Mariati duduk di tempatnya biasa duduk ketika relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 2 datang untuk melakukan survei ke rumahnya (kiri). Foto rumah Mariati yang berada di atas area kamar mandi (tengah). Foto kamar mandi bersama para anggota keluarga Mariati dan Eko Sutanto (kanan).
Mariati duduk di tangga di bawah rumahnya yang berada di ujung sebuah lorong gelap, sempit, dan pengap sepanjang kurang lebih 12 meter. Ia memegang erat sebuah tongkat bantu jalan dengan pandangan mata mengawang jauh sembari mendengarkan obrolan para tentangga yang sayup ia dengar. Sudah lama, rutinitas harian ibu dua anak ini dilakukan seperti itu: duduk, ditambah dengan banyak melamun. Mungkin sudah lebih dari setengah tahun, katanya. Walaupun tak ada sepoi angin yang bertiup, ia tetap tak bergeming dari tempat duduknya. Itu adalah satu-satunya hiburan untuk Mariati.
Di sebelah tangga tempat Mariati melamun adalah kamar mandi yang sudah reot dimana pintunya hanyalah tripleks yang cuma menutup separuh badan. Lantainya dari ubin yang sudah pecah, lengkap dengan lumut di sisi-sisinya karena udara yang sangat lembap, tak pernah terkena cahaya matahari. Kamar mandi itu hanya digunakan untuk bersih diri, sementara untuk buang air besar, ia harus pergi ke toilet umum yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Di wilayah itu, ada banyak warga yang rumahnya tak memungkinkan untuk dibuatkan septictank karena lahan yang sempit, sehingga mereka memilih membangun toilet umum secara swadaya.
Kembali lagi ke kisah Mariati, di atas kamar mandi itu, barulah rumahnya. Separuh dindingnya adalah tembok rumah tetangga, separuhnya lagi papan dan seng. Alasnya juga papan, sedangkan atapnya asbes yang sudah banyak berlubang. Luasnya hanya sekitar 1x3 meter dimana di dalamnya hanya ada sebuah lemari plastik, tumpukan barang-barang dan baju, serta kasur. Sebenarnya tak pantas rasanya ruangan itu disebut rumah. Namun petakan ruang itulah rumah Mariati.
Sebenarnya ruangan itu dibuat karena Mariati tak lagi mempunyai tanah untuk dibangun menjadi rumah dan tak punya biaya untuk menyewa kamar kontrakkan. Sehingga, ibunya, Syaenah memintanya menata atap kamar mandi itu menjadi ruangan baginya. “Ya daripada ngontrak, nggak bisa cari duit juga buat bayarnya,” ucapnya berat. “Ibu saya bilang: kalau ada rezeki, nanti tanah di bagian kamar mandi itu jadiin rumah kamu aja,” lanjutnya.
Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 2 mendengarkan kisah dan penjelasan Mariati dengan seksama.
Rumit memang kisah Mariati, dulu dia sudah punya bagian tanah warisan dari orang tuanya tepat di sebelah rumah adiknya, Eko Sutanto yang ada letaknya juga di sebelah kamar mandi. Tapi tanah itu dijual karena Mariati butuh biaya pengobatan untuk anak pertamanya yang tertimpa musibah kecelakaan. Di tahun 2011 itu, jaminan kesehatan belum mudah diakses seperti saat ini. “Jadi terpaksa jual rumah buat bayar rumah sakit. Abis itu ya sempat ngontrak,” katanya.
Saat itu pun ia masih bisa berjualan seperti makanan lontong sayur maupun lontong isi yang ia jual keliling ke tetangga. Ditambah lagi ia juga menerima panggilan sebagai buruh cuci gosok. Hasilnya lumayan untuk menutup biaya kontrak. Tapi setahun belakangan, ia berhenti dari usaha itu karena kaki kanannya mengalami pengapuran sementara kaki kirinya masih dalam proses penyembuhan pasca-stroke ringan, selain itu suaminya pun sakit-sakitan.
“Makanya saya bawa tongkat ini sekarang, Bu. Turun tangga dari rumah ini saya juga harus ngesot. Sakit sekali, sudah nggak bisa dipakai cari uang,” papar Mariati. Semua kondisi rasanya tak ada yang menguntungkannya.
Tinggal di rumah seng di atas kamar mandi itu pun sempat membuatnya sangat terpuruk karena sama sekali tidak nyaman. Di musim panas misalnya, rumah itu akan terasa sangat panas dan pengap. Mariati mengibaratkannya kalau ada di dalamnya ketika siang hari, ia serasa seperti masuk oven. Sedangkan kalau musim hujan, rumah itu sama sekali tidak bisa menahan angin kencang. Belum lagi atap asbes yang bolong membuat air hujan turun dengan bebas membasahi rumahnya.
“Kalau hujan ya saya duduk aja di pinggir. Kalau selesai, saya lap aja, trus tatakin baju kering, yaudah saya tidur lagi. Mau gimana lagi kan,” jelas Mariati menahan air mata. “Pernah saya mikir, kok hidup saya begini banget ya Allah. Banyak sekali cobaannya. Tapi ya nggak mau repotin saudara dan anak karena sudah punya keluarga masing-masing,” imbuhnya terus mencoba mandiri.
Cerita Satu Keluarga
Mariati sendiri adalah anak Syaenah. Ia anak kedua dari tujuh bersaudara: Sri Lestari, Mariati, Syaiful Bakhri, Jamaludin, Eko Sutanto, Edi Sutanto, dan Neneng Purwanti. Dulunya mereka tinggal di satu rumah yang cukup luas. Lalu seiring dengan usia dan masing-masing mempunyai keluarga, Syaenah membagi rumah sesuai dengan jumlah anaknya: 7 bagian atau 7 petakan.
Syaenah, ditemani salah satu anaknya Jamaludin menuturkan kisah panjang pembagian rumah meraka.
“Dulunya ini kita satu rumah, Bu. Tapi karena sudah pada punya keluarga, saya bikin sekat-sekat buat keluarga masing-masing. Lalu ya sudah pisah surat-surat semua lah. Anggapannya punya rumah masing-masing,” kata Syaenah menjelaskan asal mulanya.
Pembagian Syaenah dilakukan secara rata. Jadi masing-masing anaknya kira-kira mendapatkan bagian sebesar 2x3 hingga 3x3 meter persegi. Tapi karena satu dan lain hal, tanah anak-anak mereka ada yang dijual. Rumah itu menjadi terpecah dan terasa makin sempit.
Selain milik Mariati yang kini hanya berhak di bagian kamar mandi, beberapa anak lain masih bertahan di rumah pemberian Syaenah. Mereka adalah Sri Lestari, Syaiful Bakhri, Eko Sutanto, dan Neneng Purwanti. Keadaannya kurang lebih serupa dengan rumah Mariati: satu petak yang ditinggali beberapa anggota keluarga dan penuh dengan berbagai tumpukan barang di sisinya.
“kalau saya dulu pernah jatuh dari tangga kayu ini, Bu, ambrol,” kata Eko Sutanto, adik Mariati menunjuk tangga tempat Mariati duduk. Pasalnya dulu ia juga sempat tinggal di lantai 2 rumah reotnya. Lantai bawah rumahnya saat itu masih ia kontrakkan kepada penjual nasi goreng sebagai tambahan pemasukan. “Karena sudah pernah jatuh itu, jadi akhirnya memutuskan untuk kalau yang ngontrak rumah ini selesai, ya tidak saya kontrakkan lagi, saya pakai sendiri,” lanjutnya.
Eko Sutanto menggendong anak ketiganya yang baru berumur satu tahun. Di rumah seadanya itu, ia kini tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Di rumah ukuran 2x3 meter itu, Eko Sutanto tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Anak pertama beberapa tahun ke belakang sudah menempati lantai dua rumah yang bersebelahan dengan rumah Mariati karena sudah menikah dan mempunyai dua anak. Tapi anak kedua yang sudah SMP kerap ingin punya ruang privasi sendiri, namun Eko belum bisa mewujudkannya.
“Sebagai kepala keluarga pasti rasanya sedih Bu, karena tidak bisa mewujudkan mimpi keluarga. Padahal saya sudah berusaha sekuat tenaga,” tuturnya lirih.
Banyak hal yang tak nyaman bagi keluarga Eko. Mulai dari udara pengap tanpa ventilasi, atap bocor, tikus, hingga serangga. Tapi ternyata Eko masih bisa bersyukur karena kondisi badan yang sehat sehingga ia masih mampu mencari nafkah sebagai petugas Linmas di RW 08, Kelurahan Palmerah. “Penghasilan sebulan kurang lebih 600 ribu, Bu. Cukup atau nggak, ya dicukupkan saja untuk sehari-hari,” ceritanya dengan senyum tipis.
Bantuan yang Menyeluruh
Bagi Eko, punya rumah yang layak rasanya hanya menjadi mimpi yang mungkin tidak pernah bisa ia gapai. Tapi rasanya mimpi itu kini kian mendekat kepadanya dan keluarga melalui Program Bedah Kampung Tzu Chi.
Memang kabar tentang program bedah kampung Tzu Chi bekerja sama dengan Pemda DKI, yang menyambagi wilayah RT 13/RW 08, Kelurahan Palmerah tersebar begitu cepatnya hingga menghangatkan hati Mariati, Eko Sutanto dan puluhan warga lainnya. Ternyata masih ada harapan untuk mereka bisa menempati rumah yang betul-betul rumah, dengan kamar dan ruangan lain yang terpisah.
“Kalau memang mendapatkan bantuan, saya betul-betul bersyukur Alhamdulillah, Bu, karena program ini sangat membantu kami,” ungkap Mariati.
“Semoga benar-benar bukan cuma jadi mimpi. Program ini sangat membantu, karena saya punya mimpi untuk punya rumah yang nyaman, yang enak diinjak, bukan kayu reot lagi,” sahut Eko.
Teksan Luis (depan) menyusuri perumahan warga RT 13/ RW 08, Kelurahan Palmerah dan melihat langsung toilet umum yang dibuat secara swadaya di wilayah tersebut.
Teksan Luis, relawan pembimbing program Bedah Kampung TzU Chi di Palmerah ini menuturkan kepada warga untuk tak perlu khawatir dan sedikit bersabar karena harapan warga untuk mereka bisa punya rumah pasti akan terwujud. Namun bukan hanya rumah, nantinya relawan Tzu Chi juga akan membantu untuk melakukan pendampingan secara menyeluruh untuk warga demi meningkatkan kehidupan mereka.
“Jadi bukan hanya rumah mereka yang kita bedah, tapi juga bagaimana kehidupan mereka bisa lebih baik. Seperti mungkin ada warga yang sakit, yang belum ditanggung oleh BPJS, yang pendapatan mereka kurang, itu kita harapkan bisa mendapatkan perhatian dan pendampingan dari relawan,” papar Teksan, “sehingga bantuannya betul-betul menyeluruh dan semoga betul-betul memberikan manfaat untuk warga.”
Selain rumah Mariati dan Eko Sutanto, total akan ada 27 rumah di RT 13/ RW 08, Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat yang akan mendapatkan bantuan baik berupa renovasi maupun pembanguan ulang. Program Bebenah Kampung ini pun rencananya akan diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun setelah proses pembongkaran rumah dilaksanakan.
Editor: Arimami Suryo A.