Perayaan Penuh Makna

Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Juliana Santy
 
 

foto
Perayaan tiga hari besar, Hari Waisak, Hari Ibu, dan Hari Tzu Chi Internasional diadakan di Summarecon Mall Serpong, Tangerang pada tanggal 25 dan 26 Mei 2013.

Siang hari di saat akhir pekan, pusat perbelanjaan ramai dikunjungi oleh masyarakat yang ingin berbelanja ataupun hanya ingin mencari hiburan, begitu pula di Summarecon Mall Serpong, setiap pengunjung menikmati waktunya masing-masing. Tapi sesaat suara musik dan tarian yang dibawakan 21 anak berbaju kuning seolah mengalihkan perhatian pengunjung dan mengumpulkan banyak mata untuk berhenti sejenak melihat ke arah panggung. Tarian Bodhisatwa bertangan seribu oleh siswi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi tersebut ditampilkan sebelum perayaan Waisak diadakan oleh insan Tzu Chi Tangerang pada Sabtu, 25 Mei 2013.

Apa yang Benar Kita Lakukan Saja
Pameran sekaligus perayaan Waisak, Hari Ibu, dan Hari Tzu Chi yang berlangsung selama dua hari itu (25-26 Mei) dihadiri sebanyak 1.246 pengunjung.  Sebelumnya relawan Tzu Chi Tangerang belum pernah mengadakan kegiatan Waisak sendiri, dan tahun ini mereka pun ingin memulainya. Lu Lian Chu, Ketua Tzu Chi Tangerang merasa di Indonesia jarang ada kegiatan Waisak yang dilakukan di dalam mall, oleh karena itu ia pun bertanya pendapat relawan lainnya dan mereka pun setuju. Ia pun meminta ijin kepada pemilik Mall, Liliawaty Rahardjo Sutjipto yang juga merupakan relawan senior Tzu Chi. Setelah persetujuan didapat, Lu Lian Chu dan relawan segera bergerak untuk mempersiapkan acara tersebut.

Kurang lebih selama sebulan persiapan dilakukan, dan beberapa hari sebelum acara mereka mempersiakan area pameran hingga pukul 3 pagi. “Kalau dulu kita hanya sebagai peserta, tapi untuk tahun ini kita sebagai penyelenggara, jadi saya harus memikirkan banyak hal, banyak tantangan yang harus dihadapi, pas awal-awalnya saya merasa agak takut kalau misalkan menemukan kendala. Tapi saat saya menemukan titik terang atau jawaban, saya merasa senang. Saya rasa sepertinya yang Master katakan, ‘Lakukan saja’, apa yang benar kita lakukan saja dan jangan takut, dengan begitu kita akan merasa senang atas apa yang kita lakukan,” ucap Lu Lian Chu.

Hari itu Lian Chu pun merasa sangat bahagia melihat banyak pengunjung mall yang ikut serta dan penampilan relawan, siswi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, dan Santri dari Pesantren Nurul Iman yang menyanyikan berbagai lagu melalui Shou Yu (Isyarat tangan). Ia pun ikut serta dalam penampilan isyarat tangan “Satu Keluarga” bersama dengan santri. “Saat mereka memeragakan isyarat tangan ‘Satu keluarga’, saya sangat terharu, saya benar-benar merasakan apa yang diajarkan oleh Master, kita jangan membeda-bedakan agama, suku mau pun ras, dengan begitu kita semua adalah satu keluarga, jadi untuk hari ini saya sangat terharu dan bahagia,” ucapnya yang berharap kegiatan ini dapat diadakan setiap tahunnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Penampilan berbagai lagu isyarat tangan dari Santriwati Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, ikut meramaikan suasana di saat pameran Jing Si dan perayaan tiga hari besar (kiri).
  • Lu Lian Chu yang menggagas ide ini berkata bahwa, apa yang benar kita lakukan saja dan jangan takut, dengan begitu kita akan merasa senang atas apa yang kita lakukan (kanan).

Pada perayaan tersebut juga memperingati hari Ibu untuk mengingat kembali jasa yang tak terbalas yang diberikan oleh ibu untuk anak-anaknya dan mengingatkan setiap anak untuk mengucapkan rasa syukur yang mendalam bagi setiap ibu. Salah satu ibu yang datang pada hari itu adalah Leni. Diusianya yang berkepala 4, Leni masih tampak sehat dan kuat, tapi dibalik penampakkannya ia menyimpan rasa sakit yang harus dilawannya sejak 3 tahun ini.

Keteguhan Hati Seorang Ibu
Agustus 2009, Leni memeriksakan dirinya ke dokter dan ia pun divonis terkena kanker. Vonis kanker seperti momok yang menakutkan bagi setiap orang dan Leni pun hanya bisa menerima dengan pasrah. Ia mengikuti anjuran dokter untuk melakukan kemoterapi agar sel-sel kanker mati. Sesudah pertama kali kemoterapi dan dilakukan evaluasi, dokter mengatakan sel kankernya sudah menyebar ke tulang.

Sejak saat itu Leni yang tinggal di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan, harus rutin mengunjungi RSCM yang terletak di Jakarta Pusat untuk menjalani pengobatan. Hingga 2 tahun awal Leni harus menjalani kemoterapi dan jika ditotal sudah 30 kali proses kemoterapi ia jalani. “Awal pertama tahu sakit, saya drop dan down, pas uda dilalui semuanya, apalagi melihat teman (yang lebih parah kondisinya). Kondisi saya waktu itu saya masih bisa jalan, saya masih bisa berobat naik kendaraan umum, orang lain uda pakai kursi roda dan harus pakai ambulans, itu membuat saya bersyukur, jadinya saya iklas. Saya melihat dibawah saya masih ada yang lebih parah dari saya dan lebih sulit dari saya,” tuturnya.

Penyakit seperti menguji ketahan Leni, setelah melawan kanker selama 3 tahun, dokter mengatakan dinding rahimnya mengalami penebalan, sehingga harus dilakukan pengangkatan rahim. Tapi Leni tak takut menghadapinya, semua ia terima dengan ikhlas dan terus menguatkan diri untuk sembuh. Satu hal yang menjadi kekuatannya adalah ketiga buah hatinya. Anak yang paling besar hampir lulus SMA saat ibunya tervonis sakit. Walaupun sudah diusia yang cukup dewasa, tapi Leni tak ingin anaknya tahu sakit yang dideritanya. Anak-anak tahu ia sakit tapi tidak tahu penyakitnya, itu karena Leni tak mau hal itu mengganggu konsentrasi sekolah anak-anaknya.  

foto  foto

Keterangan :

  • Hari itu Leni (belakang) yang tidak jadi melakukan operasi, menggunakan waktunya untuk ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi (kiri).
  • Walaupun bagian punggungnya dipasang alat agar tulang belakangnya bisa berdiri tegak, dan walaupun bukan menganut Buddhis, tapi ia tetap ikut karena yang ia yakini adalah Tzu Chi membantu setiap orang tanpa memandang agama (kanan).

“Yang buat saya tetap tegar karena melihat anak-anak masih kecil, saya ingin melihat anak saya tumbuh besar, saya harus bertahan hidup untuk anak-anak saya. Makanya setiap keputusan dokter, apapun keputusan dokter jika itu yang terbaik buat saya, saya akan ikuti saran dokter. Saya ikhlas menerima penyakit ini, tapi saya tidak mau kalah dengan penyakit ini. saya nggakmau dikuasai penyakit ini, saya harus mengendalikan penyakit ini. Kalau tidak hancurlah badan saya,” tutur Leni yang walaupun raganya sakit tapi batinya berusaha untuk selalu optimis dan berpikiran positif untuk melawan penyakitnya.

Melihat sosoknya, orang tak akan mengira ia menderita sakit karena ia tampak sehat. Ia pun menghadiri perayaan Waisak bersama dengan relawan Tzu Chi di Summarecon Mall Serpong. Seorang relawan yang selalu mendampinginya pun terkejut melihat kehadirannya, karena pada saat itu ia seharusnya menjalani operasi, tapi karena akan dilakukan pemeriksaan ulang, operasi ditunda dan ia memutuskan untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi daripada hanya mengistirahatkan diri di rumah.

Ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi, kerap kali dilakukan Leni, seperti ikut melakukan daur ulang di depo. Di sana ia bertemu banyak orang yang membuatnya menjadi gembira dan melupakan penyakitnya. Relawan yang mendampinginya juga selalu mendengarkan keluhan Leni dan memberikan dukungan bagi Leni sehingga keakraban bagai keluarga terjalin diantara dirinya dan relawan. Jalinan ini terajut sejak awal Leni terkena sakit, ketika Leni mengeluhkan kesulitannya dalam biaya transportasi menuju rumah sakit dan pasien lain menyarankannya bertemu seorang relawan Tzu Chi.

Pada perayaan Waisak Tzu Chi, walaupun bagian punggungnya dipasang alat agar tulang belakangnya bisa berdiri tegak, ia tetap ikut berdiri mengikuti acara hingga selesai, dan walaupun bukan menganut Buddhis, tapi ia tetap ikut karena yang ia yakini adalah Tzu Chi membantu setiap orang tanpa memandang agama, “Tzu Chi menolong tidak memandang agama dan ras. karena baik sama kita, ya kita juga harus baik, apalagi ia tidak memandang agama dan suku apa. Jadinya klo bahasanya saya, dia menghargai saya, saya menghargai dia,” ucap Leni  yang berharap kelak ia cepat sembuh dan tidak menjalani kemoterapi lagi.

Melalui Hari Waisak, kita membalas budi luhur Buddha. Melalui Hari Ibu, kita membalas budi luhur orang tua, dan melalui Hari Tzu Chi, kita membalas budi luhur semua makhluk. Pada perayaan yang dilakukan di pusat perbelanjaan itu kita melihat hari Waisak dirayakan dengan khidmat dan tulus, di hari itu juga terpancar semangat insan Tzu Chi dalam mengadakan acara tersebut dan menggalang hati pengunjung mall untuk ikut, serta yang tak kalah penting kita melihat seorang ibu yang penuh ketegaran melawan penyakitnya hanya demi melihat anak-anaknya tumbuh dewasa. Inilah yang menjadi pilar perayaan tiga hari besar di Tzu Chi.

 

 
 

Artikel Terkait

Suara Kasih: Teladan Bodhisatwa Daur Ulang Membimbing Orang Lain

Suara Kasih: Teladan Bodhisatwa Daur Ulang Membimbing Orang Lain

10 Juli 2013 Kita harus mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari agar sumber daya alam tidak terbuang sia-sia dan krisis di bumi tidak semakin cepat terjadi.
Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-131: Menjangkau Masyarakat yang Betul-betul Membutuhkan

Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-131: Menjangkau Masyarakat yang Betul-betul Membutuhkan

27 Juni 2022

Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-131 di kota Palu pada 24-25 Juni 2022 betul-betul menjangkau masyarakat yang sangat membutuhkan. Armansyah (45) warga Palu Barat, salah satunya.

Waisak 2555: Tzu Chi Batam

Waisak 2555: Tzu Chi Batam

26 Mei 2011
Setiap hari ada sekitar 200 orang yang menikmati makanan vegetarian ini. Puncak dari peringatan bulan suci ini dilakukan perayaan Waisak dengan upacara pemandian rupang Buddha pada tanggal 15 Mei 2011, di Lapangan Universitas Internasional Batam (UIB).
Kesuksesan terbesar dalam kehidupan manusia adalah bisa bangkit kembali dari kegagalan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -