Rumah yang Bahagia
Jurnalis : Jennifer (He Qi Barat), Fotografer : Riadi Pracipta, Jessica (He Qi Barat)Dalam rangka bulan Ramadhan, kelas budi pekerti Ai De Xi Wang dipindah ke sore hari, digabungkan dengan acara buka bersama anak-anak dan orang tua mereka. |
| ||
”Anak-anak, kali ini kita akan melakukan permainan membangun sebuah rumah. Di sini ada dua puluh keping bujur sangkar yang harus kalian susun hingga menjadi sebuah rumah,” kata Suwignyo Shibo memulai permainan sore itu. ”Akan tetapi, untuk membangun rumah ini ada ketentuannya, yang pertama kalian harus memindahkan satu per satu kepingan ini ke tempat yang sudah ditentukan, tanpa beranjak dari tempat kalian berdiri, jadi kalian harus memindahkannya secara estafet. Ketentuan yang kedua, rumah tersebut haruslah memiliki tiga lantai dan memiliki atap. Satu hal yang harus kalian perhatikan, dalam membangun rumah kalian harus mendiskusikannya dulu bersama-sama teman satu kelompok, dan rumah yang kalian bangun nanti haruslah kokoh sehingga jika seandainya ada badai, angin topan ataupun gempa, rumah kalian akan tetap utuh berdiri,” Rita Shigu menambahkan. Setelah diberi contoh oleh shigu dan shibo, anak-anak dan orangtua yang sudah dibagi menjadi empat kelompok serta didampingi oleh para relawan, mulai membangun rumahnya masing-masing. Dengan sigap, potongan demi potongan bujur sangkar dioper secara estafet, lalu setelah diskusi kecil, mereka mulai membangun rumah mereka. Anak-anak dan para orangtua bersama-sama membangun rumah mereka dengan penuh kegembiraan. ”Nah sekarang semua rumah sudah jadi, silahkan dua orang anak dari masing-masing kelompok pergi ke kelompok yang lain dan kalian harus mengipas rumah teman kalian, seumpama itu adalah angin topan atau gempa bumi yang sedang melanda,” demikian Suwignyo Shibo memberikan pengarahan.
Ket : - Anak-anak dan orang tua dibagi berkelompok untuk membangun sebuah rumah yang kokoh dari bujur sangkar berbahan matras. (kiri) Maka seketika itu juga suasana menjadi gaduh, anak-anak berteriak saat melihat rumah yang mereka bangun dengan susah payah bergoyang-goyang saat diterpa angin. Perlahan, satu rumah roboh, disusul rumah lainnya. Ada yang hanya bagian atapnya saja yang runtuh, dan hanya tinggal satu rumah yang sampai terakhir masih tetap utuh berdiri. Tampak kekecewaan menghiasi wajah-wajah kecil itu, beberapa terlihat bersedih dan ada rasa ketidakpuasan di sana. ”Perasaan saya sedih ketika rumah yang sudah dibangun dihancurkan, maka saya juga tidak mau menghancurkan rumah orang lain,” tutur Wulan, salah satu peserta saat diminta untuk sharing pengalamannya dalam membangun rumah. ”Sebaiknya kita tidak menghancurkan rumah orang lain sehingga rumah kita juga tidak dihancurkan, dan untuk menciptakan hubungan dalam rumah tangga menjadi harmonis adalah dengan saling menghargai,” kata Jessika, peserta lainnya. Lain lagi dengan Dinda, “Saya senang sekali saat membangun rumah. Pada saat ada gempa rumah saya hancur, tetapi pada bagian atasnya saja. Teman saya ada yg sedih hingga menangis saat rumah kami rusak.” Tampak di sampingnya berdiri terdiam, seorang anak laki-laki kecil dengan wajah masih terlihat sedih. “Sedih, karena sudah susah membuat rumah, tapi rumahnya hancur,” kata Budi, anak laki-laki itu, saat ditanya perasaannya.
Ket : - Seusai permainan, anak-anak diajak untuk berbagi perasaan mereka serta hikmah yang telah mereka petik dari sana. (kiri). ”Anak-anak, kalian tadi sudah merasakan sendiri, bagaimana susahnya membangun sebuah rumah, dan bagaimana sedihnya kalian saat rumah kalian hancur. Sama halnya dengan keluarga kita sendiri, membangun sebuah keluarga tidaklah mudah. Kita harus saling bekerja sama dengan seluruh anggota keluarga, dengan ayah, ibu, kakak serta adik, sehingga bisa menciptakan rumah yang bahagia, harmonis dan kokoh,” kata Suwignyo Shibo menyimpulkan. Sayup-sayup terdengar suara Azan, waktu berbuka telah tiba, Bapak Pahru, Wakil Kepala SD Cinta Kasih Tzu Chi memberikan sambutan dan memimpin doa berbuka, sebelum seluruh peserta menikmati hidangan yang sudah disediakan. Kali ini diterapkan tata cara untuk mengambil makanan yang diadaptasi dari tata cara di Taiwan. Dua belas orang anak yang sudah ditunjuk sebagai tim pelayanan, memakai celemek, topi, serta penutup mulut, siap membantu mengambilkan makanan. Semua peserta berbaris dengan rapi, antri untuk mengambil makanan tanpa ada yang bersuara. Jari kelingking diacungkan jika menghendaki jumlah makanan yang sedikit, dan sebaliknya jika menghendaki jumlah yang lebih banyak, ibu jari yang diacungkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan dan kebersihan, karena jika banyak yang berbicara, kemungkinan besar makanan dapat tercemar. Selain itu dengan tanpa suara, suasana menjadi lebih tertib dan harmonis. Waktu terasa berjalan begitu cepat, saatnya untuk kembali ke rumah. Semua yang hadir saat itu mendapat sebuah pelajaran berharga yang sepatutnya diterapkan dalam kehidupan masing-masing. Untuk membangun sebuah keluarga yang bahagia dibutuhkan peran serta seluruh anggota keluarga, seperti yang disampaikan oleh Master Cheng Yen: “Hidup berumah tangga tidak hanya menuntut materi yang berlimpah, harus menitikberatkan pada interaksi secara kejiwaan, agar hubungan antara orangtua dan anak, antara suami dan isteri dapat harmonis dan memuaskan.” | |||
Artikel Terkait
Bazar Kue Bulan Cinta Kasih: Melangkah Dengan Niat Tulus
21 September 2022Tzu Chi Batam kembali menyelenggarakan Bazar Kue Bulan Cinta Kasih. Ini merupakan tahun ke-3, Tzu Chi Batam mengadakan bazar dengan sistem PO (Pre-Order) atau pemesan awal.
Meringankan Derita Korban Banjir
02 Maret 2010Menabung Cinta Kasih
27 April 2021Minggu, 18 April 2021, Tzu Chi Tanjung Balai Karimun kembali melakukan pengumpulan celengan cinta kasih di Jl. Nusantara, di Jl. Setia Budhi, di Jl. Pramuka dan Jl. Ampera. Celengan cinta kasih merupakan program yang dapat menyebarkan cinta kasih ke seluruh lapisan masyarakat untuk membantu orang yang membutuhkan.