Pemberkahan Awal Tahun 2021: Sebuah Pengakuan dan Kepercayaan dari Masyarakat dan Pemerintah
Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Erli TanPemberkahan
Awal Tahun 2021 yang berlangsung Minggu 21 Februari 2021 ini mengambil tema
Memetik Pelajaran Besar Demi Manfaat Semua Makhluk, Mempraktikkan Kebajikan di
Dunia Demi Tercapainya Keharmonisan.
Pemberkahan Awal Tahun 2021 digelar dalam suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang mana kali ini berlangsung secara virtual. Lebih dari 1.150 relawan Tzu Chi dari Aceh hingga Papua mengikuti Pemberkahan Awal Tahun melalui berbagai media sosial seperti facebook, instagram, youtube, dan aplikasi Zoom.
Seperti menelusuri lorong waktu, para relawan diajak untuk flashback menyaksikan sejarah awal munculnya bibit Tzu Chi di Indonesia. Tokoh utamanya tak lain adalah Ketua Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei, yang menahkodai Tzu Chi Indonesia dari awal hingga kini.
Liu Su Mei lahir di keluarga ekonomi menengah. Orang tuanya pekerja keras dan membangun karir dengan tangan kosong. Keluarga Liu Su Mei hidup hemat, namun gemar beramal dan berdana. Liu Su Mei kecil selalu diajarkan bersumbangsih kepada orang lain dan diajarkan untuk tidak meremehkan kebajikan kecil.
“Pada tahun 1992, saya melihat banyak masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat sulit. Karena itu ketika Liang Qiong Shijie menggalang dana dan membahas soal Tzu Chi di Taipei School, saya langsung ikut sumbang dana,” cerita Liu Su Mei.
Kala itu, banyak istri pengusaha Taiwan mengantarkan anak mereka ke sekolah, dan menunggu anak-anak mereka selesai sekolah baru pulang ke rumah. Para istri pengusaha Taiwan ini tak punya mempunyai tempat untuk istirahat. Kebetulan rumah Liu Su Mei dekat sekolah. Ia pun mengundang mereka rehat di rumahnya. Bahkan Liu Su Mei juga mendatangkan guru untuk mengajarkan Liu Su Mei dan mereka semua Bahasa Indonesia.
Berawal dari Niat yang Polos
Ketua
Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei berkisah tentang bibit mula Tzu Chi di Indonesia.
Perlahan yang datang ke rumah Liu Su Mei makin banyak. Setelah itu, Liang Qiong Shijie mengajak mereka semua ke panti jompo dan panti asuhan. Mereka berkumpul di rumah Liu Su Mei untuk menyiapkan barang batuan. Hingga akhirnya rumahnya menjadi satu titik Tzu Chi. Dan Tzu Chi Indonesia dimulai dari Misi Amal.
Setengah tahun kemudian Liang Qiong Shijie pulang ke Taiwan. Karena titik Tzu Chi ada di rumah Liu Su Mei, maka yang lainnya ingin agar Liu Su Mei mengemban tanggung jawab untuk memimpin. Namun waktu itu Liu Su Mei hanya tahu bahwa Tzu Chi ada di Hualien, Ia sama sekali tidak tahu hal-hal lainnya.
“Karena saya adalah orang yang rasional, menurut saya kalau saya mau melakukan kegiatan Tzu Chi dan mengemban tanggung jawab ini, saya harus memahami Tzu Chi terlebih dahulu supaya tidak salah. Karena itu kami pergi ke Hualien untuk mencari tahu lebih jauh,” kata Liu Su Mei.
Tahun 1993, Liu Su Mei berenam bersama istri-istri pengusaha Taiwan pergi ke Hualien. Saat itu mereka bahkan tak tahu harus izin terlebih dahulu. Yang ia tahu, mereka harus berpakaian rapi. Mereka pun membeli celana panjang warna biru tua dan atasan warna putih, terbalik dengan warna seragam Tzu Chi.
“Setiba di Griya Jing Si, bhiksuni di griya bertanya ‘Kalian dari mana?’ Kami menjawab bahwa kami dari Indonesia ingin belajar menjadi relawan Tzu Chi. Waktu itu kami sangat polos dan seadanya,” cerita Liu Su Mei sambil tersenyum.
Namun inilah sejarah Tzu Chi Indonesia, semua berawal dari niat yang polos. Para biksuni di Griya Jing Si kemudian mengatur penginapan mereka. Mereka juga diajak untuk kunjungan kasih dan menjadi relawan rumah sakit.
“Kami juga ikut kebaktian pagi, mendengar ceramah Master, membuat lilin, dan lain-lain. Itu adalah pertama kali saya berinteraksi dengan Master, beliau sangat ramah. Di sana saya juga melihat biksuni griya hidup mandiri, hidup dalam keterbatasan, kerja keras, dan hidup hemat,” kenangnya.
Merawat Ketulusan Sambil Terus Belajar
Titik
Tzu Chi Indonesia pertama ada di rumah Liu Su Mei dan hingga sekarang Tzu Chi
Indonesia mempunyai Aula Jing Si sendiri.
Setelah kembali ke Indonesia, Liu Su Mei dan relawan yang jumlahnya bisa dihitung jari ini mulai membagi bantuan biaya hidup dan biaya kesehatan. Ketika dalam pelaksanaannya Liu Su Mei merasa takut ada yang salah atau ada yang tak dimengerti, ia pun menelepon ke Hualien untuk bertanya.
Pasien kasus pertama Tzu Chi Indonesia adalah anak bernama Ferry yang sakit rakitis. Saat itu tahun 1995. Relawan pun mengantar Ferry untuk operasi. Dokter memasang pen di kaki Ferry. dari Ferry kecil sampai dewasa, relawan Tzu Chi selalu mendampinginya.
Tahun 1994, saat mengetahui bahwa korban letusan Gunung Merapi butuh bantuan, sekelompok istri pengusaha Taiwan yang tak mengerti Bahasa Indonesia ini juga tergerak untuk membantu.
“Hal pertama yang terpikirkan adalah meminta suami Bao Qin Shijie yang bekerja di RSEA Engineering Corporation untuk mencari karyawan Tionghoa membantu menerjemah selama kami berada di lokasi bencana. Karena takut barang bantuan yang sudah tergalang dirampok di perjalanan, kami mengirimkan barang-barang dengan kontainer ukuran 40 kaki,” kata Liu Su Mei.
Setelah memperkirakan tanggal tiba kontainer, Liu Su Mei dan rombongan terlebih dulu menaiki pesawat ke Yogyakarta untuk menunggu. Tapi mereka tak menemukan kontainer, rupanya karena jalan gunung yang sulit dijangkau. Saat itu tak ada ponsel, mereka pun menelusuri jalan besar penuh ranting pohon jatuh untuk mencari kontainer. Setelah itu, barulah mencari truk barang untuk mengantar barang bantuan ke lokasi bencana.
“Semua ini karena tak ada pengalaman. Ketika membagikan uang santunan di rumah sakit, kami melihat orang yang teriak karena luka terbakar, barulah kami mengerti apa artinya “neraka dunia”. Pada saat itu, kami juga tak tahu prinsip Tzu Chi dalam memberikan bantuan bencana, yakni berangkat paling awal dan pulang paling akhir. Kami hanya tahu apa yang bisa kami lakukan pascabencana,” terang Liu Su Mei.
Liu Su Mei pergi ke lokasi bencana total tujuh kali. Setelah tahu bahwa korban bencana harus dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan tempat tinggal baru, Liu Su Mei dan para relawan ini menggalang dana bagi pembangunan 12 rumah. Dana tersebut mereka serahkan kepada Dinas Sosial Yogyakarta.
Semakin Kokoh
Bergabungnya Franky O. Widjaja dan Sugianto Kusuma semakin mengokohkan eksistensi Tzu Chi Indonesia.
Tahun demi tahun makin mengokohkan Tzu Chi Indonesia dengan berbagai kegiatan kemanusiaan yang diberikan untuk masyarakat yang membutuhkan. Namun tahun 1998 dan 2002 adalah titik balik untuk Tzu Chi Indonesia, dua Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia yakni Franky O. Widjaja dan Sugianto Kusuma bergabung. Bergabungnya mereka mengubah total Tzu Chi Indonesia hingga akhirnya dapat melaksanakan Empat Misi Tzu Chi dengan cemerlang.
Master Cheng Yen membangun Tzu Chi dengan empat misi besar, yakni Misi Amal, Misi Kesehatan, Misi Pendidikan, dan Misi Budaya Humanis. Menurut Liu Su Mei, relawan Tzu Chi di luar Taiwan sangat mengagumi pelaksanaan empat misi Tzu Chi di Indonesia. Tzu Chi Center mulai dibangun sejak tahun 2008, yang mana terdapat Aula Jing Si terbesar, DAAI TV Indonesia, Tzu Chi School, dan Tzu Chi Hospital yang sebentar lagi beroperasi.
“Ketika saya melewati proses pembentukan empat misi, saya tahu bahwa kita semua bukan seorang profesional, sehingga ketika dihadapi dengan kendala, saya lebih bisa merasakan kesulitan Master pada masa awal-awal mendirikan Tzu Chi. Master kekurangan tenaga dan dana, namun beliau tetap mendirikan empat misi selangkah demi selangkah,” ujarnya.
Sementara itu tahun 2020 wabah Covid-19 merebak. Bulan Februari 2020, Tzu Chi Indonesia mengirimkan bantuan masker untuk Taiwan dan Tiongkok. Namun dengan cepat pada bulan Maret Covid-19 menyebar ke Indonesia. Rumah sakit kekurangan APD mengakibatkan banyak petugas medis meninggal.
“Ketika pandemi merebak di Indonesia, saya sendiri merasa tertekan, saya berpikir apa yang harus Tzu Chi lakukan? Banyak rumah sakit menghubungi Tzu Chi, relawan dan karyawan juga sibuk mencari masker dan alat sterilisasi untuk keluarga sendiri. Semua orang merasa gelisah,” tuturnya.
Namun seperti yang diajarkan Master Cheng Yen bahwa pikiran harus tenang baru bisa menangani masalah dengan bijaksana. Karena itu pertama-tama, langkah yang diambil Liu Su Mei adalah menenangkan para relawan dan karyawan. Liu Su Mei berterima kasih kepada tim He Xin dan tim He Qi yang mencurahkan perhatian kepada relawan komunitas, sehingga meski di rumah saja relawan merasa tenang.
Tim He Qi juga mengajak relawan membuat masker kain. TIMA juga membuat hand sanitizer. Relawan komunitas mengadakan pelatihan lewat telekonferensi. Selain itu mereka juga menyosialisasikan pola makan vegetarian dan kegiatan lainnya. Semua orang berkontribusi untuk menanggulangi wabah pandemi.
“Dalam pembagian bantuan pada pandemi kali ini, kita sering mendapat ucapan terima kasih dari masyarakat, terutama ketika petugas medis di RS mendapatkan APD, masker, ventilator, rapid-test kit, dan lain-lain. Semua ini tercatat di sejarah Tzu Chi Indonesia,” ujarnya.
Dalam waktu yang singkat Tzu Chi Indonesia dapat menghimpun dana kebajikan dari masyarakat dan pengusaha. Tzu Chi juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Semua ini bagi Liu Su Mie sangat sungguh mengharukan. Ini adalah hasil kerja relawan Tzu Chi Indonesia selama 28 tahun sehingga bisa mendapatkan pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat serta pemerintah.
Pada pandemi ini Tzu Chi Indonesia tak hanya membagikan APD, namun juga membagikan beras dan paket sembako untuk masyarakat yang ekonominya terdampak akibat pandemi. Saat ini Tzu Chi Indonesia sudah memasuki pembagian tahap ke-3. Tahap pertama sudah dibagikan sekitar 446.000 paket sembako. Tahap kedua sebanyak 5.000 ton beras. Dan tahap ketiga, Tzu Chi akan membagikan 10.000 ton beras.
“Dedikasi Tzu Chi di masa pandemi ini sungguh mengharukan masyarakat. Teringat apa yang dikatakan Master bahwa di mana ada keinginan di situ ada kekuatan. Lakukan saja hal-hal yang benar. Sungguh jalinan jodoh yang luar biasa, sangat berterimakasih kepada semua Shixiong Shijie,” pungkas Liu Su Mei.
Editor: Erli Tan
Artikel Terkait
Pemberkahan Awal Tahun 2017: Drama Musikal yang Menggetarkan
13 Februari 2017Minggu pagi tanggal 12 Febuari 2017, Ruang Jiang Jing Tang lantai 4, Aula Jing Si, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara penuh oleh relawan dan masyarakat umum yang hadir untuk mengikuti acara Pemberkahan Awal Tahun 2017 yang bertajuk “Budi Luhur Orang Tua Seluas Samudra”.
Pemberkahan Awal Tahun 2021: Sebuah Pengakuan dan Kepercayaan dari Masyarakat dan Pemerintah
21 Februari 2021Pemberkahan Awal Tahun 2021 digelar dalam suasana yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yang mana kali ini berlangsung secara virtual. Lebih dari 1.150 relawan Tzu Chi dari Aceh hingga Papua mengikuti Pemberkahan Awal Tahun melalui berbagai media sosial seperti facebook, instagram, youtube, dan aplikasi Zoom.
Pemberkahan Awal Tahun 2017: Bersuka Cita Memupuk Berkah
13 Februari 2017Pemberkahan Awal Tahun 2017 yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 2017 diikuti ribuan masyarakat umum. Kegiatan diadakan di Aula Jing Si lantai 4, Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Acara yang diikuti ribuan orang bisa berjalan lancar tentu karena adanya koordinasi banyak insan yang terlibat dalam segala bidang.