Rumah Mungil untuk Nenek Amlah (Bag. 1)
Jurnalis : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Bali), Fotografer : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Bali)
|
| ||
Jarak antara rumah Siti Amlah ke Nusa Dua jika dilalui dengan jalan kaki dapat menghabiskan waktu satu jam lebih. Penyakit Alzheimer mulai menyerang Siti Amlah semenjak lima tahun yang lalu. Dirinya mulai melupakan beberapa rutinitas sehari-hari seperti memasak, mandi, dan perlahan-lahan lupa akan siapa saja anggota keluarganya. “Ibu, saya minta makan ya,” itulah kata-kata yang sering diucapkan kepada Ni Wayan Nuriani jika Siti Amlah merasa lapar. “Nanti kalau nenek sehat, tau kalau saya itu cucunya,” kata Ni Wayan Nuriani. “Coba tanya, sudah mandi atau belum, pasti jawabannya sudah,” katanya kepada relawan sembari tersenyum memandang neneknya. Ni Wayan Nurniani bersama suami dan orang tuanya tinggal di rumah yang terpisah karena dalam budaya Bali, orang yang dianggap dituakan akan disediakan sebuah kamar yang terpisah dengan anggota keluarga lainnya. Maka Siti Amlah mendapatkan sebuah kamar tersendiri. Kamar ini juga bisa dikatakan sebagai rumah mungil— tempat untuk beristirahat dan menyimpan barang-barang pribadinya. Karena masalah ekonomi keluarga yang tidak begitu baik maka kamar yang dibangun hanya berupa gubuk biasa. Ada lima orang keluarga yang tinggal bersama, termasuk Siti Amlah.
Keterangan :
Kenangan Akan Sang Suami
Keterangan :
I Made Ibraham dari kecil terus mengikuti kedua orang tua angkatnya kemanapun mereka pergi. “Tidak tetap, pindah-pindah terus. Paling lama waktu itu di Banyuwangi, 5 tahun,” kata I Made Ibraham. Meski ayahnya telah pesiun di tahun 1960, keluarga mereka masih saja berpindah-pindah. Sampai dengan tahun 1980, baru ada seorang pemilik tanah yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mendirikan sebuah rumah di atas lahannya. “Kami diberi izin tinggal di sini, sekalian untuk jaga tanahnya ini,” tambahnya. Meski tanah ini sudah sempat dijual, pemilik tanah yang baru masih mengizinkan mereka tinggal di sana sampai hari ini. Almarhum Soepo Bin Simin pensiun pada tahun 1960 di usia 55 tahun dan mendapatkan uang pensiun sebesar Rp 275.00 (saat itu-red). Dengan uang pensiun itu mereka terus berusaha untuk menyambung hidup. Sampai saat ini, di usianya yang ke-77, Siti Amlah masih mendapatkan uang pensiun suaminya. Tentu saja sekarang nominalnya telah berubah menjadi Rp 800.000. Mendiang suami Siti Amlah sangat dikenal oleh masyarakat di Desa Kedonganan karena kemurahan hatinya. Daeng Soepu, itulah panggilan masyarakat sekitar terhadapnya. “Bapak itu sering membantu orang yang sakit dan tidak mengharapkan imbalan,” kata I Made Ibraham mengenai ayahnya. Kalau dilihat, untuk urusan pangan, seorang Siti Amlah tidak kekurangan karena masih dibantu oleh anggota keluarga lainnya, tetapi untuk memiliki rumah yang layak adalah hal yang sangat tidak mungkin baginya. Meski tidur di kamar yang sangat sederhana tersebut, Siti Amlah adalah seorang wanita yang sangat rapi. Jika kita memasuki kamarnya, semuanya sudah ditata sedemikian rupa. Meski berlantaikan tanah, tidak ada sampah yang kelihatan dan tempat tidurnya senantiasa dalam keadaan rapi. Inilah beberapa rutinitas yang masih diingat oleh Siti Amlah. Terkadang Siti Amlah dapat membantu menyapu halaman rumahnya, meskipun hanya sekedarnya. Pukul 4 pagi, Siti Amlah sudah beranjak dari kasurnya dan melakukan jalan pagi di sekitar rumahnya, inilah yang membuat Siti Amlah tetap dalam keadaan bugar. Bersambung ke Bagian Dua. | |||
Artikel Terkait

Kreasi Masakan Vegan yang Tak Kalah Enaknya
02 September 2019Akhir pekan kemarin, 31 Agustus dan 1 September 2019, relawan Tzu Chi di Komunitas He Qi Barat 1 punya acara yang seru di Mal Taman Palem, Cengkareng, Jakarta Barat dalam rangka meramaikan Bulan Tujuh Penuh Berkah. Rangkaian acaranya banyak dan menarik, ada sosialisasi dan doa bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah, Senam S3 Andrie Wongso, Voice of DAAI, mendongeng, dan lomba serta demo masak masakan vegan.

Welcome Home, Sofyan!
23 April 2008April 2004, untuk pertama kalinya Sofyan berangkat ke Taiwan, dengan ditemani ayahnya. Di sana ia menjalani operasi selama 23 jam untuk mengangkat tumor dan mengembalikan bentuk wajahnya. Lima bulan kemudian ia kembali dengan jauh lebih sehat dan membawa sejumlah cerita tentang kehangatan para relawan Tzu Chi di Taiwan.

Meringankan Beban Warga Terdampak Covid-19 di Tangerang
04 Mei 2020Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan Polres Metro Tangerang Kota membagikan 2.000 paket sembako kepada warga yang terdampak pandemi Covid-19 di Kota Tangerang.