Setelah diberi contoh kasus, setiap grup tampil ke depan memerankan beberapa karakter. Ada yang sebagai pasien, keluarga pasien, dokter, perawat, dan relawan pemerhati. Di sini para peserta sekaligus praktik bagaimana komunikasi yang benar dengan pasien dan keluarga pasien paliatif.
Perawatan Paliatif akan menjadi suatu layanan di Tzu Chi Hospital PIK, yang mana cluster rawat jalan paliatif akan dibuka terlebih dulu. Berbagai persiapan telah dilakukan, salah satunya pelatihan bagi relawan pemerhati paliatif.
Pelatihan pada Sabtu, 28 Mei 2022 lalu merupakan pelatihan kedua namun merupakan pelatihan pertama secara tatap muka. Sebanyak 59 peserta yang terdiri dari para relawan Tzu Chi “terpilih” karena melalui proses seleksi, juga perawat, apoteker, dan beberapa dokter menyerap banyak wawasan dan ilmu baru.
Saking serunya pelatihan ini, sampai-sampai para peserta lupa waktu dan pelatihan baru berakhir satu jam dari waktu yang ditentukan. Bagaimana tak seru, setelah mendapatkan pemahaman tentang apa itu perawatan paliatif, mereka langsung praktik.
Perawatan paliatif menurut World Health Organization (WHO) adalah pendekatan yang meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah kesehatan yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan tindakan untuk mengurangi nyeri, masalah fisik, sosial, dan spiritual yang dihadapi pasien selama pengobatan.
Dokter Maria Astheria Witjaksono, MPALLC(FU), PC physician, mentor pada pelatihan kali ini mengoreksi bagaimana seharusnya, dan yang tak seharusnya saat berkomunikasi menghadapi pasien dan keluarga pasien paliatif.
Dokter Maria Astheria Witjaksono, MPALLC(FU), PC physician, mentor pada pelatihan ini menjelaskan, singkatnya kalau paliatif itu menatalaksana pasiennya, kalau spesialis yang lain itu menatalaksana penyakitnya. Jadi di paliatif, penyakit merupakan bagian kecil dari pasien itu sendiri. Pasien adalah seorang pribadi yang tak hanya punya fisik yang sedang sakit tapi mungkin juga hatinya sedang khawatir, gelisah, takut, marah, kecewa, menyesal, atas kondisi saat ini. Itulah yang harus ditatalaksana.
“Pasien yang masuk ke dalam kondisi penyakit yang berat pasti mengalami perubahan di dalam kehidupan rumah tangganya. Mungkin perubahan peran, perubahan struktur waktunya, perubahan dalam menata finansialnya, dan sebagainya,” terang dr. Maria.
Secara spiritual, perawatan paliatif juga membantu pasien bisa dealing with the suffering. Dengan penderitaannya itu tim paliatif membantu pasien supaya memaknai kondisi saat ini dan kemudian membawa itu kepada situasi penerimaan, bisa menerima, bahwa apapun sebenarnya setiap pasien punya masa lalu, punya masa sekarang, punya masa yang akan datang yang saling berhubungan.
“Bagaimana seorang pasien paliatif dibantu agar mereka bisa akhirnya memiliki akhir kehidupan dengan kualitas yang baik. Dan kalau meninggal, meninggal dengan kualitas meninggal yang baik. Ada dalam kondisi peace, comfort and dignity. Jadi berdamai dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dengan Tuhannya, tapi juga nyaman. Jangan jelang meninggal pasien kesakitan luar biasa, mual, kejang, semua itu harus bisa ditatalaksana,” tambah Dokter Maria.
Tim Perawatan Paliatif
Seorang peserta menyampaikan pelajaran yang ia petik saat sesi role play perawat dan pasien. Peran penting komunikasi dalam perawatan paliatif memang menjadi satu hal yang ditekankan dalam pelatihan kali ini. Masih akan ada banyak pelatihan selanjutnya.
Tim dari pelayanan paliatif terdiri dari dokter, perawat, juga tenaga kesehatan yang lain. Tetapi seringkali dalam pelayanan ini memerlukan kehadiran para relawan. Para relawan yang relatif dekat dengan masyarakat ini bisa menjadi jembatan antara tenaga kesehatan dengan pasien dan keluarga pasien.
Di perawatan paliatif, pasien dan keluarga menjadi tim itu sendiri. Keluarga selain mereka menjadi target yang akan dilayani, mereka juga akan dilibatkan sebagai tim yang akan melayani pasiennya yang sakit. Jadi dalam perawatan paliatif, anggota tim harus saling mengenal satu sama lain, harus memahami, harus bisa bekerjasama. Karena itu di dalam pelatihan ini para peserta yakni para relawan dengan para tim medis ini berbaur supaya dalam menjalankan tugasnya nanti mereka sudah terbiasa.
Pada pelatihan ini para peserta belajar bagaimana berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya yang memang mengalami masalah yang sangat kompleks, kemudian membawa pasien untuk bisa menerima kondisinya. Edy Sheen, relawan Tzu Chi dari komunitas He Qi Tangerang bersyukur mendapat kesempatan mengikuti pelatihan ini.
“Manfaatnya luar biasa. Ini menempa kami sebagai relawan untuk kedepannya lebih siap, lebih berhati-hati untuk komunikasi, tepat pada tempatnya. Selama ini kami relawan secara tidak sengaja agak ceplas-ceplos, tapi hari ini ada tempaan yang bagus sekali, kami harus bisa lebih menjaga. Jadi hati-hati dalam ucapan, dalam bertindak,” katanya.
Peran Penting Komunikasi dalam Perawatan Paliatif
Marlen Feren, mendapat banyak pelajaran dari pelatihan tersebut.
Pada pelatihan ini, salah satunya peserta diajak bermain roleplay sebagai pasien dan seorang perawat. Di sini, peserta seolah diajak untuk mengoreksi diri, menegur diri sendiri, selama ini sudah betulkah cara mereka berkomunikasi.
“Misalnya kita bicara sama orang tapi orangnya malah sibuk main handphone, kadang gimana ya. Saya sudah bercerita sebaik mungkin kok dia tidak ada feedback, saya sudah mau menangis tapi kok perawatnya nggak care, malah dia menghadapnya ke tempat lain. Jadi komunikasi yang kita sampaikan itu tidak sampai. Yang sampai itu kalau misalnya kita ada kontak mata, saling menatap, ditambah lagi kalau kita ada sentuhan fisik. ‘Bu, gimana kabarnya? Hari ini saya perawat Marlen, saya mau cek tensi ibu, saya akan memberikan tindakan.’ Sebenarnya dengan hal yang kecil saja, kita bisa memberi pelayanan semaksimal mungkin kepada pasien,” kata Marlen, salah satu peserta yang juga adalah seorang perawat di Tzu Chi Hospital.
Bagi Marlen, para perawat pasti berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk pasien. Namun tak dipungkiri di situasi yang riuh, terkadang perawat tak dapat selalu bersikap lemah lembut pada pasien.
Pada pelatihan ini peserta dibagi menjadi beberapa grup. Setiap grup diberikan contoh kasus. Mereka kemudian memerankan setiap karakter, ada yang sebagai pasien, sebagai keluarga pasien, sebagai dokter, sebagai perawat, sebagai relawan pemerhati. Setelah maju ke depan untuk memerankan simulasi itu, dr. Maria akan memberikan koreksi mana yang kata-katanya perlu dibetulkan. Namun dr. Maria juga memuji mana yang sudah tepat.
Para peserta bersama para mentor. Pelatihan relawan pemerhati paliatif ini sarat dengan ilmu, wawasan yang sangat diperlukan bagi para relawan juga tim medis dalam menjalankan tugasnya nanti.
Lili Tedja, relawan Tzu Chi dari komunitas Xie Li Cikarang betul-betul berkomitmen untuk menjadi seorang relawan paliatif. Bagi Lili, jika seseorang berniat menjadi relawan pemerhati paliatif, maka harus banyak latihan. Harus ada penguasaan seperti cara penyampaian, tutur kata, sikap, juga emosi.
“Saya tertarik sekali karena dalam setiap doa, ‘Tuhan tolong saya bisa memberi, untuk diri saya sendiri, saya juga harus sudah saatnya bisa memberi sedikit buat orang lain.’ Tentu tidak bisa kita memberi saja, kita harus mempunyai ilmu, kita harus membekali diri dengan kebijaksanaan dan kesadaran. Karena untuk menjalani tugas ini adalah sesuatu yang tidak gampang. Kita harus bisa memberi harapan kepada pasien paliatif, bagaimana menyemangatinya walaupun usia adalah di luar jangkauan kita,” katanya.
Para peserta pelatihan ini memang luar biasa. Banyak dari mereka berusia di atas 50 tahun, namun semangat mereka untuk belajar dan meng-upgrade diri sangat tinggi. Dan mereka mulai sekarang dibiasakan untuk berkomunikasi dengan nyaman dengan dokter dan perawat. Dalam pelatihan ini, ternyata dalam hal komunikasi, tidak ada kesenjangan. drg. Linda Verniati, Sp. Ortho, mentor lainnya memuji kesungguhan para relawan pemerhati paliatif ini.
“Saya berharap di Tzu Chi ini kita lebih berhasil, karena kita punya relawan yang sudah punya passion kepada humanity, sehingga membawa mereka menjadi satu caregiver-nya seorang paliatif, langkahnya kayaknya lebih ringan,” tutup Dokter Lynda optimis.
Editor: Metta Wulandari