Pelantikan Relawan: Mengikis Kemelekatan
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Hadi Pranoto, Witono, Dimin (He Qi Barat), Stephen Ang (He Qi Utara)
|
| ||
Dalam agama Buddha sendiri para biksu maupun biksuni diharuskan untuk memangkas habis mahkotanya. Hal tersebut jugalah yang dilakukan oleh Sang Buddha. Memangkas rambut tersebut bukanlah tanpa sebab, selain untuk kerapihan, makna lain juga tersirat di dalamnya. Faktanya, rambut telah dianggap sebagai mahkota sejak zaman dahulu kala sehingga banyak orang yang mengelu-elukan keindahan mahkota tersebut. Tanpa disadari timbullah kemelekatan pada apa yang dianggap menjadi hak milik, dan rambut menjadi salah satu hal tersebut. Kemelekatan merupakan salah satu faktor penghambat kemajuan batin karena apabila seseorang telah melekat pada satu hal, akan timbul hal-hal lain seperti keserakahan, kebodohan, dan perasaan iri hati juga akan lebih mudah timbul. Dari sanalah Sang Buddha dan murid-muridnya melatih untuk mengikis kemelekatan dengan memangkas mahkota ini, tradisi ini sampai sekarang masih dipegang teguh oleh para murid Buddha. Mengikis kemelekatan ini tidak hanya berlaku bagi biksu dan biksuni, para murid Buddha. Seperti Abtar Singh Gurdev Singh yang juga mempunyai mahkota, bukan rambut namun kumis dan jenggot. Abtar merupakan Region Controller Perkebunan Sinarmas 3 Kaltim yang telah meneguhkan diri menjadi salah satu relawan biru putih Tzu Chi yang pada Minggu, 4 November 2012 lalu telah dilantik. Penampilan Abtar tidak berbeda dari Shixiong lain yang hadir, ia sudah mengenakan seragam biru putih dengan rapi dan berbagai perlengkapan Tzu Chi lainnya. Beberapa hari sebelum pelantikan ini terlaksana, ternyata kumis dan jenggot beliau yang telah 20 tahun menghiasi bagian dari wajahnya masih tumbuh lebat, namun hari ini sama sekali tidak ada sisa dari rambut-rambut itu. “Kumis dan jenggot saya ini sudah 20 tahun saya pelihara, memang dalam Sikhisme sepatutnya itu ada pelihara kumis dan jenggot dan juga pakai sorban. Tapi saya tidak pakai sorban hanya pelihara kumis dan jenggot saja,” ujarnya. Sikhisme sendiri merupakan sebuah aliran kepercayaan atau sebuah agama yang berasal dari Punjabi, India. Dalam tradisi Sikhisme, para penganutnya biasa memelihara rambut, jenggot dan juga kumis serta mengenakan sorban. Awalnya, pria asal Malaysia ini sangat berat untuk memangkas bagian rambutnya itu, “Untuk potong ini jenggot dan kumis, saya butuh dua sampai tiga kali untuk berpikir. Sampai dua hari saya menimbang-nimbang dan tanya sama istri macam mana kalau kumis saya potong, kata dia ya asal untuk berbuat baik ya tak papa lah,” ceritanya dengan logat melayu yang cukup kental. “Akhirnya, pas hari raya Kurban (Idul Adha) kemarin, saya kurbankan juga kumis dan jenggot saya demi untuk Tzu Chi,” tambahnya. Dalam hati Abtar ternyata telah timbul pemikiran bahwa apapun dalam tubuh dapat tumbuh kembali, termasuk kumis dan jenggot. Namun waktu tidak dapat tumbuh kembali, sehingga ia tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan untuk berbuat baik. “Biarlah ini jenggot dipangkas, nanti juga bisa tumbuh balik, tapi kalau waktu tak bisa balik lagi. Umur kita tak ada yang tahu, sekarang saya sudah 55 tahun, tak tahu kapan bisa bantu lagi kalau tak mulai dari sekarang,” tegasnya.
Keterangan :
Perasaan nyaman, tenang juga bahagia selalu menyertainya saat ia mengikuti kegiatan Tzu Chi. Menurutnya bekerja di Tzu Chi adalah penting bagi dirinya dan juga orang lain. “Karena sekarang saya di Sinarmas, saya jadi punya kesempatan untuk belajar berbuat baik langsung sama mereka yang kurang, karena itu sajalah saya ingin jadi relawan Tzu Chi,” ucapnya. Jalinan jodoh antara Abtar dan Tzu Chi terjalin ketika dirinya sedang melakukan interview di kantor Sinarmas Kalimantan Timur untuk melamar pekerjaan pada 2010 lalu, di ruang tunggu ia melihat ada majalah dan buletin Tzu Chi. Sambil menunggu beliau membaca majalah yang di dalamnya banyak kegiatan amal, pendidikan dan lain-lain. Ternyata itu kegiatan Buddha Tzu Chi dan ternyata Sinarmas juga aktif sekali dalam Tzu Chi. Keinginan untuk menjadi ‘pasukan semut’ langsung timbul dalam diri Abtar. Relawan lain yang juga memberikan pengorbanannya adalah seorang Senior Managing Director PT. Smart TBK, Daud Dharsono. Bagi seorang atasan, kumis atau jenggot biasanya digunakan untuk menunjukkan kewibawaan, namun demi menjadi murid Master Cheng Yen yang baik, semua itu bukanlah suatu masalah yang besar. Selain kumis dan jenggot, ia juga mempertaruhkan waktunya untuk berdedikasi bagi Tzu Chi. “Sebenarnya saya sudah ikut aktif sebagai relawan sejak tahun 98-99 saat pembagian sembako hingga tahun 2002-2003. Namun karena alasan klasik “tidak punya waktu” kegiatan kerelawanan sempat terhenti, namun setelah sekarang saya mamantapkan diri untuk menjadi biru putih, tentu akan berusaha untuk membagi waktunya, saya bisa lebih aktif dalam setiap kegiatan di Tzu Chi,” demikian ia mengutarakan tekadnya. “Saya sangat berkesan karena dengan adanya pelantikan seperti ini dapat membuka wawasan lebih luas lagi tentang ajaran-ajaran Master Cheng Yen terutama tentang cinta kasih yang lintas agama, lintas suku, RAS, dan lintas wilayah.” Melalui pelantikan ini Daud Shixiong mengaku bahwa beliau merasa diberikan kesempatan untuk belajar membagi waktu dan belajar menumbuhkan kepedulian juga belajar memanfaatkan kesempatan yang telah terbuka lebar di depan mata. Bagai Langit yang Tiada Batas
Keterangan :
Sekitar dua minggu lalu kecelakaan telah menimpa Agustina Widjaja Shijie, istri dari Djohar Shixiong. Dari kejadian ini, jalinan jodoh yang telat terjalin antara keluarga harus putus karena istri dari Djohar Shixiong meninggal. “Jadi beliau sedang menyeberang jalan dan tiba-tiba ada motor dan motor itu menabrak istri saya. Kira-kira kejadiannya dua minggu lalu, istri saya bersama dua teman dan satu anak saya yang ditabrak. Saya tahunya saat istri sudah berada di rumah sakit. Setelah berawat di ICU dan operasi, akhirnya pada hari ke-4 dirawat, Shijie saya pergi meninggalkan saya dan ketiga anak kami.” “Ceritanya tersangka ini kemudian datang pada saya untuk meminta maaf, saya mengatakan pada dia (orang yang menabrak istri), saya tidak tahu bagaimana keadaan istri saya, apakah dia akan bisa sembuh seperti semula atau ada cacat atau bahkan akan meninggal. Kalaupun dia meninggal, kesempatan anak saya untuk berbakti pada ibunya akan hilang. Maka dari itu saat ini saya minta tolong sama kamu, saat ini kamu masih mempunyai ibu, dan saya minta kamu untuk berbakti pada ibu kamu, selagi kamu masih punya waktu,” ucapnya sambil mengingat perkataanya pada orang yang telah menabrak istrinya. Bukan merupakan hal yang mudah untuk memaafkan orang, apalagi mengikis kemelekatan pada orang terkasih. Namun Djohar Shixiong merasa sangat bersyukur karena dirinya telah mengenal Master Cheng Yen. Karena Master Cheng Yen, dirinya dapat melatih kesabaran dan kebijaksanaan. “Saya sangat gan en sama Master Cheng Yen, karena saya sudah lima tahun ikut jadi relawan Tzu Chi. Saya jadi termotivasi dari Dharma Master. Mungkin Shixiong-Shijie bingung kenapa saya masih bisa tersenyum setelah kejadian ini. Ini karena saya masih semangat berada di jalan bodhisattwa, Shixiong-Shijie juga harus lebih semangat daripada saya,” ujarnya penuh ketegaran. “Sebelum meninggal kami merupakan keluarga Tzu Chi, dan sering nonton DAAI TV. Kami sering terinspirasi dengan program silent mentor. Istri juga pernah ngomong kalau itu bagus sekali, hingga kami berfikir agar kami nantinya juga bisa bermanfaat untuk orang lain. Akhirnya kemarin almarhumah Istri menyumbang kornea ke bank mata, istri langsung menyumbang sepasang mata (dua kornea) yang dapat bermanfaat untuk dua orang nantinya.” Djohar Shixiong adalah teladan bagi kita semua karena dirinya tidak hanya belajar dharma, namun juga mempraktekkannya. Dirinya juga telah dapat mengatasi persoalan dan benar-benar berlapang dada seluas jagat raya. | |||
Artikel Terkait
Pendampingan Ke-2 Pasien Baksos Degeneratif
25 April 2017Minggu, 23 April 2017, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mengadakan Baksos follow up ke-2 di Sekolah Al Mutaqien, Kapuk Muara, Jakarta Utara. Kegiatan ini diikuti oleh 91 pasien degeneratif.