Penutupan Kelas Budi Pekerti Er Tong Ban
Jurnalis : Evita Dwipayana (Tzu Sao), Fotografer : Indra Gunawan, Angelia (Tzu Sao)Anak-anak Kelas Budi Pekerti Er Dong Ban mengikuti sejumlah permainan di antaranya memindahkan bola ping pong menggunakan sedotan.
Penutupan Kelas Budi Pekerti Er Dong Ban (anak-anak usia 8-12 tahun) selalu diakhiri dengan kegiatan kamp. Kamp ini diadakan agar anak-anak memiliki kenangan yang indah di kelas budi pekerti terakhir di tahun ini. Kali ini kamp digelar pada 1-2 Oktober 2016 di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Bernetta Vireta, salah satu murid dari Kelas Budi Pekerti Er Dong Ban angkatan 11 merasa beruntung dapat bergabung di kelas ini. Setelah mengikuti kelas budi pekerti Bernetta merasa menjadi lebih baik dan lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
“Kita diajarkan tentang lingkungan kalau jangan membuang sampah sembarangan, harus menyelamatkan bumi, dan lain-lain. Tentang sosial kita harus membantu orang lain yang membutuhkan dan membantu orang yang lebih tua,” jelas anak berusia 11 tahun tersebut saat ditanya tentang praktik kelas budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Tahun ini merupakan tahun pertama bagi Bernetta mengikuti kelas budi pekerti menyusul kakaknya yang sekarang sudah lulus, Thania Vireta.
Dalam suatu camp yang diikuti oleh anak-anak dalam usia 8-12 tahun, tidak lengkap rasanya tanpa permainan. Masing-masing peserta diberikan satu kartu poin. Kartu tersebut akan diisi oleh masing-masing penjaga stand sesuai dengan poin yang diperoleh peserta berdasarkan kecepatan, ketepatan, dan ketelitian. Para pemain antusias mengumpulkan poin dengan mengikuti permainan yang ada.
Sepuluh stand tersebut berupa bowling dengan tumpukan kaleng, melempar cincin ke dalam botol, memasukkan koin ke dalam gelas di dalam air tanpa tangan menyentuh air, memindahkan air menggunakan sendok dan memasukkannya ke dalam botol kecil, melempar bola ke ring basket, memasukkan benang kedalam jarum, memindahkan biji saga menggunakan sumpit, memindahkan bola ping pong menggunakan sedotan yang ditaruh di mulut, konsentrasi menyebutkan alphabet, dan memindahkan karet gelang yang digantung disebuah tali dengan cara ditiup. Para pemain diberikan waktu satu setengah jam untuk menyelesaikan 10 pos dengan baik.
Selain sejumlah permainan, anak-anak kelas budi pekerti dibekali dengan materi berharga lainnya, misalnya tentang mencintai lingkungan.
Evita, seorang relawan fungsionaris pendidikan mengatakan, tujuan dari permainan ini agar anak-anak dapat bergembira sekaligus belajar dari makna permainan. Yakni lebih menghargai waktu dan lebih fokus dalam setiap hal yang dilakukan.
“Setelah dimainkan ya bisa menjadi suatu pelajaran buat mereka kalau dalam waktu satu setengah jam mereka harus selesaikan 10 pos. jadi mereka harus benar-benar menggenggam waktu untuk isi semua pos itu,” ujarnya
Netta, murid dari grup Bao Rong 2 tidak menyangka bisa memenangkan permainan pos ini. Padahal baginya, yang penting senang aja menyelesaikan tantangan. Tapi ia memang menyelesaikan yang paling mudah terlebih dulu.
”Yang paling mengesankan itu yang ambil biji saga pake sumpit karena itu bisa mengajarkan kita untuk menggunakan sumpit dalam kehidupan sehari-hari kita,” kata Netta yang mengaku masih kesulitan memakai sumpit. Dalam permainan ini ia berhasil mengumpulkan 14 biji saga.
Tentang makna dari permainan tersebut yakni menghargai waktu, Netta mengaku kadang-kadang masih kurang meghargai waktu. “Harusnya latihan piano tapi malah main IPad, harusnya belajar tapi nonton TV,” ujarnya. Situasi ini membuat sang ibu, Elvina Tarasia yang juga menjadi Daai Mama di kelas budi pekerti ini khawatir.
“Biasanya tanya saja besok ada ulangan atau les tidak, kalau misalnya hari ini anak harus les sampai jam 7 malam. Kalau besoknya ada ulangan, sudah tak boleh main IPad lagi,” ujar Elvina Tarasia, relawan yang sudah dua tahun bergabung dengan Tzu Chi tersebut.
Elvina menilai orang tua juga harus memantau kegiatan anaknya di sekolah. Elvina yang selalu menjemput anaknya les setiap hari memanfaatkan kebersamaan mereka di mobil untuk menanyakan tentang kesibukan anaknya di Sekolah. Meskipun begitu, Elvina tidak pernah memaksa anaknya supaya dapat nilai 100.
Netta pun tidak merasa keberatan untuk menyerahkan IPadnya karena ia juga dapat merasakan manfaatnya. “Aku jadi lebih rajin les, soalnya waktu main Ipad nya berkurang. Nilai aku juga ada kemajuan,” ujar Netta.
Artikel Terkait
Menjalin Keakraban di Hari Pertama
07 Maret 2018Belajar dari Kelas Budi Pekerti
05 Desember 2017Bergotong-royong “Menyembuhkan Bumiâ€
30 Mei 2024Cara-cara Menyayangi Bumi Kita menjadi tema kali ini dalam Kelas Budi Pekerti Tzu Chi Tanjung Balai Karimun. Kegiatan ini diikuti 25 orang anak dan 27 relawan Tzu Chi.