawan Tzu Chi sempat menjenguk kondisi Ifan Farid yang mengalami luka bakar serius akibat lahar panas.

Entah kekuatan apa yang disimpan tubuh kecil Suparmi, sudah hampir 2 minggu ia menopang beban berat, menjagai 4 anggota keluarganya yang menjadi korban dalam bencana erupsi Merapi.

Tanggal 17 November 2010, rombongan relawan Tzu Chi berkeliling RSUD Dr. Sardjito yang menjadi pusat perawatan korban erupsi dan awan panas Gunung Merapi, terutama untuk kasus-kasus yang tergolong berat. Ada sekitar 50-an pasien atau yang diwakili keluarganya menerima santunan dari Tzu Chi untuk meringankan kebutuhan mereka. Saat itulah relawan bertemu dengan Suparmi. Sewaktu nama Muryadi (44) disebut, Suparmi menyahut bahwa ia mewakili keluarganya. Begitu pun sewaktu nama Ifan Farid (9), Saiful Abdi (11), dan Heri Prasetyo (50) dipanggil, lagi-lagi Suparmi menyahut. Ini membuat relawan Tzu Chi menaruh perhatian lebih pada ibu tersebut. Empat dari anggota keluarganya dirawat, dan 3 di antaranya kini ada di ruang rawat intensif (ICU).

Keluarga Suparmi tinggal di Plumbon Lor, Sindu Martani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Jarak tempat tinggal mereka adalah 14 km dari puncak Gunung Merapi. Suparmi sendiri sudah 30 tahun tinggal di Jatinegara, Jakarta, mengikuti suaminya. Di rumah mereka itu, tinggal 7 orang yaitu ibunya (Cipto Sumarto), dua adik laki-lakinya yang masih bujang (Mahudi dan Muryadi), seorang adik ipar laki-laki (Heri Prasetyo), dan tiga keponakan (Lusianto, Ifan Farid, dan Saiful Abdi). Adik perempuannya yang merupakan istri dari Heri Prasetyo sudah lama meninggal.

Malam Kamis tanggal 4 November 2010, Suparmi sempat menelepon ibunya untuk menanyakan kabar di sana. Saat itu, Mbah Cipto (83 tahun) menjawab bahwa semua dalam kondisi aman, dan meminta Suparmi agar tidak khawatir. “Rencananya sekeluarga mau dipindahin (mengungsi) hari Jumat besoknya. Nggak taunya malam itu justru kejadian,” kata Suparmi dengan nada tegar. Keyakinan Mbah Cipto – yang berjualan di pasar untuk menopang keluarga ini – bahwa kondisi masih aman dapat  dimaklumi, sebab dusun ini tergolong daerah yang selalu selamat setiap kali Merapi menunjukkan aktivitasnya.

Pada tengah malam menjelang tanggal 5 November, terdengar suara seperti hujan kerikil menerpa atap rumah. Mbah Cipto mengumpulkan semua orang rumah untuk berdoa bersama memohon keselamatan. Namun karena hujan tak kunjung berhenti dan hawa semakin panas, akhirnya semua mulai mencari cara untuk menyelamatkan diri.

foto  foto

Keterangan :

  • Dengan menyerahkan santunan bagi korban yang dirawat di rumah sakit, relawan berharap dapat meringankan biaya yang harus ditanggung keluarga korban. (kiri)
  • Suparmi sebagai kakak tertua dari keluarga tersebut terus menjagai 4 anggota keluarganya yang dirawat. Ia mencoba tegar dan mengesampingkan segala perasaan duka yang ada. (kanan)

Aku Ikhlas dan Pasrah
Dari 7 orang yang tinggal di rumah itu, 4 orang yang dijagai oleh Suparmi di Rumah Sakit Dr, Sardjito adalah yang tersisa hidup. Tiga orang lainnya, termasuk sang ibu, dinyatakan meninggal karena dusun itu tertimbun lahar panas yang dimuntahkan oleh Gunung Merapi. Sebagai kakak tertua, Suparmi langsung menuju ke Yogyakarta untuk mengurus keluarganya. Ifan dan Saiful, dua keponakannya yang masih kecil mengalami luka bakar serius di kedua tangan dan kaki mereka. Saiful bahkan mengalami luka bakar di wajahnya. Heri Prasetyo (ayah Ifan dan Saiful) mengalami luka bakar di telapak kaki, sementara Muryadi dinyatakan sudah rusak kedua telapak kakinya hingga harus diamputasi. Sejak menjalani operasi amputasi, Muryadi mengalami koma berkepanjangan. Maka Suparmi pun menjadi penghuni sementara di RSUD Dr. Sardjito. Beberapa kali sehari, ia mengenakan jubah hijau steril untuk masuk ke ruang ICU dan Perawatan Intensif Luka Bakar.

“Panas…panas…,” terkadang Ifan berteriak sambil menangis pada perawat. Dan bila Suparmi mendengar, maka ia akan segera menghampiri ranjang perawatan anak kecil itu, lalu mengipasinya sambil membujuk, “Opo sing kerasa panas, ora opo-opo, Bude nang kene. Sing sabar yo (apa yang terasa panas. Tidak apa-apa, bibi di sini. Yang sabar ya).” Kemudian ia akan berpindah ke ranjang Saiful di sebelah Ifan untuk mengusap dan mengajaknya berbicara. Tutur katanya memang tidak lemah lembut melainkan tegas, namun tetap menunjukkan perhatian.

Setelah itu, ia akan menuju ruang ICU di mana Muryadi masih terbaring tidak sadar. “Sambil berdoa yo Mur, njaluk (mohon) kesembuhan sama Allah. Mbak Mi di luar, nungguin kamu terus. Mbak Mi juga berdoa. Kamu cepet sadar ya,” katanya lembut, yakin bahwa Muryadi dapat mendengarnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Di depan pintu ruang rawat intensif (ICU) RSUD Dr. Sardjito, banyak keluarga pasien yang menginap dengan kondisi seadanya sambil menunggui keluarga mereka yang masih dirawat. (kiri)
  • Saiful Abdi mengalami luka bakar yang lebih berat dibanding adiknya. Ia sempat terjerembab hingga kulit wajahnya terbakar dan menghirup gas belerang. Pendampingan Suparmi bibinya cukup menenangkan hati anak kecil ini. (kanan)

Dibandingkan yang lainnya, Heri Prasetyo lebih beruntung. Kedua tangan dan kaki Ifan dan Saiful dibalut tebal, sehingga anak-anak kecil yang masih belum mengerti apa-apa itu, tak dapat melakukan apapun selain berbaring. Sementara, Heri cukup sehat untuk bangun dari tempat tidurnya, dan bercerita tentang malam kejadian itu. Ia menggambarkan bagaimana lahar panas merembes masuk ke dalam rumah mereka dari bagian belakang dan terus meninggi, dan bagaimana ia menyelamatkan diri dengan menggendong Ifan dan menggandeng Saiful. Sewaktu ia meninggalkan Saiful sebentar untuk mendudukkan Ifan di tempat yang aman, Saiful malah berlari dan terjatuh hingga terjadi luka bakar di wajahnya dan paru-parunya infeksi karena sempat menghirup gas belerang. “Malam itu saya bawa anak-anak untuk lari ke Mushola. Lalu sempat hujan, dan baru saya bawa mereka ke pos. Waktu itu kaki saya sudah tidak karuan bentuknya,” cerita Heri.

Bagi Suparmi, kejadian yang sudah berlalu tidaklah terlalu penting. Ia meyakini bahwa semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa, maka ia menerima segalanya dengan lapang dada. “Saya berkata dalam hati, ‘Ya Allah, aku ikhlas. Ya Allah, aku pasrah.’ Kalau ndak begitu, dada rasanya sesak,” katanya. Banyak keluarganya yang lain bergantian ikut berjaga di rumah sakit, namun Suparmilah yang terus berjaga tanpa libur. Setelah dirawat selama satu minggu, Heri sudah cukup kuat untuk menemui anak-anaknya di ruang perawatan intensif. Pertemuan ini memberikan kemantapan hati yang sangat penting bagi kesembuhan kedua anak tersebut. Sementara, garis nasib Muryadi berkata lain, setelah mengalami koma selama 5 hari, satu hari setelah kunjungan rombongan relawan Tzu Chi, malam hari tanggal 18 November 2010, ia melepaskan penderitaannya dan meninggal dunia. Dan Suparmi, mungkin demi menggantikan tugas almahumah ibunya, masih terus menjaga hingga semua anggota keluarganya sembuh kembali.

  
 

Artikel Terkait

Siswa-siswi Sekolah Silaparamitha Makin Paham Apa Itu Pelestarian Lingkungan

Siswa-siswi Sekolah Silaparamitha Makin Paham Apa Itu Pelestarian Lingkungan

25 Maret 2024

Komunitas relawan Tzu Chi di Xie Li Cipinang mengenalkan tentang Pelestarian Lingkungan kepada 130 murid sekolah dan orang tua siswa Sekolah Silaparamitha.

Pendidikan karakter Kelas Budi Pekerti

Pendidikan karakter Kelas Budi Pekerti

04 Oktober 2021

Relawan Tzu Chi komunitas He qi Utara 2 mengadakan kelas budi pekerti (Qin Zi Ban) pada Minggu, 26 September 2021. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring (zoom/online) karena masih dalam situasi pandemi Covid 19.

Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -