Persamuhan Dharma dalam Drama
Jurnalis : Willy, Fotografer : Henry Tando, WillyPementasan Sutra Bakti Seorang Anak yang dipentaskan pada Minggu, 17 Mei 2015, melibatkan 180 penyelam Dharma di Hotel Furaya.
Pada Minggu, 17 Mei 2015, Yayasan Buddha Tzu Chi Pekanbaru menggelar pementasan drama musikal Sutra Bakti Seorang Anak “Sedalam Kasih Ibu, Seluas Budi Ayah” bertempat di Hotel Furaya, Pekanbaru. Persamuhan Dharma yang ditampilkan oleh para penyelam Dharma ini dihadiri oleh 1.000 penonton yang terbagi dalam dua sesi yaitu sesi pagi yang diperuntukkan bagi peserta dari berbagai sekolah di Pekanbaru dan sesi kedua bagi masyarakat umum.
Turut hadir dalam pementasan ini, Pembimas Buddha dari Kemenag RI wilayah Riau, Tarjoko. Tarjoko dalam sambutannya menuturkan bahwasanya posisi seorang ibu memang mulia. “Filosofi mengatakan ‘surga berada di telapak kaki ibu’. Coba bayangkan. Nah, Sutra Bakti ini akan menggambarkan bagaimana susah payahnya seorang ibu membesarkan kita,” pungkas Tarjoko.
Pementasan ini melibatkan 180 penyelam Dharma dari berbagai kelompok usia. Persiapan 180 penyelam Dharma untuk mementaskan drama musikal telah dimulai sejak lima bulan lalu. “Ketika menjadi PIC (Person in Charge-red) perasaannya sepertinya tidak bisa tidur. Tapi, antusiasme penyelam Dharma cukup terasa dan kita semua di Tzu Chi benar-benar He Xin, He Qi, dan Hu Ai begitu terasa (dukungannya) sehingga beban seorang PIC tidak seberat yang saya bayangkan. Selain itu, kita juga mendapat pendampingan dari relawan senior sehingga semua dapat terkoordinir dengan baik,” pungkas Meliana, koordinator kegiatan ini.
Senada dengan itu, Elisah, salah satu relawan pendamping dalam kegiatan ini menuturkan bahwa para pemain memiliki antusiasme yang cukup tinggi. “Acara ini oleh Tzu Ching (muda-mudi Tzu Chi) sudah punya tekad yang bagus untuk mementaskan Sutra Bakti ini sejak mengikuti Tzu Ching Camp di Jakarta. Hasilnya cukup bagus dan ketika saya lihat ada penonton yang terinspirasi menurut saya kita sudah cukup berhasil,” ujar Elisah.
Lim Eng Lam (mike)mengatakan bahwa setelah menyaksikan pementasan Sutra Bakti Seorang Anak dia merasa tersentuh. Baginya, sering kali sebagai anak kita merasa suda memberikan yang terbaik padahal belum sepenuhnya berbakti kepada orang tua.
Persamuhan Dharma ini mampu menyentuh setiap sanubari insan yang menyaksikannya. Salah satunya adalah Lim Eng Lam. “Acara ini bagus. Di sini kita bisa merasakan jiwa seorang anak. Kita setiap hari terhadap orang tua merasa kita sudah cukup (berbakti-red), tetapi setelah kita lihat ini mungkin sebenarnya masih kurang, masih kurang sepenuhnya,” tutur pria kelahiran Lubuk Muda itu.
Tak berbeda dari itu, Maria Susanti, seorang ibu beranak tiga mengaku tersentuh menyaksikan pementasan Sutra Bakti Seorang Anak ini. “Berbakti tak ternilaikan. Jasa orang tua tak bisa dibalas dengan apa-apa. Kita berharap yang terbaik untuk anak,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Meski begitu, pementasan ini juga sekaligus menjadi sarana para penyelam Dharma (pemain pentas Sutra Bakti Seorang Anak) untuk mendalami nilai berbakti kepada orang tua. Para penyelam Dharma ini diajak untuk memaknai kembali budi luhur orang tua kepada mereka, anak-anaknya.
Adalah Mettayani, sosok yang telah menjadi relawan Tzu Chi di Pekanbaru sejak tahun 2007. Baginya berbakti adalah tidak hanya sekedar membahagiakan orang tua melainkan menggunakan tubuh pemberian orang tua dengan melakukan kebaikan dan menjaga nama baik keluarga.
Mettayani bersyukur dapat menjadi salah satu penyelam drama dalam pementasan kali ini. Harapan terbesarnya adalah para penyelam Dharma termasuk dirinya dapat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mettayani yang saat ini menjadi Ketua Misi Pendidikan Tzu Chi Pekanbaru, baru saja kehilangan sosok mertua. “Saya selalu mengatakan kepada anak-anak saya: ‘ketika nenek terbaring, itu kesempatan kepada kalian untuk berbakti. Saya sudah menganggap mama (mertua-red) sudah seperti mama saya sendiri,” pungkasnya.
Mettayani dikenal sebagai sosok yang gigih. Setiap harinya dia harus menempuh perjalanan selama satu setengah jam dari rumah menuju tempat kerjanya di Perawang dengan angkutan umum. Pukul lima kurang lima belas menit pagi, dia telah berangkat menuju tempat kerja dan pulang tiba di rumah pukul tujuh malam. Itu dijalani lima hari seminggu. Namun, kesibukan itu tidak menjadi alasan baginya untuk tidak berbakti kepada orang tuanya. “Saya merasa saya tidak punya satu berkah untuk berbakti kepada mama karena waktu kelas dua SMP mama sudah tidak ada. Sekarang saya selalu meluangkan waktu untuk jenguk papa,” ujarnya.
Dia yakin bahwa rasa berbakti itu harus berawal dari tekad dalam diri. “Sebenarnya kalau kita bilang tidak ada waktu, itu bohong. Cuma kitanya sendiri yang tidak punya benar-benar satu tekad,” tambahnya.
Selain itu, dia berharap para penyelam Dharma dapat menerapkan Dharma dan Sutra Bakti ini dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan ini hanya menjadi satu tontonan, tapi ini memang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita, dalam tindakan nyata. Itu yang lebih penting daripada kita hanya mementaskan, mendapat tepuk tangan orang banyak, tanpa kita menyerapi Dharma-nya,” tambahnya.