Pelayanan adalah Panggilan
Jurnalis : Yuliati, Fotografer : YuliatiSelama 21 hari sejak tanggal 17 Juni hingga 7 Juli 2016 sebanyak 4 frater mengadakan live in di Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
Pengabdian sosial adalah salah satu mata kuliah yang diterapkan di kampus teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Mata kuliah yang diperuntukkan bagi para frater (calon pastor) ini bertujuan untuk mengabdi dalam kegiatan sosial di masyarakat, sehingga bisa merasakan secara langsung bagaimana kehidupan masyarakat yang dijadikan bekal nantinya dalam melayani umat. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menjadi salah satu tempat untuk kegiatan pengabdian sosial ini. Selama 21 hari sejak tanggal 17 Juni hingga 7 Juli 2016 sebanyak 4 frater mengadakan live in (praktek) di yayasan sosial kemanusiaan ini.
“Kegiatan di sini semua (bidang) sehingga bisa merasakan semua, menjadi tempat yang cocok untuk mengabdi,” ujar Kalixtus Kapistrano, ketua tim live in ini. “Di sini melayani pasien, kegiatan di depo Pelestarian Lingkungan, kegiatan sosial di panti jompo atau panti asuhan,” tambahnya. Memang di organisasi sosial lintas agama, suku, budaya, ras ini para keempat frater diajak untuk merasakan langsung berbagai kegiatan sesuai misi Tzu Chi.
Kalixtus Kapistrano membantu memberikan minum kepada oma Laurentia Aspreda dan menghiburnya yang saat itu berbaring sendiri di kamar rawat inap.
Gerry Vebriono (kiri) bertugas pada pendaftaran dengan ramah membantu pasien yang hendak melakukan pemeriksaan kesehatan di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi.
Belajar Kesederhanaan
Dalam kegiatan live in, para frater diajak mengenal lebih dekat tentang misi-misi Tzu Chi diantaranya misi amal Tzu Chi, misi kesehatan, dan misi pelestarian lingkungan. Dalam waktu tiga minggu benar-benar dimanfaatkan untuk belajar dan praktik melayani orang lain dan alam. Seperti dalam misi pelestarian lingkungan Tzu Chi, para frater diajak untuk memahami nilai guna barang. “Di depo saya belajar kesederhanaan, hemat. Orang sukanya konsumtif ternyata banyak sampah yang dihasilkan. Di sini belajar mengkonsumsi barang yang dibutuhkan bukan diinginkan,” ujar ketua tim menyampaikan kesannya live in di depo. “Dari sampah kita bisa memberikan bantuan kepada orang lain,” imbuhnya.
Gerry Vebriono merasakan hal yang sama seperti rekan satu timnya. Menurutnya kegiatan yang dilakukan dengan menyentuh barang-barang kotor yang dianggap sampah oleh orang lain justru memberikan manfaat cukup besar bagi orang lain. “Ada kalimat pendek yang mengesankan bagi saya, ‘Mengubah sampah menjadi emas, mengubah emas menjadi cinta kasih.’ Banyak barang yang bisa didaur (digunakan kembali) dibuang, padahal barang yang dibuang memiliki efek terhadap lingkungan yang sangat besar,” tuturnya. “Saya melihat bagaimana hal-hal yang sebenarnya sudah tidak terpakai bisa dimanfaatkan kembali dan memiliki nilai ekonomis,” sambung mahasiswa semester 5 ini.
Meskipun mengabdi di depo pelestarian lingkungan hanya seminggu, namun setiap kegiatan yang dilakukan memberikan kesan yang cukup mendalam bagi para frater. Hal ini terbukti, mereka akan mengenalkan dan menerapkan pelestarian lingkungan setelah kembali ke kampus. “Kami hidup di biara, hal positif yang mau diterapkan bagaimana mengolah sampah menjadi sesuatu yang berguna,” tukas Kalixtus Kapistrano. Hal ini diiyakan ketiga frater lainnya. bahkan mereka berkeinginan membuat produk eco enzyme yang dijadikan sebagai pembersih lantai, pengharum ruangan, dan lain-lain yang terbuat dari kulit buah-buahan.
Aloysius Teme membantu mendorong pasien yang menggunakan kursi roda memasuki ruang perawatan.
Agustinus Veriyanto berbincang dengan keluarga pasien untuk memberikan pendampingan dan menghibur mereka.
Memanfaatkan Kesempatan untuk Melayani
Sementara itu dalam misi kesehatan, para frater mengabdi di Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng selama dua minggu. Banyak hal yang dilakukan para frater dalam mengemban misi kesehatan ini. Diantaranya membantu pendaftaran, menghibur para pasien rawat inap, mendampingi pasien rawat jalan, membantu mengobati luka, melipat kain kasa, membantu di poli anak, dan lain-lain.
“Terharu melihat orang sakit, membantu orang yang sakit itu jarang-jarang kesempatannya dan sulit didapat. Saya merasa ini kesempatan baik untuk membantu,” ungkap Aloysius Teme, salah satu frater yang mendampingi pasien rawat jalan. Mahasiswa 24 tahun ini mengaku tertarik dengan visi misi Tzu Chi karena menganggap bahwa Tzu Chi tidak membeda-bedakan setiap orang. “Memanusiakan manusia, tidak melihat pada perorangan tapi melihat pada manusia. Belajar menghargai manusia lebih penting bukan sekedar sarana yang digunakan. Di sini saya belajar, untuk itu lebih banyak perhatian,” tukasnya.
Kalixtus menambahkan, “Kita makhluk sosial jadi harus bersosialisasi, seperti di kamar rawat inap nggak ada penjaganya di situ kita hadir sebagai keluarga mereka. Saya merasakan kehadiran orang lain penting untuk memberi semangat, walaupun hanya untuk menyapa saja.” Para frater lainnya pun sepakat dengan ucapannya. “Ini bukan sekedar kewajiban (kampus) tapi panggilan jiwa. Di kampus mendapatkan teori, sekarang saatnya mendaratkan yang sudah dipelajari,” tegasnya.
Salah satu pasien yang ditemani frater adalah Laurentia Aspreda. Nenek berusia 65 tahun berbaring sendirian di kamar rawat inap lantaran keluarganya sedang ada urusan. “Senang dikunjungi para calon pastur, diajak ngobrol tentang pengalaman dia menjadi frater. Mereka ramah-ramah,” ungkap Laurentia. Nenek yang tinggal di daerah Ring Road Cengkareng ini juga mengaku terbantu dan terhibur dengan adanya frater yang mendampinginya selama keluarganya pulang ke rumah. “Oma terhibur sekali diajak ngobrol-ngobrol,” pungkasnya.
Selain berkegiatan di depo pelestarian lingkungan Tzu Chi di Cengkareng dan Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, para frater juga mengikuti kegiatan komunitas untuk melakukan kunjungan kasih ke panti jompo maupun panti asuhan. “Perhatian dari (relawan) Tzu Chi dan bantuan dari baksos (kunjungan kasih) paling mengesankan. Orang tua dip anti jompo sangat semangat bergabung dengan kami. Kami belajar untuk hal itu,” ucap Loys.
Bagi Agustinus Veriyanto, yang lebih mengesankan pada kegiatan live in yang dijalaninya adalah sumbangsih para relawan Tzu Chi. “Relawan mengadakan baksos (kunjungan kasih), kami merasa ini cocok untuk kami dan pelajari. Bagaimana rasa pengorbanan relawan, tanggung jawab tanpa disuruh dan mengocek kantong sendiri,” ucapnya. Dari kegiatan yang dilakukan ia mengaku bersyukur bisa bergabung dengan organisasi kemanusiaan ini. “Saya sangat bersyukur sudah berkarya di sini,” tukasnya mantap.