Penantian itu Usai Sudah
Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Himawan Susanto * Sedari masih kecil, Hio Tjien-nyan takut jarum suntik, namun karena ingin sembuh dan bisa melihat lagi. Ia menutup matanya saat seorang perawat menusukkan jarum infus di lengannya. | Tak ada yang tidak dapat diatasi dalam hidup ini; dengan adanya tekad, maka segalanya akan dapat diatasi. (Kata Perenungan Master Cheng Yen) |
“Pertamanya kayak kelilipan. Lama-lama nah terus kayak ada kabut. Udah gitu biasa lagi,” tutur Hioe Tjien-nyan (50) mengingat awal-awal penyakit katarak dirasakannya. Saat itu tahun 2006, dan lama-kelamaan penglihatan matanya makin berkurang. Maka ia pun lalu bilang ke kakaknya tentang kondisi matanya. Oleh kakaknya dibilang, ya udah nanti kita periksa. Satu hari, oleh kakak dan keponakannya mengajak Hioe Tjien-nyan berobat ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Di sana, oleh dokter ia dikatakan menderita katarak, dan jika ingin cepat sembuh harus lekas dioperasi. Saat itu untuk operasi mereka diminta biaya pengobatan sebesar 10 juta rupiah. Kakaknya pun berkata bahwa ia harus menanyakan dulu dengan suaminya. Sepulang dari rumah sakit, Nyan tetap beraktivitas seperti biasa. Lambat namun pasti, mata kanannya tiada lagi bisa melihat. Sementara mata kirinya masih bisa melihat meski buram berkabut. Setelah beberapa lama, mereka kembali berobat dan oleh dokter yang memeriksa dikatakan tiada obat yang dapat menyembuhkan kataraknya selain operasi. Dengan ketiadaan biaya, mereka pun kembali ke rumah. Dari tahun 2006, Nyan tetap beraktivitas seperti biasa. Di tahun ini pula, berkat nasehat dari temannya; Alok dan Asiong, ia didaftarkan mengajukan diri ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Saat pertama kali ikut baksos kesehatan mata Tzu Chi di tahun 2006, ia ditolak karena tekanan bola matanya tinggi. Demikian pula saat di tahun 2007, ia pun didiagnosa mengalami hipertensi. Dua kali ditolak dalam baksos tak membuatnya putus asa. Ia tetap beraktivitas seperti biasa. Ket : - Jika selama ini, Hioe Tjien-nyan bepergian selalu sendirian. Saat baksos khusus ini, ia senantiasa ditemani Nyan ini sebenarnya telah hidup berkeluarga. Sayang, istri pertamanya meninggal dunia. Kedua anaknya kini ada yang tinggal bersama orangtuanya di Mangga Besar dan Depok. Sementara istri keduanya, telah meninggalkannya karena ia tak lagi bisa memberikan nafkah kepada mereka. Namun kedua anak dari istri keduanya ini, kadang masih suka bertandang ke rumahnya. Saat ini, Nyan tinggal menumpang di rumah iparnya yang masih kontrak di daerah Menceng, Jakarta Barat. Kamar berukuran sekitar 1 x 4 meter ini menjadi rumah kecilnya. Meski tak dapat melihat dengan normal, Nyan tetap berani bepergian menumpang kendaraan umum. Agar tidak tersasar ia biasanya meminta sopir angkutan menurunkannya di tempat yang diinginkan. Namun kadang kala, sopir lupa dan menurunkannya di tempat yang lebih jauh. Terpaksa ia berjalan kaki menyusuri jalan kembali ke tempat yang dituju. Pernah satu saat, ia membawa dompet yang diletakkan di dalam plastik, namun karena lupa, plastik berisi dompet itu tertinggal di dalam mobil angkutan (kendaraan umum). Terpaksa ia pulang kembali ke rumah karena tidak punya uang lagi. Pernah juga di saat yang lain, ia bingung mengapa uang di dalam dompetnya cepat habis, padahal uang didalamnya telah disiapkan oleh kakaknya berurutan dan rapi. Rupanya, ia salah memberikan uang sehingga uangnya cepat habis. Berbagai pengalaman itu, tiada menyurutkannya bepergiaan dengan kendaraan umum sendirian. Pagi itu, 30 November 2008 perawat bagian pendaftaran menunggu harap-harap cemas kedatangan Nyan. Betapa tidak, jarum jam sudah hampir menyentuh pukul 10.00 Wib, namun Nyan belum juga datang. Tak lama, dengan meraba-raba dan perlahan Nyan pun datang. Rupanya ia datang sendiri dan tak didampingi keluarganya. Saat itu, ia mendapat no 28. Oleh perawat, Nyan dibawa masuk ke dalam ruang poli mata RSKB. Di sana tekanan bola matanya diperiksa. Ternyata, tekanan bola matanya belum turun, masih tetap tinggi. Ia lalu diberi cairan infus dan obat untuk menurunkan tekanan itu. Saat tangannya hendak ditusuk jarum infus, Nyan sontak menutup mata karena rupanya ia sedari kecil sudah takut akan jarum suntik dan juga dokter. Ket : - Sebelum operasi, agar hati pasien tenang, mereka diajak membuat ketrampilan tangan merias celengan ”Pak Nyan, langsung diperiksa di poli mata karena dari catatan medisnya, tekanan bola matanya selalu tinggi,” tutur dr Yoke yang saat survei pasien datang langsung melihat kondisi kehidupan Nyan. ”Baksos hari ini yang diikuti 30 pasien adalah baksos khusus mata para pasien yang minimal sudah 2 kali ditolak dalam baksos mata yang diadakan oleh TIMA (Tzu Chi International Medical Association) karena berbagai macam hal,” lanjutnya. Jarum infus telah terpasang di lengan Nyan, dan ia harus menunggu 1 jam lamanya untuk tahu bisa dioperasi atau tidak. Jika tekanan itu masih tinggi, maka sekali lagi ia batal dioperasi. ”Mudah-mudahan bisa dioperasi. Saya sudah makan yang sehat, minum obat, dan minum yang banyak,” harap Nyan. Sebagai pasien khusus yang sudah gagal dalam 2 kali baksos, Nyan selalu ditindaklanjuti oleh tim medis Tzu Chi. Oleh dr Esti Sp.M, Nyan disarankan untuk tidak terlalu banyak berpikir, makan yang sehat-sehat dan minum air putih yang banyak. Ket : - dr Yoke memeriksa Hioe Tjien Nyan seusai operasi. Ikatan batin terjalin diantara mereka karena saat survei, Satu jam berlalu, ia pun kembali diperiksa. ”Sudah sedikit menurun, kita lihat 45 menit lagi untuk kepastiannya,” tutur perawat yang memeriksa. Saat menunggu, Nyan pun diberi makan siang oleh relawan Tzu Chi karena tengah hari telah tiba. Empat puluh lima menit berlalu, dan keputusan pun tiba. Ia bisa dioperasi hari itu. Oleh relawan Tzu Chi, Nyan dipindahkan ke ruang lain untuk berganti baju dan bulu mata kanannya pun digunting. Tak lama, ia sudah duduk di kursi roda dan mengenakan baju berwarna biru khusus untuk operasi. Antrian masih lama, 6 pasien lain masih menunggu detik-detik operasi. Namun bukan ketegangan yang terasa, tawa canda dan senyum gembiralah yang memancar di ruang itu. Kebahagiaan menyelimuti hati para pasien yang akan dioperasi. Pukul 16.00 Wib, Nyan telah selesai dioperasi. Mata kanannya kini tertutup kain kasa berwarna putih. Senyum dan kelegaan terpancar jelas di wajahnya. Ia pun dibawa ke ruang pemulihan yang berada di ruang gawat darurat RSKB. Oleh relawan, ia dibaringkan di ranjang. Saat itu ia sepertinya belum sadar benar, hingga saat seorang relawan menjelaskan tata cara meminum obat yang diberikan, ia tak terlalu memperhatikan. Ket : - Tim medis yang akan melayani para pasien pun mendekatkan dan memperkenalkan diri dengan melakukan Tak lama, Nyan pun sudah mulai pulih dan hendak pulang. Saat ditanya bersama siapa ia akan pulang. Ia menjawab akan pulang sendiri. Relawan Tzu Chi yang mengetahui ini lalu menawarkan diri mengantarnya pulang. Hari itu, ia hendak kembali ke rumah kakaknya di Depok. Saat ditanya di mana anaknya, Nyan menjawab anaknya tinggal di Depok. Dokter Yoke menelepon Lia, anak Nyan, untuk memberitahukan bahwa operasi ayahnya telah berjalan sukses, dan ia meminta Lia untuk datang menjemput ayahnya. “Papa bilang ga usah dijemput. Ngerepotin aja,” demikian suara Lia di ujung telepon seberang. ”Kamu ga bisa begitu. Biar bagaimanapun ini khan papa kamu. Biar dia bilang ga usah dijemput. Kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana? Apalagi dia sendirian,” ujar dr Yoke kepada Lia. Setelah berbicara beberapa menit, Lia pun setuju untuk menjemput papanya. Sontak relawan dan dokter yang mendengar bertepuk tangan gembira. Seulas senyum terlihat jelas di wajah Nyan saat ia mendengar Lia akan datang menjemputnya sore itu. Penantian itu pun usai sudah. | |
Artikel Terkait
Menggalang Donasi dan Menggalang Hati
19 November 2018Kisah-kisah yang tertangkap pada penggalangan dana pembangunan 3.000 rumah di Lombok dan Palu oleh insan Tzu Chi di wilayah Jakarta Barat, Pada 10 dan 11 November 2018 membuktikan betapa banyak insan yang sangat peduli terhadap sesama. Besar, maupun kecil dana yang disumbangsihkan tidaklah menjadi hal yang utama. Tetapi menjadi teladan bagi seluruh masyarakat.