Karena Rahmat suka menggambar, relawan Tzu Chi memberikan buku gambar untuknya. Dan cara ini berhasil membuat Rahmat mau membuka diri dengan para relawan.
“Beramal bukanlah hak khusus orang kaya, melainkan wujud kasih sayang semua orang yang penuh ketulusan”
(Master Cheng Yen)
Rambut hitamnya terurai tak beraturan. Sorot matanya lebih banyak melihat ke bawah. Bahasa tubuhnya terlihat tidak nyaman, gelisah. Perawakannya sedang. Setiap kali bertemu orang lebih banyak tertunduk. Sosok yang cenderung menghindar dan lebih suka menyendiri. Itulah Rahmat, warga Desa Kijang Makmur, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau yang tahun ini menginjak usia 36 tahun.
Sejak kecil Rahmat menderita tunarungu dan tunawicara. Rahmat bersekolah hingga kelas 3 sekolah dasar (SD). Ekonomi keluarga menjadi alasan utama, selain juga belum ada Sekolah Luar Biasa (SLB) di sekitar tempat tinggalnya.
Relawan Tzu Chi memberikan perhatian dan pendampingan kepada Rahmat. Di setiap kunjungan juga relawan memberikan bingkisan kepada Rahmat dan ayahnya.
Rahmat tinggal bersama Tutur, ayahnya yang sehari-hari bekerja serabutan. Ibu Rahmat sudah lama meninggal. Saat kecil, Rahmat mengalami kecelakaan ditabrak sepeda motor. Dari sini ia mengalami trauma untuk bersosialisasi dengan orang lain hingga usianya kini. Kehilangan kasih sayang ibu dan trauma kecelakaan seolah menenggelamkan dunianya. Belum lagi keterbatasan fisik yang dialaminya semakin membuatnya memilih “mengucilkan diri”.
Rahmat anak ke-4 dari 6 saudara. Kakak dan adiknya tinggal menyebar ke beberapa tempat. Ada yang masih di sekitar Kampar, tetapi juga ada yang tinggal di Kalimantan. Kebanyakan saudara Rahmat bekerja sebagai petani.
Menjalin jodoh
Rahmat didampingi ayahnya belajar menulis di kertas yang diberikan relawan. Dengan menulis atau menggambar membuat Rahmat bisa beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain.
Salah satu saudara Rahmat bernama Srik. Ia tinggal tak jauh dari perumahan staf karyawan di PT Buana Wiralestari Mas. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga di keluarga Tri Khusnaini. Tahu jika Tri Khusnaini aktif sebagai relawan Tzu Chi, Srik menceritakan kondisi Rahmat. Dari sinilah, jalinan jodoh relawan dengan Rahmat terjalin. Meski Tri Khusnaini sudah meninggal dunia, namun Srik tetap bekerja di keluarganya hingga kini. Dan jalinan jodoh ini dilanjutkan Oktafianti dan relawan Tzu Chi lainnya.
Pada saat kunjungan pertama, Rahmat takut dan menghindari relawan. Ia tertutup dan cenderung tidak percaya diri. “Pertama ketemu kami, Rahmat tuh justru malah lari ke kebun di belakang rumahnya. Sembunyi dia. Mungkin juga belum kenal dengan kami ya,” tutur Oktafianti, salah satu relawan yang ikut melakukan kunjungan kasih, “dia baru mau berinteraksi dengan kami kalau didampingi ayahnya.” Pada kunjungan berikutnya, Rahmat mulai terbiasa dengan relawan. Terlebih relawan membawakan buku gambar untuknya. Rahmat suka menggambar.
Bingkisan untuk Rahmat dan keluarga.
Relawan juga mengajak Rahmat untuk belajar membersihkan diri. Mulai dari menggunting kuku, mencuci tangan dengan benar, sampai membiasakannya menggunakan alas kaki atau sandal. Maklum, selama ini Rahmat tidak pernah mengenakan alas kaki kemana pun ia pergi. Rahmat juga diajak untuk merapikan tempat tidur dan membersihkan kamarnya. Relawan juga membawa dr Noverma dari Kebun Nagamas untuk memeriksa kesehatannya. Beruntung kesehatan Rahmat dalam kondisi yang baik.
Tutur, ayah Rahmat mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan dari ibu-ibu relawan Dharma Wanita Tzu Chi Kampar. “Alhamdulillah setelah beberapa kali dikunjungi, Rahmat (sekarang) sudah mau berinteraksi, terima kasih sekali,” ujarnya lirih menahan haru. Haddini, salah satu saudara Rahmat juga mengungkapkan hal yang sama, dan berharap Rahmat lewat perhatian insan Tzu Chi ini Rahmat bisa lebih mandiri. “Saya kepengen dia itu mandiri, bisa usaha minimal untuk dia sendiri. Setidaknya dia bisa bergaul dengan orang lain,” ujarnya.
Rahmat menunjukkan hasil tulisannya sebagai bentuk terima kasih atas kunjungan relawan.
Oktafianti dan relawan Dharma Wanita Xie Li Kampar lainnya akan melakukan kunjungan kasih secara berkala untuk membantu Rahmat. “Awalnya Rahmat sempat menolak dan menghindar. Namun seperti memahami niat tulus kami untuk membantunya, Rahmat perlahan-lahan mulai membuka diri kepada kami. Kami berupaya agar kunjungan kasih rutin ini dapat memberikan dampak baik untuk Rahmat. Selain mengajarkannnya (menjaga) kebersihan diri, kami ingin Rahmat juga memiliki keahlian atau keterampilan yang nanti dapat membantunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Semoga kami dapat selalu melihat senyuman di wajah Rahmat,” ungkap Oktafianti.
Editor: Hadi Pranoto