Rumah Sederhana untuk Hari Tua
Jurnalis : Cindy Kusuma, Fotografer : Cindy Kusuma
|
| ||
Selama puluhan tahun, Suwarni dan keluarganya menjalani hidup di tempat yang sangat tidak manusiawi, di pemukiman kumuh daerah Lautze, Jakarta Pusat. Luas rumahnya hanya 1,5 meter x 2 meter dengan tingginya kurang dari 1,5 meter, kalau mau memasuki rumahnya harus menunduk terlebih dahulu. Awalnya, Suwarni tinggal bersama anak perempuan, menantu, dan cucunya. Namun, menantunya meninggal dunia dan tidak lama disusul oleh anaknya, meninggalkan Suwarni dan cucunya, Sri Rejeki berdua. Cobaan kehidupan kembali datang silih berganti, satu-satunya tempat mereka berlindung pun harus musnah terbakar pada tanggal 7 Februari 2012 bersama dengan beberapa rumah lain di daerah sekitar. Sesudah musibah, kondisi hidup mereka semakin tidak karuan. Mereka tidur di lahan sempit di depan puing rumahnya dengan beralaskan kain seadanya. Terpaan angin, hujan dan panas sudah menjadi makanan sehari-hari dari Suwarni dan Sri Rejeki. Suwarni hanya bisa pasrah dan berdoa. Namun dalam kesulitannya, beruntung masih ada tetangganya yang peduli pada nenek ini. Suwarni menyambung hidup dari belas kasihan para tetangganya. Ia mengaku, tetangganya setiap hari memberikan sebuah aci kepadanya. “Sehari satu, nggak saya abisin…” Daster batik lusuh yang ia kenakan pun pemberian dari tetangganya, karena seluruh pakaiannya hangus dilalap api. Sri Rejeki pun sehari-hari terpaksa meninggalkan neneknya seorang diri karena harus mencari nafkah di luar. Namun, penderitaan itu tidak permanen. Masih ada orang-orang yang bukan keluarga maupun tetangganya yang peduli akan kesejahteraannya. Orang-orang itu tak lain adalah para relawan Yayasan Buddha Tzu Chi. Suwarni dan Sri Rejeki boleh bersyukur, karena permohonan mereka untuk membangun kembali rumah dalam program bebenah kampung dikabulkan.
Keterangan :
Setelah disurvei, para relawan berpendapat kalau rumah yang mereka tempati awalnya tidak layak untuk kehidupan yang wajar. Oleh sebab itu, para relawan berinisiatif untuk membangun rumah yang sedikit lebih luas. Namun, proses ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Ga mudah mau nambah luas rumah. Kita harus melakukan pendekatan satu per satu ke tetangga. Kita ketuk hati mereka, bangkitkan rasa kebersamaan,” ujar Hemming Shixiong, salah satu relawan Tzu Chi. Master Cheng Yen pernah berkata, “Yakin diri sendiri tanpa pamrih, yakin setiap orang memiliki cinta kasih”. Berkat pendekatan dari para relawan dan kemurahan hati para tetangga, akhirnya tetangganya merelakan secuil tanahnya untuk Suwarni supaya rumahnya bisa diperluas. Selama proses pembangunan kembali, Suwarni dan Sri Rejeki mengontrak sebuah kamar yang tak jauh dari lokasi rumah mereka. Habis Gelap Terbitlah Terang Suwarni mengaku tidak betah tinggal di kontrakan, ingin sesegera mungkin bisa kembali ke rumah lamanya. Akhirnya, pada tanggal 17 Oktober 2012, penantian Suwarni dan tujuh keluarga lainnya terbayar sudah. Yayasan Buddha Tzu Chi menyerahkan kunci kepada delapan keluarga. Ini merupakan tahap ketiga penyerahan kunci bagi penerima bantuan program bebenah kampung Lautze setelah sebelumnya dilakukan pada tanggal 1 dan 6 Agustus 2012.
Keterangan :
Dalam upacara penyerahan kunci yang dilangsungkan secara sederhana, Kaw Meng Goei Lie (Ameng) Shixiong mewakili Yayasan Buddha Tzu Chi menyampaikan pesan-pesan kepada para penerima bantuan, “Kami merasa sangat berbahagia. Ada satu penyebab yang membuat kita membantu bapak ibu. Semua hanya satu kata: ‘cinta’, hanya satu hal: ‘cinta’. Kami berusaha memberikan cinta kami kepada semua makhluk hidup, agar semua orang bisa berbahagia, agar semua orang bisa hidup dengan layak. Tidak lagi kita bedakan ras, suku, agama. Kita semua adalah sama. Kami cinta terhadap kehidupan,” kata Ameng Shixiong mantap. Setelah upacara selesai, para relawan mengantar Suwarni ke rumah lamanya yang sudah tampak baru. Ketika pertama kali masuk kembali ke rumahnya, Suwarni tak kuasa menahan tangis bahagianya. Relawan pun bergantian memberikan selamat dan turut bersukacita. Namun di tengah sorak sorai, Suwarni tiba-tiba memotong, “Pak, bu, saya mau tanya… Boleh kan saya tanya? Ini saya mbayarnya gimana ya?” Tanyanya penuh kepolosan. Para relawan dengan spontan menjawab, “Tidak usah membayar bu… Ini rumah milik ibu.” Mendengar berita menggembirakan ini, Suwarni tiada hentinya mengucapkan terima kasih yang disertai doa. “Tiap malem saya sembayang, saya doain supaya bapak ibu dari Tzu Chi panjang umur, selamat… Juga buat orang-orang yang udah bantu saya,” katanya penuh rasa syukur. | |||
Artikel Terkait
Setetes Darah Cinta Kasih
12 Desember 2018Berbagi 1.000 Kebahagiaan di Bulan Ramadan
13 April 2023Sebagai bentuk solidaritas dan perhatian kepada sesama, relawan Tzu Chi Pontianak membagikan 1.000 paket takjil (makanan berbuka puasa) kepada masyarakat Pontianak.
Kamp Zhen Shan Mei: Menjadikan Kelemahan Sebagai Tantangan
08 Desember 2015Kamp Budaya Humanis Zhen Shan Mei 2015 dimulai pada Sabtu dan Minggu, 5 dan 6 Desember 2015 di gedung DAAI, Tzu Chi Center. Sebanyak 80 peserta yang berasal dari seluruh Indonesia ini : Batam, Jambi, Makassar, Manado, Palembang, Pekanbaru, dan Tangerang, datang untuk menjadi mata dan telinga Master Cheng Yen.