Pengalaman “Memaknai Hidup” dari Padang

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand Yahya, Apriyanto
 

fotoPolin Shixiong (seragam biru putih, tengah) ikut membatu pembagian kupon paket sembako di Jalan Kelenteng No 133, Padang, kepada warga yang menjadi korban gempa.

 

Semua mata peserta yang ada di ruangan Jing-Si Books & Cafe tertuju kepada Polin. Malam itu, 8 Oktober 2009, Polin Shixiong hadir dalam acara bedah buku yang rutin diadakan setiap Kamis. Kedatangannya kali ini agak berbeda. Ia diminta untuk membagikan sedikit pengalamannya selama menjadi relawan di Padang dan sekitarnya sebagai anggota tim tanggap darurat Tzu Chi.

Ketika gempa terjadi di Padang. Jumat 2 Oktober 2009 saya bersama sejumlah relawan berangkat ke Padang dengan pesawat carteran dan tiba di bandara Minangkabau pada pukul 13.30. Barang bawaan yang banyak membuat kami harus mengangkuti kembali barang-barang bawaan dari cargo pesawat menuju truk yang sudah disiapkan sebelumnya. Cuaca di kota Padang sangat panas, ditambah dengan aktivitas yang tinggi membuat suasana menjadi gerah. Lelah. Dengan keringat yang terus mengucur bagai aliran sungai.

Setelah barang selesai diangkut, kami langsung menuju ke gedung olahraga Himpunan Tjinta Teman (HTT) yang akan dijadikan sebagai tempat menginap sementara. Tempatnya yang luas membuat gedung ini menjadi alternatif penginapan. Namun ternyata, begitu sampai di sana, gedung itu sudah terisi penuh dengan peti jenazah yang berjejer rapi. Rupanya HTT terpaksa mengalokasikan jenazah ke gedung olahraga, karena rumah duka yang dikelolanya tidak mampu lagi menampung korban meninggal yang begitu banyak dalam waktu yang hampir bersamaan akibat bencana tersebut.

Dalam keadaan bencana segala sesuatu bisa terjadi di luar dugaan. Dan saya sangat memahami hal itu. Maka saya bersama sejumlah relawan langsung mencari alternatif penginapan lain di daerah itu. Cari-cari akhirnya kami menemukan sebuah wihara yang bisa kami tinggali. Selain menampung kami, wihara ini juga menjadi posko darurat dan dapur umum di daerah itu. Setelah menaruh barang-barang bawaan, bersama relawan lainnya saya bergegas menjalankan tugas sosial. Padatnya kegiatan membuat saya baru bisa kembali ke wihara pada pukul 4 pagi. Dengan beralaskan karpet dan ditemani nyamuk, saya paksakan mata ini untuk terpejam, sebab begitu matahari terbit pukul 7 pagi rombongan harus kembali menuju HTT untuk melakukan bakti sosial. Tugas sudah menanti. Tidak adanya air untuk mandi dan tidur di atas karpet sempat membuat sekujur tubuh saya terasa gatal-gatal.

foto  foto

Ket : - Keikutsertaannya sebagai anggota tim tanggap darurat ke Padang membuat Polin Shixiong mendapati              banyak pelajaran berharga. Salah satunya bahwa hidup harus disyukuri dan diisi dengan kebajikan. (kiri).
          -  Para peserta bedah buku malam itu menyimak penuh kisah pengalaman yang dituturkan Polin Shixiong.              Amelia, pembawa acara, mengajak para peserta lebih bersyukur dan bersatu hati dari hari ke hari.(kanan)

Cuaca masih terasa terik di hari kedua. Semakin menyengat lagi karena saya sebagai tim pembagian sembako harus banyak mengangkut dan membagikan barang kepada warga. Entah berapa banyak keringat yang keluar. Yang pasti sebanyak apa pun saya minum, sepertinya tidak cukup membantu untuk menghilangkan dahaga. Bahkan dalam sehari saya hanya sekali buang air kecil, selebihnya cairan lebih banyak terbuang melalui pori-pori kulit.  

Malam harinya dengan tubuh yang lekat oleh keringat, saya bersama teman-teman kembali menginap di wihara yang sama. Masih dengan nyamuk-nyamuknya. Hanya malam itu terasa lebih baik dengan kehadiran busa untuk alas tidur kami. Sampai esok harinya salah satu relawan Padang mengusahakan tempat tinggal di daerah Tabing. Jarak Tabing ke kota kurang lebih 8 kilo meter. Di tempat ini bisa didapati air bersih dengan memakai generator listrik.  

Setelah melewati hari-hari yang melelahkan. Membagikan sembako kepada warga, kekurangan tidur, bekerja dengan jadwal makan yang tak teratur dan terbakar oleh matahari. Akhirnya saya kembali ke Jakarta pada hari Rabu, 7 Oktober. Rasa lelah, pegal, ngantuk, dan kulit yang merah terbakar menjadi oleh-oleh tersendiri dari perjalanan ini. Sesampainya di rumah badan ini seolah sudah tak memiliki rasa lagi hingga saya langsung membaringkan diri di tempat tidur. “Surga”, itulah yang saya rasakan ketika pertama menyentuh tempat tidur. Ranjang dan kasur yang semula biasa, terasa sangat mewah di malam itu. Sungguh perjalanan ini telah memberikan sebuah pengalaman yang mengesankan. Rasa kebersamaan yang tak mudah saya lupakan dan rasa bersyukur yang semakin saya rasakan. Bahwa selama ini saya telah menikmati hidup yang indah. Hidup dalam kecukupan dan saya masih diberi kesempatan untuk berbuat kebajikan.    

Momen untuk Bersatu Hati
Amelia Devina yang malam itu bertugas sebagai pembicara mengatakan, bahwa semoga pengalaman Polin Shixiong dapat dijadikan inspirasi dalam hidup ini. Menurutnya kehidupan ini seharusnya dijalani dengan penuh kewaspadaan dan rasa syukur. “Susahnya kita di sini (Jakarta) masih lebih baik dari saudara-saudara kita yang terkena musibah,” katanya.

Amelia mengingatkan kepada para peserta untuk tidak menilai bencana ini sebagai sebuah ujian atau hukuman. Tetapi sebagai makhluk sosial jadikan kejadian ini sebagai momen untuk bersatu hati. Manusia sering kali melupakan masa lalunya atau teman-temannya bila ia merasa senang. Justru dalam keadaan susah manusia baru diingatkan untuk bersatu hati. Karena itu Amelia berharap jangan sampai duka bangsa ini berlalu begitu saja tanpa diketahui maknanya. “Mari menandai momen ini, menandai rasa ini dalam tindakan sehari-hari,” tambahnya.

 
 

Artikel Terkait

Waisak 2555: Tzu Chi Pekanbaru

Waisak 2555: Tzu Chi Pekanbaru

26 Mei 2011
Kegiatan ini mendapatkan tanggapan positif dari para hadirin. Seperti yang dikatakan oleh Phie Siong Leng beserta istri, “Kegiatan cuci kaki ini adalah wujud nyata bakti anak kepada orangtua, dan ini adalah pendidikan nyata di dalam masyarakat yang saat ini sudah sangat jarang kita temui dan Tzu Chi melakukannya,” katanya.
Guratan Tawa di Wajah Al Bukhari

Guratan Tawa di Wajah Al Bukhari

03 Agustus 2018
Mandiri, menjadi kata pertama yang terlintas ketika relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun kembali bertemu dengan Al Bukhari. Remaja 14 tahun penerima bantuan Tzu Chi asal Pulau Parit itu kini terlihat sangat berbeda. Wajahnya tampak lebih segar dan badannya sudah tegap tanpa tongkat penyangga.
Untuk Pendidikan yang Lebih Baik

Untuk Pendidikan yang Lebih Baik

01 Desember 2015
Relawan Tzu Chi Sinar Mas Xie Li (komunitas) Siak, Riau mengikuti kegiatan training Program Ayo Belajar SMART term kedua. Sebanyak 30 relawan pendidikan (pengajar) yang merupakan istri dari staf perkebunan tergabung dalam training kali ini.
Dalam berhubungan dengan sesama hendaknya melepas ego, berjiwa besar, bersikap santun, saling mengalah, dan saling mengasihi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -