Pendidikan untuk Mengubah Masa Depan Keluarga

Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Juliana Santy

Sabtu, 2 Agustus 2014, salah satu tempat survei yaitu Adonara. Walaupun tinggal dirumah yang sangat sederhana, tapi hampir setiap keluarga yang dikunjungi berusaha untuk memperjuangkan pendidikan anaknya.

Ada cerita tentang dua orang tetangga, yang satu memiliki tanah yang subur dan dia berhasil memanfaatkan tanahnya, sedangkan yang satu lagi tanahnya tidak subur dan dia hanya bisa mengeluh mengapa ia mendapatkan tempat yang seperti itu. Lalu orang yang memiliki tanah yang subur ini memutuskan untuk membeli tanah yang gersang tersebut dengan harga dua kali lipat. Tentu tawaran tersebut dianggap bodoh sekaligus menguntungkannya sehingga ia pun menjual tanahnya. Namun di luar dugaan, setelah membeli tanah tersebut ia bekerja di tanah tersebut dan menemukan tambang minyak.

Cerita tersebut juga mengambarkan masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur khususnya Kabupaten Larantuka, Lambate, dan Adonara. Ada tempat yang memiliki hasil alam yang melimpah namun mereka hidup dalam keadaan yang sangat sederhana bahkan kekurangan. Ada pula wilayah yang tampak hijau namun mereka tidak memiliki sumber air sehingga air pun mereka harus membeli, padahal di sana terdapat tambang emas. Ironis memang, tapi dibalik setiap kekurangan selalu ada kelebihan yang diberikan, bergantung bagaimana dari cara setiap orang mengolahnya menjadi berarti. Dan salah satu cara untuk membuat masyarakat menjadi lebih baik dan berkembang kehidupannya adalah melalui pendidikan.

Pada sabtu sore, 2 Agustus 2014, bersama seorang relawan Tzu Chi, Hok Cun, kami melakukan survei ke lima tempat anak penerima beasiswa karir Tzu Chi di wilayah Adonara, NTT. Kami tidak menyangka tempat yang dikunjungi begitu jauh hingga menaiki gunung. Sepanjang jalan, mobil pick up yang kami sewa ini melaju di jalan yang terkadang bagus, kadang rusak, dan sisi sebelahnya adalah jurang. Untuk survei ke lima tempat saja dari sekitar pukul 3 hingga 10 malam masih belum cukup sehingga kami harus bermalam di Adonara dan melanjutkan esok hari.

Mama Agnes (kanan) yang merupakan ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga, melalui tenunan dan menjahit kasur ia menyekolahkan anak pertamanya hingga kuliah.

Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah rumah anak asuh bernama Vincentia. Ia memiliki seorang mama yang luar biasa bekerja keras untuk anak-anaknya, yaitu mama Agnes. Rumah mereka sangat sederhana, tapi mama bisa menyekolahkan anak pertamanya di perguruan tinggi di Kupang. Ia menjadi kepala rumah tangga dengan menenum kain dan menjahit kasur serta bantal. Tapi tahun ini anak keduanya telah lulus SMA, sang anak pun bertanya kepada mama bagaimana nanti apakah ia bisa kuliah atau tidak. Saat itu mama tidak mampu menjawab bagaimana, ia hanya mengajak anaknya untuk tetap optimis dan berdoa.

Doa seolah terjawab melalui program beasiswa yang diberikan oleh Tzu Chi. Vincentia dapat melanjutkan pendidikannya di STIK Saint. Carolus, Jakarta dan menjadi perawat. Vincentia sangat ingin melanjutkan sekolahnya karena ia ingin merubah kehidupan keluarganya. Ia membantu mama menenun kain setiap kali ada pesanan, mereka berdua selalu bekerja sama menyelesaikannya. Kerja keras mama selain menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga ini dilakukan agar anaknya kelak dapat bersekolah dan menjadi orang yang berguna.  Hanya sesederhana itu harapan dari seorang mama yang begitu kuat dan tegar untuk anaknya.

Membangkitkan Rasa Percaya Diri

Kami mengakhiri survei pada tanggal 2 Agustus malam di sebuah rumah sederhana yang masih bertembokan anyaman bambu. Jika memperhatikan sekeliling maka rumah itu tampak berbeda dari rumah lainnya karena “kesederhanaannya”. Dirumah yang berukuran sekitar 4x6 meter ini tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari 5 orang.

Saat berbincang dengan ayah dari Rovina, salah satu calon penerima beasiswa, ayah itu bertanya apakah saat jalan ke tempat ini kami merasakan perbedaan? Kami tidak mengerti perbedaan apa yang dimaksud, namun ia meneruskan, bahwa dilingkungannya mereka adalah yang paling “kurang beruntung” keadaan ekonominya. Hal ini membuat Rovina anaknya menjadi sangat tidak percaya diri dan tertutup.

Penghasilan yang didapat ayah Rovina tidak menentu, hanya berasal dari bertani di ladang orang lain dan hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan, selain itu ada juga penghasilan lainnya yang ia dapat dari memetik kelapa yang satu butirnya dihargai seribu rupiah. Untunglah ada hasil dari kebun sehingga untuk kebutuhan makanan mereka masih bisa dapat mengatasinya namun untuk kebutuhan sekolah ayah ini menyerah, walau ia juga mampu merasakan keinginan anaknya yang besar untuk sekolah.

Dari rumah yang penuh dengan kesederhanaan, Rovina mulai menggantungkan mimpinya dan berharap semoga kepercayaan dirinya mulai bangkit.

Rovina merasa tidak percaya diri dengan keadaannya saat ini, ia merasa malu. Saat itu Hok Cun, relawan Tzu Chi, mengajaknya untuk berkata “semangat!” tapi hanya senyuman malu yang terpancar dari bibirnya. Tak menyerah, Hok Cun mengajak adik-adik dan sepupunya yang masih kecil untuk berkata semangat agar memancing Rovina berkata hal serupa, namun ternyata juga tidak berhasil.

Hok Cun pun akhirnya bercerita tentang kehidupannya di masa lalu, dimana keluarganya merupakan keluarga paling kaya se-Tangerang dalam sesaat berubah menjadi keluarga paling miskin di Tangerang. Hok Cun menceritakan pengalamannya yang walaupun susah dan dihina orang lain, ia tetap bekerja keras untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa ia bisa merubah keadaan tersebut. Sembari sekolah ia juga mencari nafkah, Ia tidak larut dalam hinaan dan menjadi tidak percaya diri.

Selesai bercerita ternyata kami disuguhi makan malam oleh keluarga tersebut. Merasa tidak tega untuk makan namun merasa tidak tega lagi melihat ketulusan hati mereka menyiapkan makanan  jika kami menolak. Saat itu memang sudah malam dan tidak ada lagi tempat makanan yang buka, sehingga mereka menyediakan untuk kita makan malam bersama. Walau seadanya hanya nasi jagung, ubi, singkong, daun singkong, tempe,dan jagung pipih, namun makanan tersebut terasa sangat nikmat, karena dimakan bersama satu keluarga dan penuh kehangatan, seperti keluarga sendiri.

Seorang nenek membuat Jagung titi untuk cucunya yang akan berangkat kuliah ke Jakarta. Jagung  titi merupakan makanan khas wilayah NTT ini.

Usai santap makan malam, kami pun pamit dan mereka menemani kami menuju kendaraan yang kami tumpangi. Saat itu Hok Cun memancing lagi Rovina untuk berkata semangat, dan akhirnya kata itu keluar dari mulut Rovina dan ia tersenyum, relawan pun senang melihatnya. Mungkin kisah yang diceritakan Hok Cun telah membangkitkan semangatnya dan membangkitkan sedikit rasa percaya dirinya bahwa ia juga mampu mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik melalui pendidikan yang ia tempuh nanti. Perjalanan yang melelahkan pun berubah saat mendengar sebuah kata singkat dari bibir anak-anak, yaitu “Semangat”.


Artikel Terkait

Pendidikan untuk Mengubah Masa Depan Keluarga

Pendidikan untuk Mengubah Masa Depan Keluarga

06 Agustus 2014 Perjalanan survei para relawan Tzu Chi ke rumah penerima beasiswa karir di NTT masih berlanjut. Relawan Tzu Chi menempuh perjalanan yang panjang untuk menjalin jodoh mereka dengan pribadi-pribadi baru yang peduli akan pendidikan untuk masa depan keluarga.
Tiga faktor utama untuk menyehatkan batin adalah: bersikap optimis, penuh pengertian, dan memiliki cinta kasih.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -