Pelatihan Relawan Biru Putih: Menjaga Batin dan Kelembutan Hati
Jurnalis : Erli Tan, Fotografer : Indarto (He Qi Barat), Jodie Lienardy, Ciu Yen (He Qi Utara), Henry TandoHong Evie bersama anak tunggalnya, Yena kini hidup harmonis. Masa sulit yang pernah dialami keduanya dijadikan pembelajaran untuk melangkah ke depan.
Tiga tahun lalu, Hong Evie datang ke Jing Si Books & Café Pluit untuk menerima dana santunan biaya pendidikan untuk putri tunggalnya, Yena. Kini, pada 11 Oktober 2015, ia datang ke Tzu Chi Center dan berdiri di panggung Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, untuk dilantik menjadi relawan biru putih Tzu Chi. Sebuah transformasi dari seorang penerima bantuan menjadi pemberi bantuan.
Bukan hanya itu, dirinya yang berwatak keras, suka berkelahi, hingga ringan tangan kepada anaknya, Yena kini telah berubah. Dia kini menjadi orang yang penuh toleransi, murah senyum, dan seorang ibu yang berhati lembut.
Ketulusan dan perhatian yang diberikan relawan Tzu Chi menyentuh hati Hong Evie hingga dia juga bertekad memperpanjang barisan relawan Tzu Chi.
Masa kecil Hong Evie tidak seperti anak gadis pada umumnya. Didikan keras dari ayahnya membentuk karakternya terlihat lebih mirip seorang laki-laki. Di masa mudanya, ia suka berkelahi dengan pemuda di lingkungan tempat tinggalnya.
Tahun 1997 ia menikah. Namun, karena ketidakharmonisan dengan suaminya, baru tiga bulan menikah ia kembali ke rumah orang tuanya. Putri satu-satunya dari hasil pernikahan ia besarkan sendiri. Bermodal pengetahuan permesinan dari ayahnya, ia menafkahi putrinya dengan melakoni pekerjaan sebagai teknisi yang memperbaiki pompa air, kipas angin, dan peralatan elektronik lain. Pekerjaan kasar dan berat juga ia lakukan seperti menggali dan membuat sumur.
“Saya ambil hikmahnya ya, bapak saya keras mendidik saya dengan keras, itu supaya saya bisa mandiri, begini akhirnya saya bisa menyekolahkan anak dari taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama,” ungkap wanita yang akrab disapa Evie ini penuh syukur.
Meski begitu, penghasilannya yang tidak menentu itu membuat dirinya terkadang harus meminjam uang ke tetangga atau saudara untuk bisa membeli susu buat Yena kecil. Dia kemudian membayar utang-utang itu jika sudah mendapatkan penghasilan.
Ketika Yena duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia memutuskan pindah dari rumah orang tua dan tinggal di rumah kontrakan di daerah Kapuk Raya, Jakarta Barat. Lingkungan tempat tinggal yang kurang baik menjadi tantangan baginya untuk mendidik dan melindungi Yena. Sebagai orang tua tunggal, hal ini tentu tidak mudah.
Hubungan Yena (kiri) dengan ibunya dulu sering tidak harmonis. Namun, perlahan Evie mulai berubah menjadi pribadi yang lebih mampu mengendalikan emosi setelah mengenal Tzu Chi.
Tahun 2012, Yena mulai duduk di bangku sekolah menengah kejuruan. Makin tinggi sekolah, makin tinggi pula biayanya. Pendapatan Evie yang tak tetap sudah tidak sanggup lagi membiayai pendidikan Yena. Ia pun mengajukan permohonan bantuan ke Tzu Chi. Melalui kegiatan baksos bagi beras yang diadakan Tzu Chi di daerah tempat tinggalnya saat itu, ia bertanya kepada salah satu relawan. Dari sana ia mendapat informasi bahwa Tzu Chi juga membantu biaya sekolah untuk anak dari keluarga tidak mampu.
Kemudian pengajuannya diterima, selama tiga tahun putrinya mendapat santunan biaya pendidikan dari Tzu Chi. Tiap bulan saat mengambil dana santunan di Jing Si Books & Café Pluit, ia mulai mengenal Tzu Chi lebih dalam. Perhatian dan pengaruh positif dari para relawan Tzu Chi pula membuat Evie berniat ikut bergabung menjadi relawan.
Sebuah Transformasi
“Aku kenal Shijie Amel itu bulan Agustus 2012, dia telepon saya, sms saya, memberi saya info kegiatan, Shijie Amel-lah yang memberi saya support,” kenangnya.
Berbagai kesulitan hidup yang dia alami kini ia kenang sebagai hal yang patut disyukuri, diterima, dan tidak dianggap sebagai kekurangan. Walau sempat menyesal dengan pilihan hidup yang pernah dilakukan, Evie tetap memilih untuk bersyukur.
Rasa syukur Hong Evie terwujud dari tekadnya membantu sesama dengan menjadi relawan biru putih.
“Bersyukur waktu aku kenal Tzu Chi, aku suka nonton DAAI TV. Pertama kali mengenal Master Cheng Yen dari sana. Beliau mengatakan bahwa dengan hati yang lapang dada, kita harus banyak bersyukur,” ungkapnya dengan senyum lepas, “Walaupun saya hanya tinggal di rumah kontrakan tiga kali tiga, tapi dengan hati senang, menerima apa adanya.”
Evie juga bersyukur sekali dapat memiliki kesempatan untuk mengenal Tzu Chi melalui berbagai kesulitan hidupnya. “Saya mengucapkan terima kasih dan gan en banget kepada Tzu Chi dan kepada Master Cheng Yen yang sudah membuka pintu hati saya dan batin saya. Dulu itu saya orangnya keras, tukang berantem, tapi melalui Dharma Master, saya menyaring diri saya sehingga bisa mengontrol diri sendiri, menjadi orang yang sabar, tidak cepat emosi,” ungkap Evie yang rutin menonton Sanubari Teduh setiap Minggu pagi.
Hong Evie kini lebih mampu mengendalikan emosi dan menjadi pribadi yang lebih toleran.
Saat ini watak Evie yang kini telah menginjak usia 47 tahun telah berubah banyak, tentu saja tidak berkelahi lagi, lebih toleran terhadap orang lain, bisa menjaga batin dan pikiran serta kelembutan hatinya. Dia juga lebih sayang dan perhatian, bisa berbicara lembut dan sabar kepada anaknya Yena. Yena sendiri yang kini berusia 17 tahun telah bekerja sebagai staf pembukuan.
Hubungan anak dan ibu sangat harmonis. Berdua, mereka belajar hidup penuh syukur dan menerima kesulitan ekonomi yang kadang masih terjadi. Di rumah pun mereka suka menonton drama DAAI TV dan mendengar ceramah Master Cheng Yen. Keduanya memiliki keyakinan agama yang berbeda, namun, keduanya mantap menapaki jalan untuk menjadi pribadi yang baik.