Pendidikan Budi Pekerti Dimulai Sejak Dini

Jurnalis : Neysa (He Qi Timur), Fotografer : Eillen (He Qi Timur)
 
foto

* Vivi Shijie berbagi pengalamannya kepada orangtua siswa IDC. Jodoh yang terjalin diharapkan dapat berlanjut dengan bergabungnya para orangtua menjadi relawan.

Pada siang yang cerah itu, Jing-Si Books & Café Kelapa Gading terlihat begitu ramai pengunjungnya. Ruangan yang luas terasa padat hingga sulit untuk bergerak. Di sana bercampur para relawan Tzu Chi, anak-anak dan orangtua yang menemani anaknya hadir pada acara awal pembukaan kelas Istana Dongeng Ceria (IDC) tahun ajaran 2009. IDC merupakan salah satu kegiatan program Tzu Chi untuk memberi pembelajaran budi pekerti kepada anak-anak.
Kedatangan orangtua kali ini merupakan syarat mutlak agar anak-anaknya dapat diterima di kelas IDC. Pada mulanya mereka melakukan pendaftaran ulang, mengukur seragam, lalu diteruskan berfoto untuk pembuatan kartu identitas IDC. Walaupun anak-anak yang hadir begitu ramai, tapi mereka dapat tertib untuk mengantri. Kelas IDC ini dibagi 2 sesi, dikarenakan begitu banyaknya para orangtua yang berminat mendaftarkan anaknya ke program ini. Sesi I dimulai jam 13.00 – 14.30, jumlah yang hadir dan resmi menjadi murid IDC mencapai 45 anak, dan dilanjutkan dengan sesi II jam 15.00 – 16.30, yang berjumlah 37 anak.

Kewajiban hadir orangtua pada awal ajaran ini bertujuan agar mereka dapat mengenal lebih dekat Tzu Chi serta kegiatan yang dilakukan dalam IDC. Diharapkan pula para orangtua dapat bekerjasama terhadap pelajaran kehidupan yang akan diperkenalkan kepada anak-anak mereka.

Orangtua dan anak-anak ditempatkan pada ruangan yang terpisah dimana para orangtua diberi kesempatan menyimak video ceramah Master, presentasi misi – misi Tzu Chi dan sharing–sharing relawan. “Sebenarnya kita belum profesional, semua dalam tim IDC adalah relawan, mereka menggunakan waktu mereka untuk bergabung, memberikan sharing apa yang telah kita belajar dalam Tzu Chi. Di IDC ini kita bukan mengajarkan pengetahuan, tapi lebih ke pendidikan kehidupan, pendidikan humanis seperti bersyukur, menghormati, dan budi pekerti, juga pendidikan jiwa yaitu belajar cinta kasih. Kita berharap one day mereka (anak–anak -red) bisa tahu cara menghormati, bersyukur, juga belajar saling peduli dan cinta kasih,” ujar Lim Jishou Shixiong menguraikan tujuan kelas IDC ini. Ia juga menyampaikan permohonan maaf, “Sampai sekarang masih banyak yang daftar tapi terpaksa tidak bisa diterima karena kekurangan ruangan dan relawan.”

foto  

Ket : - Anak-anak mewarnai gambar barongsai. Mereka bersama-sama menggunakan krayon yang disediakan
           tanpa menimbulkan keributan.

Di ruangan yang berbeda, anak–anak diajak untuk mewarnai gambar barongsai. Mereka terlihat sangat serius mewarnainya. Mereka pun bisa berbagi krayon tanpa menimbulkan keributan. Suasana sangat ramai, sebagian anak–anak diperkenalkan untuk belajar Shou Yu (isyarat tangan). Dalam hitungan menit, para malaikat kecil ini sudah dapat mengikuti gerakan Shou Yu yang diperagakan oleh relawan Tzu Chi.

“Dulu saya cuma nganterin anak saya ikut kelas IDC, sambil menunggu saya lihat kegiatan mereka. Ada ketertarikan untuk bergabung dengan relawan apalagi saya lihat anak saya berubah jauh lebih baik sikapnya setelah ikut kelas IDC ini. Kata ‘Gan En’ selalu keluar dari mulutnya ketika dia menerima sesuatu. Terkadang pipiku dicium dan dia bisa mulai berhemat ketika memakai alat–alat tulis, dia juga bercerita di kelas dia menonton kehidupan anak-anak yang kurang beruntung mau sampai ke sekolah saja harus berjuang berat melewati gunung dan sungai dulu, bukunya jelek, juga pensilnya sudah begitu pendek masih dipakai. Sejak dia menonton tayangan tersebut dia berubah, kalau bangun pagi mau sekolah lebih gampang. Di sinilah saya lihat anak saya mulai mengerti kata ‘bersyukur’. Saya sangat bahagia dan tersentuh. Walau saya sendiri adalah seorang Kristen tapi saya tahu Yayasan Buddha Tzu Chi adalah yayasan kemanusiaan lintas agama, makanya saya dan suami bergabung menjadi relawan untuk berbagi kasih,” cerita panjang Vivi yang menjadi relawan Tzu Chi sejak tahun 2008.

Beda halnya dengan Deasy, warga Sunter yang datang dengan kedua anaknya. Ini merupakan kunjungannya yang pertama kali. “Saya suka mengikutsertakan anak-anak saya di setiap kegiatan positif dan anak-anak saya antusias sekali kalau mendengar ada kegiatan di luar rumah tanpa harus saya jelasin kegiatan seperti apa. Saya ingin anak-anak saya bisa tahu lingkungan, tahu teman-teman dan kehidupan di luar lingkungannya,” katanya melanjutnya, “Sosialisasi tadi bagus sekali, ada keinginan saya bergabung menjadi relawan, cuma terbentur masalah waktu.”

foto  

Ket : - Yuli Shijie mengajarkan shou yu (isyarat tangan) kepada anak-anak. Dalam waktu singkat anak-anak
           sudah dapat mengikuti gerakan yang diajarkan.

Begitulah yang sering didengar ketika para relawan menanyakan adakah kemungkinan para orangtua ingin menjadi relawan. Mereka ragu, takut tidak bisa membagi waktunya. Seperti halnya dengan para relawan, dulu mereka juga berpikiran ragu, takut tidak punya waktu tapi setelah mereka mencoba menjadi relawan ternyata waktu bisa diatur dengan baik. “Dulu saya pernah ke Jing-Si ini tapi waktu itu hanya untuk minum secangkir kopi sambil ngobrol sama teman-teman. Saya sedikit tahu tentang yayasan ini dari teman saya. Hari ini setelah saya melihat tayangan kehidupan orang yang dibantu, saya nggak nyangka ternyata masih ada yang peduli dengan kehidupan mereka. Kalau kita mau bantu sendiri tidak mungkin bisa selesai. Saya sangat dukung misi ini mengumpulkan uang kecil dari para donatur maka akan bisa menolong orang banyak. Kelas IDC ini juga sangat bagus misinya, saya sangat berharap anak saya bisa mengerti begitu banyak kesusahan di luar, sehingga dia tidak lagi memaksa saya untuk selalu membelikan mainan. Kan sayang uangnya, mending untuk bantu mereka. Apalagi di sini nanti anak saya dididik menjadi mandiri, wah.. senang sekali,” begitulah ungkapan perasaan Sherly yang sudah lama menjadi donatur tetap relawan Tzu Chi, yang hari itu hadir bersama anak tunggalnya Charles yang berusia 5 tahun.

Tidak dipungkiri pendidikan formal sangat penting sebagai penunjang masa depan, tapi alangkah sempurnanya jika semua itu dilandasi dengan budi pekerti, cinta kasih, dan rasa bersyukur yang besar. Seperti kata bijak Master Cheng Yen, “Hakikat terpenting dari pendidikan adalah pewarisan cinta kasih dan rasa syukur, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.”

 

Artikel Terkait

Mengikat Tali Silaturahmi di Bulan Suci

Mengikat Tali Silaturahmi di Bulan Suci

15 Juli 2015 Bulan suci Ramadan 1436 Hijriah sudah memasuki hari ke-18, di mana tidak lama lagi semua umat Islam merayakan hari kemenangan yang sudah dinanti-nanti. Di hari inilah Yayasan Buddha Tzu Chi  mengambil kesempatan untuk mengadakan buka puasa bersama anak Panti Asuhan Silaturahmi dan Al-Amin, Makassar. 
Uluran Tangan Untuk Korban Erupsi Gunung Kelud

Uluran Tangan Untuk Korban Erupsi Gunung Kelud

21 Maret 2014 Para relawan menyebar di beberapa tempat di mall dengan senyum yang ramah dan menghilangkan rasa ego dalam diri, bersama-sama mengetuk hati para pengunjung untuk ikut peduli dengan menyisihkan uang mereka.
Keharmonisan Kelompok Cerminan Kesatuan Hati

Keharmonisan Kelompok Cerminan Kesatuan Hati

24 Agustus 2015 Sebanyak 148 orang dan tim pendukung menampilkan drama dalam acara Bulan Tujuh Penuh Berkah yang dilaksanakan di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk pada 23 Agustus 2015. Drama yang dikemas secara menarik ini bercerita mengenai makna bulan tujuh dan pengenalan pelestarian lingkungan serta bervegetarian.
Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -