Pendidikan Tzu Chi, Pendidikan Cinta Kasih

Jurnalis : Teddy Lianto, Fotografer : Teddy Lianto

Yu Li Qing (kiri) mengatakan tidak peduli di Indonesia atau di Taiwan, hal penting dari budaya humanis Tzu Chi adalah dapat memahami cara berhubungan antara sesama dengan bersyukur, menghormati dan cinta kasih, serta mengerti pentingnya kehidupan, dan melayani sesama.

Di hari kedua pelatihan pendidikan guru humanis di Aula Jing Si, Pantai Indah kapuk, Jakarta Utara yang dilaksanakan pada Minggu, 5 Juli 2015, peserta tidak hanya berasal dari kalangan para guru tetapi juga dari relawan pendamping di misi pendidikan Tzu Chi atau biasa dikenal dengan sebutan Daai Mama atau Daai Papa. Sebanyak 214 peserta hadir memenuhi Aula Jing Si lantai 3.

Pelatihan pendidikan yang umumnya diadakan tiga kali dalam setahun itu bertujuan supaya Daai Mama (relawan pendamping) dan guru bisa dicharge lagi mengenai cara pembelajaran kata perenungan di kelas dan mendapat ilmu yang baru dari guru-guru Taiwan. Dalam pelatihan biasanya diajarkan banyak materi untuk diterapkan di kelas nanti seperti bagaimana merancang pelajaran yang variatif.  Peserta pelatihan selama dua hari ini adalah guru dari Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Daai Mama, Daai Papa, dan sekolah-sekolah Buddhis yang dikoordinasi Badan Koordinasi Pendidikan Buddhis Indonesia (BKPBI).

“Harapannya kita bisa memberikan semangat kepada guru-guru. Karena kadang ketika mengajar guru-guru bisa menghadapi anak-anak menjadi bosan sehingga para guru di sini belajar untuk berimprovisasi dan nantinya bisa membuat pelajaran menjadi efektif dan anak-anak menjadi lebih paham,” jelas Ernie Lindawati, koordinator acara sekaligus Daai Mama.

Mei Rong, selaku koordinator acara menerangkan jika dalam praktiknya, anak-anak kelas budi pekerti pasif maka Daai Mama maupun guru-guru harus aktif dalam merangkul dan memberikan semangat kepada anak-anak.

Ernie pun menerangkan jika dalam praktiknya, anak-anak kelas budi pekerti cukup pasif sehingga mau tidak mau Daai Mama maupun guru-guru harus lebih aktif dalam merangkul dan memberikan semangat kepada anak-anak. “Sebagai Daai Mama tentunya dituntut untuk lebih memahami materi yang ingin disampaikan ke anak-anak sehingga anak-anak bisa memahami, makanya dibilang yang dapat paling banyak adalah diri sendiri (Daai Mama) karena materi-materi yang disajikan juga membantu diri untuk berubah menjadi pribadi yang positif,” jelas Ernie atau yang akrab disapa Mei Rong.

Senada dengan Mei Rong, Yu Li Qing, salah seorang guru Taiwan yang menjadi pembicara dalam pelatihan pendidikan guru humanis mengatakan jika dalam mengajar, para guru harus terlebih dahulu merasa “Gan Dong” (tersentuh). Setelah itu menjadikan rasa tersentuh di dalam hatinya ke dalam perbuatan nyata yaitu dengan membimbing anak-anak. Dan dengan terciptanya  interaksi yang baik antara guru dan murid, dapat membuat anak-anak mengerti bagaimana berhubungan antar sesama dengan cinta kasih.” Jika anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta, maka mereka akan dapat memberikan cinta kasih, dan lebih mengerti cara menghormati orang lain, serta menjadikan seluruh komunitas masyarakat menjadi sangat harmonis,” terang wanita yang sudah bersumbangsih di dunia pendidikan Tzu Chi selama 20 tahun ini.

Yu Li Qing yang sudah 3 kali datang ke Indonesia untuk berbagi pengalaman menerangkan jika pada Juli 2014 silam, mereka datang untuk berbagi pengalaman dengan berfokus pada peraturan sekolah dan dekorasi kelas. Sedangkan untuk pelatihan di tahun ini, mereka menekankan kepada pendidikan cinta kasih. “Jadi kami kali ini datang, memberikan beberapa contoh pengajaran dengan harapan para guru dapat menemukan sendiri pentingnya pendidikan dan pentingnya misi sebagai guru, serta bagaimana caranya agar anak-anak mengerti cara mencintai dirinya sendiri dan kemudian mencintai orang lain,” jelas Yu Li Qing.

Tidak hanya pembelajaran secara teori tetapi para guru Taiwan juga memberikan pengajaran melalui permainan yang bermakna bagi anak-anak.

Menurut Yu Li Qing, tidak peduli di Indonesia atau di Taiwan, di sekolah Cinta Kasih Cengkareng atau Sekolah Tzu Chi Indonesia, hal penting dari budaya humanis Tzu Chi adalah dapat memahami cara berhubungan antara sesama dengan bersyukur, menghormati, dan cinta kasih, serta mengerti pentingnya kehidupan, dan melayani sesama. “Kami bersedia bergabung (di asosiasi guru Tzu Chi), karena kami merasa sekolah pada umumnya kurang dalam bidang ini. Karena kami sendiri sudah merasa tersentuh, maka bersedia menggerakkan pengajaran Kata Perenungan Jing Si di dalam sekolah kami. Kami sangat berterima kasih kepada Sekolah Cinta Kasih Cengkareng dan Sekolah Tzu Chi, menggunakan waktu libur untuk menyediakan kesempatan berbagi karakteristik budaya humanis Tzu Chi sehingga kami dapat saling belajar antarsesama guru dan berinteraksi,” ungkap Yu Li Qing yang bergabung dengan organisasi Ikatan Guru Tzu Chi sejak tahun 1995 ini, ”Pendidikan adalah tanggung jawab kita semua, pendidikan moralitas adalah satu siklus yang sangat penting dalam pendidikan sekolah Tzu Chi, jadi dalam rancangan pendidikan kita, dapat dirasakan pendidikan budaya humanis ini”. 

Selama satu hari merasakan pendidikan budaya humanis Tzu Chi,  Ridwan,  seorang guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMPN 164 Jakarta Selatan, merasa senang dan mendapat pembelajaran yang nantinya bisa ia terapkan di sekolah tempat ia mengajar. Ridwan pun berujar jika di Indonesia kita bisa melihat begitu banyak terjadi permasalahan di ranah sekolah misalnya tawuran antarpelajar, mencontek dan bersikap kurang ajar terhadap guru. Ini membuktikan jika pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah tidak terhujam kuat di batin anak-anak dan di Tzu Chi. Ia melihat jika relawan mengajarkan budi pekerti dengan baik sehingga tertanam kuat di hati anak-anak.

Ridwan menuturkan jika materi yang diberikan selama pelatihan adalah bahan-bahan yang untuk mengajarkan menjadi guru yang baik.

Di dalam pelatihan, ia tersadarkan jika ketika sedang mengajar di kelas,  guru juga harus mengevaluasi diri, karena guru adalah teladan bagi murid tentunya harus melakukan perubahan dari diri guru terlebih dahulu, baru kemudian menggugah para murid untuk ikut bergabung. ”Jangan sampai ketika saya mengajar saya hanya mengajar orang tetapi tidak mengajar diri sendiri. Guru yang mengajar di Indonesia banyak jumlahnya, tetapi guru yang mendidik sangatlah kurang,” ujar Ridwan.

Ridwan pun menuturkan jika materi yang diberikan selama pelatihan adalah bahan yang baik untuk dirinya bisa berubah menjadi pribadi yang baik yang nantinya otomatis ia pun juga bisa menjadi seorang guru yang positif  dan baik. “Bahan-bahan training yang diberikan adalah materi-materi yang baik yang tidak saya dapatkan ketika duduk di bangku kuliah. Oleh karena itu saya akan mencoba untuk membina diri sendiri dulu baru kemudian mengajak anak-anak bersyukur ,” ucapnya dengan pasti.


Artikel Terkait

Luangkan sedikit ruang bagi diri sendiri dan orang lain, jangan selalu bersikukuh pada pendapat diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -