Penghiburan untuk Pengungsi Gunung Sinabung
Jurnalis : Nuraina Ponidjan (Tzu Chi Medan), Fotografer : Amir Tan (Tzu Chi Medan)Sebanyak 20 relawan Tzu Chi Medan mengunjungi para pengungsi korban erupsi gunung sinabung di posko Jambur Korpri Sadaarih, Minggu (4/9/2016).
Gunung Sinabung di Kabupaten Karo Sumatera Utara hingga kini masih belum bersahabat. Aktivitas vulkanik masih tinggi sehingga sesekali menyemburkan awan panas. Warga di sekitar zona merah, yaitu yang rumahnya berada dalam radius 3 km dari Gunung Sinabung direlokasi. Sementara warga yang rumahnya berada di radius 5 km belum diizinkan pulang.
Sekira 9.318 jiwa saat ini masih mengungsi di sembilan titik pengungsian. Yaitu Paroki G Katolik, Gedung Serba Guna KNPI Kabanjahe, GBKP Ndokum Siroya, Gedung Serba Guna GBKP Kabanjahe, Gudang Jeruk Surbakti, BPPT Jambur Tongkoh, Jambur Korpri Sadaarih, Gudang Konco, GDPI Ndokum Siroga.
Posko ini menampung 265 kepala keluarga atau 1040 warga dari Desa Kutagugung, yang merupakan desa terparah yang terkena dampak erupsi gunung Sinabung.
Terhitung enam tahun sudah warga berada dalam pengungsian. Semua orang tentu dapat memahami kejenuhan yang mereka rasakan. Karena itu pada Minggu 4 September 2016, sebanyak 20 relawan Tzu Chi Medan mengunjungi mereka untuk memberikan penghiburan. Salah satu Posko yang dikunjungi adalah Jambur Korpri Sadaarih yang berada di Jalan Djamin Ginting Berastagi.
Relawan mengajak para pengungsi bercerita dan bersenda gurau layaknya keluarga sendiri. Relawan juga membagikan permen kepada anak-anak dan mengajak mereka bernyanyi. Ada pula relawan yang membagikan ilmu pada anak-anak yang merindukan sekolah mereka.
Relawan menghibur para pengungsi dengan cerita dan senda gurau. Relawan juga membagikan permen kepada anak-anak.
Efri Ginting, salah seorang pengungsi masih ingat betul saat Sinabung meletus enam tahun lalu. “Masih sering terlintas dalam pikiran bahwa kala itu 29 Agustus 2010 dini hari sekitar pukul 00.15 WIB di desa Beras sitepu terasa gempa, sehingga warga berlarian keluar dari rumah. Tak lama kemudian terasa hujan debu dan ketika tiba-tiba Sinabung menyemburkan bara api, maka kami pun lari menyelamatkan diri,” tutur Efri.
Semua orang lari tanpa bisa mencari anggota keluarganya. Efri hanya bisa menggendong dan membawa lari anaknya yang berumur tiga bulan. Keesokan harinya setelah diungsikan ke penampungan di Jambur Lige di Kabanjahe, barulah ia bertemu kembali dengan sang istri. Saat itu juga kakak iparnya meninggal dunia karena sesak nafas.
Relawan juga menemani anak-anak belajar yang merindukan sekolah mereka dahulu.
Ketika status gunung dinyatakan aman, Efri dan keluargapun kembali ke desa. Namun karena Desa Beras Sitepu porak poranda, ia dan istri pun pergi ke desa istrinya di Desa Kutagugung Dusun Lau kawah. Namun pada tahun 2013 Sinabung kembali murka, ia dan keluarga kemudian mengungsi lagi ke Berastagi Jambur Taras dan saat itu pulalah lahir anak keduanya. Pada 2014 ia dipindahkan ke gedung Nasional, dan pada 2015 ia dipindahkan ke Jambur Korpri Sadaarih sampai sekarang.
Efri berharap Gunung Sinabung mereda dan keluarganya dapat membangun kembali kehidupan di sebuah rumah, bukan di pengungsian. “Kalau ditanya apa harapan kami selama ini, sepertinya harapan itu tak kunjung datang, kami hanya bisa pasrah saja,” ungkapnya.
Para pengungsi mengungkapkan keluh kesahnya kepada relawan Tzu Chi yang dengan penuh simpati mendengarkan mereka.
Sementara itu Kapoesta Gurusiwa, seorang kepala desa meminta pemerintah makin memperhatikan kebutuhan pokok warga di pengungsian. “Memang kami mendapat subsisi dari pemerintah, namun untuk kebutuhan seperti beras dan minyak masih kurang. Kalau obat-obatan dan tenaga medis mencukupi karena ada pengungsi yang berprofesi sebagai bidan dan perawat dan di dekat posko juga ada puskesmas,” kata Kapoesta Gurusiwa.
Seorang relawan, Suk Ling Shi Jie berharap kualitas hidup para pengungsi dapat membaik. “Keadaan tempat pengungsian memang sangat memprihatinkan, banyak orang tua lanjut usia yang harus melewati hari tuanya dengan hanya tidur beralas tikar dan ada yang beralas tilam tipis,” tutur seorang relawan, Suk Ling Shi jie.