Pelatihan 4 in 1: Yakin Bertekad Menjalankan
Jurnalis : Hadi Pranoto, Yuliati, Fotografer : Arimami, Beverly (Tzu Chi Tanjung Balai Karimun)“Dimana ada tekad, di situ ada kekuatan”, kata-kata Master Cheng Yen ini terasa dekat di hati para relawan Tzu Chi. Kalimat ini menjadi penyemangat bagi para relawan di saat mereka tengah mengalami kemunduran semangat ataupun berada dalam kondisi yang lemah (sakit). Kekuatan tekad merupakan salah satu sharing Wei Liang Xu, seorang relawan Tzu Chi Taiwan dalam Kamp Pelatihan 4 in 1 yang diadakan pada tanggal 28 – 29 Mei 2016 di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Membawakan materi “Yakin Bertekad Menjalankan”, Wei Liang Xu memberikan gambaran bahwa setiap orang pernah mengalami pasang-surut semangat dalam menjalankan misi Tzu Chi, dan juga ujian dalam hidupnya. Wu Liang Xu, seorang pengusaha sukses di Taiwan mulai bergabung di Tzu Chi sejak 19 November 1996. Saat Taiwan diguncang gempa dahsyat pada tahun 1999, ia diminta Master Cheng Yen untuk turut dalam pembangunan RS Tzu Chi Dalin dan juga sekolah. “Master menegaskan, ada dua tempat yang tidak boleh ikut hancur atau rusak saat terjadi gempa, yaitu sekolah dan rumah sakit,” kata Wei Liang Xu mengutip kata Master Cheng Yen kala itu.
Setelah itu, Wei Liang Xu juga diminta mengerjakan proyek di RS Tzu Chi Xindian. Di sini ia mengalami tekanan yang luar biasa dari masyarakat dan juga kalangan relawan sendiri. “Saya depresi dan tidak bisa tidur,” katanya. Untuk menenangkan diri, setiap hari Selasa (seminggu sekali), jam 4 pagi ia naik kereta ke Hualien untuk mendengarkan ceramah Master Cheng Yen. Setelah itu ia kembali ke Taipei. Ini dijalani 2-3 tahun. “Saya merasa tersiksa, kok ikut Tzu Chi seperti ini, harusnya saya lebih bahagia. Saya harus cari organisasi lain yang bisa bikin saya bahagia. Batin saya terluka,” terang Wei Liang Xu yang kemudian memutuskan tidak lagi mengikuti kegiatan Tzu Chi.
Beberapa tahun kemudian, Wei Liang Xu mengalami cobaan. Tekanan bola matanya tinggi dan bisa mengakibatkan kebutaan. Dokter menyarankannya untuk menjalani operasi. “Setelah operasi, saya harus telungkup seharian. Sehari hanya 4 kali bisa berbalik selama 8 menit untuk ditetesi obat mata. Di sini saya merasa menderita sekali,” terangnya. Dari sini Wei Liang Xu menyadari penderitaan akibat penyakit, dan karenanya ia pun bertekad untuk mengikuti jejak Master Cheng Yen lagi setelah sembuh. Kini, Wei Liang Xu mendedikasikan waktunya untuk menjadi relawan Tzu Chi.
Suriyanti Bakri (32) dengan keterbatasannya tetap mengikuti pradaksina.
Musibah Pascamelahirkan
Tidak mudah bagi pasangan Surya Kheng (34) dan Suriyanti Bakri (32) tinggal selama dua tahun di negeri orang. Terlebih bagi Suriyanti atau yang akrab disapa Suri, yang mesti menjalani pengobatan di RS Tzu Chi Hualien, Taiwan dari tahun 2014 sampai 2016. Beruntung kedua muda-mudi Tzu Ching yang menikah ini dapat menerima cobaan ini dengan tabah. Semua bermula ketika Suri melahirkan anak pertamanya pada bulan Mei 2014. Bayi yang diberi nama Bryan Kingstein Kheng ini lahir normal seperti bayi lain pada umumnya. Namun hal sebaliknya justru terjadi pada sang ibu. Kondisi fisiknya lemah. Suri didiagnosis mengidap Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) atau penyakit kelainan autoimun yang mengakibatkan daya tahan tubuhnya menjadi lemah. Oleh dokter kemudian diberikan obat steroid dosis tinggi. “Habis itu kaki saya lemah, tidak kuat untuk berdiri,” kata Suri, “dokternya bilang ini hanya efek obat saja.” Tapi sudah dua minggu kondisinya masih tetap sama. “Akhirnya kita memutuskan untuk berobat di Taiwan,” terang Suri. Setelah menjalani operasi di awal tahun 2016, kini kondisi Suri membaik. Ia juga sudah kembali ke tanah air untuk menjalani proses penyembuhan. “Tinggal satu kali operasi lagi,” terang Suri.
Bersama suami, Surya Kheng (mendorong kursi roda), selama dua tahun Suri menjalani pengobatan di Taiwan. Mengikuti kamp menjadi obat kerinduannya akan kegiatan Tzu Chi.
Dengan masih menggunakan kursi roda, Suri didampingi sang suami, Surya memutuskan untuk mengikuti Kamp Pelatihan 4 in 1 ini. Selama dua hari ia mengikuti secara penuh kegiatan ini, bahkan saat pradaksina ia mencoba mengikuti gerak langkah para relawan dengan tongkatnya. “Saya kangen ingin ikut kegiatan Tzu Chi. Ini juga bentuk rasa bahagia karena kondisi saya sudah membaik pascaoperasi,” terang Suri. Banyak hal yang ia peroleh selama mengikuti training dua hari ini, salah satunya tentang semangat dalam menjalani misi amal. “Saya mau menjadi relawan di misi amal, melakukan survei dan menangani pengobatan pasien kasus Tzu Chi jika sudah sembuh,” ungkapnya. Berkumpul di rumah insan Tzu Chi juga mengobati kerinduannya kepada rekan-rekannya, sesama relawan dan anggota Tzu Ching dulu. Dan yang terpenting, kehadirannya bisa kembali menumbuhkan semangatnya berjalan di jalan Tzu Chi. “Saya bertekad akan segera menjadi komite agar bisa membantu Master Cheng Yen dengan menjalan visi dan misi Tzu Chi di Indonesia,” tegasnya.
Roslina (dua dari kiri) dengan alat bantu dengar berupaya menangkap semua yang disampaikan pemateri.
Mengikuti Langkah Sang Guru
Salah satu peserta kamp lainnya, Roslina juga mengalami keterbatasan fisik. Roslina yang sejak kecil mengalami gangguan pendengaran sejak kecil berupaya keras menangkap setiap materi yang disampaikan para relawan. Apalagi dengan alat bantu dengar tersebut ia memiliki keterlambatan menerima sinyal beberapa detik dari yang langsung disampaikan pembicara. “Saya merasa senang bisa ikut training ini, karena dengan ikut Tzu Chi itu kita mengikuti jejak langkah Guru, Master Cheng Yen,” ungkapnya.
Roslina sudah sejak tujuh tahun lalu aktif sebagai relawan Tzu Chi Pekanbaru. Ia aktif di misi pelestarian lingkungan. “Selama di Tzu Chi saya ikut huan bao (pemilahan sampah daur ulang-red). Setiap hari membawa sepeda melakukan huan bao (pelestarian lingkungan-red),” ujarnya. Bukan hanya melakukan pemilahan sampah daur ulang, Roslina juga membantu keliling untuk menjual baju-baju bekas yang disumbangkan ke Tzu Chi menggunakan sepeda miliknya. “Saya melakukan ini karena untuk Tzu Chi,” akunya.
Mengikuti pelatihan ini merupakan cara Roslina mendalami ajaran Tzu Chi. Karena itu ia rela datang dari Pekanbaru ke Jakarta untuk mengikuti Kamp Pelatihan 4 in 1 ini.
Roslina juga aktif menggalang hati para Bodhisatwa. Berkat kegigihannya ini ia pun berhasil menggalang 200 donatur yang rutin menyumbangkan dana untuk Tzu Chi setiap bulannya. Sejak tahun 2009, Roslina melatih diri di Tzu Chi. Banyak perubahan yang terjadi pada dirinya. Roslina adalah seorang wanita yang memiliki perangai cukup keras. Sebelum mengenal Tzu Chi ia selalu melawan suaminya jika terjadi perselisihan. “Ketika suami marah-marah dan saya pulang kerja merasa letih maka akan mudah emosi. Saya lawan suami saya,” ujarnya. “Tapi setelah mengenal dan aktif di Tzu Chi, saya tak mau emosi lagi, sudah lebih sabar,” sambungnya.
Apa yang dialami Roslina bukan tanpa sebab. Perubahan positif yang dialaminya ini berkat ketekunannya mendalami Dharma Master Cheng Yen dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itulah ia rela jauh-jauh dari Pekanbaru untuk mengikuti pelatihan ini. “Beruntung ada Tzu Chi, saya bisa melatih diri dan berubah ke arah yang lebih baik,” ungkapnya seusai mengikuti pelatihan.
Mengikuti pelatihan menjadi salah satu cara untuk kembali mengumpulkan semangat dalam aktivitas kemanusiaan. Bekerja tanpa memahami adalah hal yang membahayakan, sementara memahami tanpa melakukan adalah sia-sia. Karena itu kita perlu keduanya: belajar Dharma dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata.
Artikel Terkait
Pelatihan 4 in 1: Setia Hati Mengemban Ajaran Jing Si
01 Juni 2016Pada tanggal 28-29 Mei 2016, diadakan kamp pelatihan relawan 4 in 1 di Aula Jing Si, Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini diikuti oleh 710 relawan yang berasal dari Jakarta, kantor perwakilan dan kantor penghubung Tzu Chi di seluruh Indonesia.