Pengalaman “Memaknai Hidup†dari Padang
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Anand Yahya, ApriyantoPolin Shixiong (seragam biru putih, tengah) ikut membatu pembagian kupon paket sembako di Jalan Kelenteng No 133, Padang, kepada warga yang menjadi korban gempa. |
| |
Ketika gempa terjadi di Padang. Jumat 2 Oktober 2009 saya bersama sejumlah relawan berangkat ke Padang dengan pesawat carteran dan tiba di bandara Minangkabau pada pukul 13.30. Barang bawaan yang banyak membuat kami harus mengangkuti kembali barang-barang bawaan dari cargo pesawat menuju truk yang sudah disiapkan sebelumnya. Cuaca di kota Padang sangat panas, ditambah dengan aktivitas yang tinggi membuat suasana menjadi gerah. Lelah. Dengan keringat yang terus mengucur bagai aliran sungai. Setelah barang selesai diangkut, kami langsung menuju ke gedung olahraga Himpunan Tjinta Teman (HTT) yang akan dijadikan sebagai tempat menginap sementara. Tempatnya yang luas membuat gedung ini menjadi alternatif penginapan. Namun ternyata, begitu sampai di sana, gedung itu sudah terisi penuh dengan peti jenazah yang berjejer rapi. Rupanya HTT terpaksa mengalokasikan jenazah ke gedung olahraga, karena rumah duka yang dikelolanya tidak mampu lagi menampung korban meninggal yang begitu banyak dalam waktu yang hampir bersamaan akibat bencana tersebut. Dalam keadaan bencana segala sesuatu bisa terjadi di luar dugaan. Dan saya sangat memahami hal itu. Maka saya bersama sejumlah relawan langsung mencari alternatif penginapan lain di daerah itu. Cari-cari akhirnya kami menemukan sebuah wihara yang bisa kami tinggali. Selain menampung kami, wihara ini juga menjadi posko darurat dan dapur umum di daerah itu. Setelah menaruh barang-barang bawaan, bersama relawan lainnya saya bergegas menjalankan tugas sosial. Padatnya kegiatan membuat saya baru bisa kembali ke wihara pada pukul 4 pagi. Dengan beralaskan karpet dan ditemani nyamuk, saya paksakan mata ini untuk terpejam, sebab begitu matahari terbit pukul 7 pagi rombongan harus kembali menuju HTT untuk melakukan bakti sosial. Tugas sudah menanti. Tidak adanya air untuk mandi dan tidur di atas karpet sempat membuat sekujur tubuh saya terasa gatal-gatal.
Ket : - Keikutsertaannya sebagai anggota tim tanggap darurat ke Padang membuat Polin Shixiong mendapati banyak pelajaran berharga. Salah satunya bahwa hidup harus disyukuri dan diisi dengan kebajikan. (kiri). Cuaca masih terasa terik di hari kedua. Semakin menyengat lagi karena saya sebagai tim pembagian sembako harus banyak mengangkut dan membagikan barang kepada warga. Entah berapa banyak keringat yang keluar. Yang pasti sebanyak apa pun saya minum, sepertinya tidak cukup membantu untuk menghilangkan dahaga. Bahkan dalam sehari saya hanya sekali buang air kecil, selebihnya cairan lebih banyak terbuang melalui pori-pori kulit. Malam harinya dengan tubuh yang lekat oleh keringat, saya bersama teman-teman kembali menginap di wihara yang sama. Masih dengan nyamuk-nyamuknya. Hanya malam itu terasa lebih baik dengan kehadiran busa untuk alas tidur kami. Sampai esok harinya salah satu relawan Padang mengusahakan tempat tinggal di daerah Tabing. Jarak Tabing ke kota kurang lebih 8 kilo meter. Di tempat ini bisa didapati air bersih dengan memakai generator listrik. Setelah melewati hari-hari yang melelahkan. Membagikan sembako kepada warga, kekurangan tidur, bekerja dengan jadwal makan yang tak teratur dan terbakar oleh matahari. Akhirnya saya kembali ke Jakarta pada hari Rabu, 7 Oktober. Rasa lelah, pegal, ngantuk, dan kulit yang merah terbakar menjadi oleh-oleh tersendiri dari perjalanan ini. Sesampainya di rumah badan ini seolah sudah tak memiliki rasa lagi hingga saya langsung membaringkan diri di tempat tidur. “Surga”, itulah yang saya rasakan ketika pertama menyentuh tempat tidur. Ranjang dan kasur yang semula biasa, terasa sangat mewah di malam itu. Sungguh perjalanan ini telah memberikan sebuah pengalaman yang mengesankan. Rasa kebersamaan yang tak mudah saya lupakan dan rasa bersyukur yang semakin saya rasakan. Bahwa selama ini saya telah menikmati hidup yang indah. Hidup dalam kecukupan dan saya masih diberi kesempatan untuk berbuat kebajikan. Momen untuk Bersatu Hati Amelia mengingatkan kepada para peserta untuk tidak menilai bencana ini sebagai sebuah ujian atau hukuman. Tetapi sebagai makhluk sosial jadikan kejadian ini sebagai momen untuk bersatu hati. Manusia sering kali melupakan masa lalunya atau teman-temannya bila ia merasa senang. Justru dalam keadaan susah manusia baru diingatkan untuk bersatu hati. Karena itu Amelia berharap jangan sampai duka bangsa ini berlalu begitu saja tanpa diketahui maknanya. “Mari menandai momen ini, menandai rasa ini dalam tindakan sehari-hari,” tambahnya. | ||
Artikel Terkait
Menjajaki Kolaborasi di Bidang Kemanusiaan
21 Maret 2017Kolaborasi antar lembaga kemanusiaan diperlukan untuk dapat menolong lebih banyak korban bencana. Kemarin Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Peter Maurer beserta jajarannya berkunjung ke Tzu Chi Indonesia.
Mengasah Welas Asih
26 Februari 2018Tzu Chi mengadakan kegiatan training relawan pendidikan yang bertujuan agar relawan pendidikan tetap mendapatkan semangat. Kegiatan yang diikuti sebanyak 125 relawan pada Sabtu, 24 Februari 2018 diharapkan dapat mengajak dan menularkan semangat dan cinta kasih kepada orang lain.