Pendidikan yang Humanis
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi PranotoJi Shou Shixiong, seorang relawan Tzu Chi asal Malaysia yang juga merupakan Corporate Humanity Consultant dan Humanity Education Consultant membawakan materi tentang Pendidikan Budaya Humanis.
Apa itu budaya humanis? Budaya humanis adalah suatu pikiran dan perilaku yang unik yang berbeda antara manusia dan makhluk hidup lainnya. Lalu apa kaitannya dengan Kata Renungan Jing Si? Kata Renungan Jing Si adalah sekumpulan kata-kata bijak dari Master Cheng Yen yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidup dan yang beliau jalankan selama ini. Master Cheng Yen juga menggunakan kata-kata bijak ini untuk membimbing insan Tzu Chi. Jadi, melalui kata-kata perenungan Master Cheng Yen inilah insan Tzu Chi belajar untuk melatih diri dan menerapkan budaya humanis, baik di lingkungan keluarga, relawan, dan juga masyarakat.
Budaya humanis dan kata Renungan Jing Si, dua hal inilah yang menjadi materi utama dari Seminar Budaya Humanis yang diadakan oleh Tzu Chi School, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, dan Jing Si Books and Café pada Minggu, 20 Mei 2018 di Tzu Chi Center, Lt. 3, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kegiatan ini diikuti oleh 392 orang yang terdiri dari guru dari berbagai sekolah di Jabotabek, masyarakat umum, dan relawan Tzu Chi. Ada tiga pembicara dalam seminar ini. Pertama adalah Ji Shou Shixiong, seorang relawan Tzu Chi asal Malaysia yang juga merupakan Corporate Humanity Consultant dan Humanity Education Consultant. Kedua, Ernie Lindawati, relawan Tzu Chi yang fokus di Misi Pendidikan sejak tahun 2003, dan ketiga, Agus Hartono, Manager Tzu Chi University Continuing Education Center (TCUCEC), yang juga praktisi Teknologi Pikiran (Hipnoterapis AWGI).
Guru Harus Memiliki Misi
Seminar Budaya Humanis ini diikuti oleh 392 peserta yang terdiri dari relawan Tzu Chi, guru dari berbagai sekolah di Jakarta, dan masyarakat umum. Tampak salah satu peserta sedang mendaftarkan diri.
“Pendidikan adalah suatu upaya menjernihkan hati
dan pikiran manusia. Jika dilakukan dengan baik, pendidikan adalah sumber
harapan, dan kekuatan untuk menstabilkan masyarakat.”
(Master Cheng Yen)
Di sekolah Tzu Chi, guru-guru menerapkan pembelajaran budaya humanis melalui Kata Perenungan Master Cheng Yen (Jing Si Yu). Caranya adalah dengan melakukan aktivitas atau permainan yang berkaitan dengan salah satu tema kata perenungan. Seperti tema tentang Ingin orang tersenyum kita harus tersenyum lebih dahulu maka para siswa diminta menggambarkan bahagianya orang yang tersenyum atau terkait dengan tema tersebut. Atau kata Renungan Jing Si yang berbunyi: Keindahan sebuah kelompok bergantung kepada pelatihan diri individunya maka para siswa diminta untuk berbaris rapi, baik saat masuk kelas, mengantri mengambil makanan, maupun keluar kelas. Jadi mereka tidak hanya belajar, tetapi juga mempraktikkannya. “Jing Si Yu ini sangat simple dan mudah dimengerti,” tegas Ernie.
Menurut Ji Shou, perubahan dunia saat ini yang sangat cepat berdampak pula terhadap kehidupan manusia, khususnya dalam dunia pendidikan. Salah satu contohnya adalah ketika untuk belajar masyarakat semakin memiliki banyak pilihan. Ada sekolah formal, maupun non formal (home scholling). “Yang berbahaya adalah kecendrungan kita mengikuti kebiasaan orang lain. Orang lain les, kita ikut les, ini bahaya karena kita nggak tahu tujuannya, tetapi hanya sebatas mengikuti kebiasaan orang banyak,” kata Ji Shou.
Ernie Lindawati, relawan Tzu Chi yang fokus di Misi Pendidikan sejak tahun 2003 menjelaskan tentang Asal Muasal Renungan Jing Si. Menurut Ernie, kata perenungan Master Cheng Yen sangat simple dan mudah dipelajari, serta diaplikasikan.
Sementara esensi dari sebuah pendidikan adalah agar anak-anak memiliki kebijaksanaan, tahu membedakan mana yang benar dan salah. Tujuan pendidikan adalah make judgement, take action. “Karena hidup adalah pilihan,” tegas Ji Shou. Banyak anak-anak yang karena tidak dibekali dengan hal ini maka dengan mudahnya terkena pengaruh negatif dari orang-orang yang baru dikenalnya di media sosial.
Di Tzu Chi pendidikan adalah mendidik perilaku tata krama, membina akhlak yang mulia. “Guru mengajar agar murid-muridnya menjadi orang yang memiliki tata krama dan memiliki akhlak yang mulia. Dalam hal ini guru juga menjadi panutan,” kata Ji Shou. Mengutip dari Kata Perenungan Master Cheng Yen, Ji Shou menggambarkan suatu perbedaan makna dari kata perenungan tersebut. “Hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup. Jika bekerja untuk hidup maka akan merasa menderita, tetapi jika hidup untuk bekerja maka akan merasa bahagia,” kata Ji Shou. Karena itulah seorang guru harus memiliki misi (mendidik dan menjadi panutan), bukan sekadar bekerja dan menjalani rutinitas.
Menanamkan karakter yang baik harus sejak dini. Menurut Agus, jika sejak kecil mendapatkan pemahaman yang baik maka dalam diri anak tersebut akan terbentuk dan tumbuh karakter-karakter yang baik.
Sr. Maria Odelia KFS, Kepala SMA Maria Joseph, Kelapa Gading, Jakarta Utara mengajak 6 orang guru di sekolahnya untuk mengikuti seminar ini.
Pendidikan humanis menekankan bahwa manusia adalah hal yang paling penting. Nilai-nilai budaya humanis dapat dilihat dari tiga hal: Bersyukur (Gan En), Menghormati (Zhun Zhong), dan Mencintai (Ai). Bersyukur dimulai dari rumah, bagaimana kita memperlakukan orang tua kita. Jika kita berbakti kepada orang tua maka anak-anak pun akan menirunya, karena berbakti perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya. Menghormati, kita memberi kita menghormati karena ada mereka (orang yang dibantu) maka kita bisa sadar betapa beruntungnya kita. Mencintai, kita memperlakukan orang lain dengan penuh cinta kasih.
Ada pepatah yang mengatakan, menjadi tua adalah hal yang pasti, tetapi menjadi bijaksana belum tentu semua mencapainya. Untuk mengubah menjadi karakter yang lebih baik tidak mudah, apalagi secara drastis dan instan. “Saat ini ada gerakan 0,1 change, kenapa penting? Karena 1 x 1 x 1 x …..dst, tetap hasilnya satu. Tetapi 1,1 x 1,1 x 1,1 dst maka hasilnya berbeda. Kalau semua orang melakukan perubahan kecil ini selama tujuh hari saja maka dunia akan berubah lebih baik,” terang Ji Shou. Membangun karakter sangat penting karena karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan ditukar, dan karakter harus dibangun dan dikembangkan dengan proses yang tidak instan. “Dan ini bukan hanya tugas seorang guru, tetapi yang utama adalah orang tua, keluarga, dan masyarakat,” kata Ji Shou.
Belajar Langsung dari Sumbernya
Sebuah praktik penyampaian pesan dan kerja sama di antara kelompok. Pesan dari games ini adalah bagaimana setiap orang harus mau bekerja sama dan juga tidak menyalahkan orang lain.
Salah satu peserta yang hadir adalah Sr. Maria Odelia KFS yang merupakan Kepala SMA Maria Joseph, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sr. Maria datang bersama 6 orang guru di sekolahnya. “Sangat bermanfaat sekali. Sejak saya (jadi Kepala) SMP delapan tahun lalu dah bersama anak-anak (SMP) ajak ke sini. Oleh relawan anak-anak dibawa ke aula, kasih pengantar dan pemahaman. Dalam waktu 5 menit mereka bisa hormat. Kata-katanya juga santun,” kata Sr. Maria.
Ada banyak hal yang diterapkan dari hasil pembelajaran di Tzu Chi. Salah satunya adalah semangat Celengan Bambu, dimana siswa diajak secara rutin bersumbangsih untuk membantu sesama. “Semangat ini kami ganti dengan ajaran Katolik, yakni Semangat Lima Roti Dua Ikan. Tapi prinsipnya adalah sama, membangun kepedulian kepada sesama.”
Relawan mengajak para peserta untuk juga mempraktikkan salah satu Budaya Humanis Tzu Chi (shou yu) dengan tema lagu Satu Keluarga.
Para peserta turut memeragakan lagu dan isyarat tangan Satu Keluarga, membuat kegiatan hari itu ditutup dengan penuh kekeluargaan, sukacita, keramahan, dan rasa saling menghargai satu sama lain.
Menurut Sr. Maria, budaya humanis saat ini menjadi hal yang sangat penting dan perlu ditanam dan dipupuk sejak dini. Di masa sekarang yang cenderung individualis maka nilai-nilai kesantunan, berbakti, toleransi dan lainnya mulai bergeser. “Saat ini sudah mulai pudar dengan kenikmatan dan kemudahan yang ada jadi sering membangkang. Kita bukan hanya menggurui, tetapi juga bisa menjadi teladan,” tegasnya, “sebenarnya nilai-nilai Tzu Chi ini juga ada dalam tradisi Katolik, tetapi kami justru luntur. Ini yang kita ingin bangkitkan kembali.”
Manfaat lain dari mengajak siswa-siswinya berkunjung ke Tzu Chi adalah para siswa bisa langsung mempelajari budaya humanis Tzu Chi dan mempraktikkannya. “Minimal budaya antri saja, di sini semua langsung dijelaskan oleh relawan dan dipraktikkan oleh semua insan Tzu Chi, sehingga para siswa juga mengikuti,” kata Sr. Maria, “Begitu juga selesai makan mereka langsung cuci piring sendiri. Kami nggak perlu banyak bicara dan ngajarin, tetapi mereka datang, langsung praktik, dan langsung kena tujuannya,” tutup Kepala SMA Maria Joseph, Kelapa Gading, Jakarta Utara ini.
Editor: Arimami Suryo A
- Ji Shou Shixiong, seorang relawan Tzu Chi
asal Malaysia yang juga merupakan Corporate
Humanity Consultant dan Humanity
Education Consultan membawakan materi tentang Pendidikan Budaya
Humanis.
Artikel Terkait
Pembelajaran Budi Pekerti Berbudaya Humanis
19 Juli 2018Pendidikan yang Humanis
22 Mei 2018Apa itu budaya humanis? Lalu apa kaitannya dengan Kata Renungan Jing Si? Dua hal ini yang menjadi materi utama Seminar Budaya Humanis pada Minggu, 20 Mei 2018 di Tzu Chi Center, Lt. 3, PIK, Jakarta Utara.