Sahabat dari Timur Indonesia

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha
 

fotoDerasnya hujan menyambut kedatangan para pasien dari Sulawesi Tengah yang akan mengikuti kegiatan Baksos Kesehatan Yayasan Buddha Tzu Chi ke-63 yang dilaksanakan pada 21-22 November 2009 di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat.

Ribuan kilometer telah mereka tempuh untuk mengikuti kegiatan bakti sosial kesehatan gratis yang diadakan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Selain mendapatkan banyak pengalaman baru,  para pasien ini juga mengaku bertemu sahabat baru di Jakarta.

Bukan yang Pertama
Senang rasanya hati ini bisa tiba di Jakarta dengan selamat. Walaupun semalaman tidak bisa tidur karena membayangkan ibukota, tapi entah mengapa sepanjang perjalanan dari rumahku di Toili, Sulawesi Tengah, ke Jakarta tidak sedikitpun mata ini mau tertutup.

Kamis, 19 November 2009, sekitar pukul dua belas siang aku, Adrian Saputra Dandi, dan ibuku, Sawamin, sudah berada di Poso untuk bersiap-siap berangkat ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Herkules milik TNI. Hari itu, aku tidak sendirian, ada kurang lebih 32 pasien bibir sumbing dan 40 pasien katarak dari Sulawesi Tengah yang juga akan mengikuti kegiatan baksos kesehatan gratis yang diadakan oleh TNI dan Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia di Jakarta.

Sama seperti aku, gurat cemas terlihat di raut wajah mereka sebelum meninggalkan kota kami. Mungkin itu karena ini adalah pertama kalinya kami naik pesawat, atau juga karena kami takut untuk menerima kenyataan kalau operasi yang harus kami hadapi nanti akan mengalami kegagalan untuk yang kesekian kalinya.

Sebenarnya aku dan ibu sudah pasrah dengan kondisi bibirku yang tidak normal ini (sumbing-red). Buat kami ini bukanlah yang pertama kalinya mengikuti bakti sosial kesehatan gratis. Kurang lebih 3 tahun yang lalu, Ibu pernah membawaku mengikuti kegiatan serupa yang diadakan oleh TNI Angkatan Laut. Tetapi aku kurang beruntung, setelah setengah hari antri di bawah teriknya sinar matahari di pelabuhan, benang operasinya habis. Aku pun gagal dioperasi. Hal ini bukan hanya terjadi padaku, Wayan Sri Wati yang kebetulan duduk di samping kami saat berada di pesawat juga mengalami hal yang serupa. Bahkan anak pertama dari Ketut Warta itu gagal operasi hingga 3 kali.

Sulitnya akses kesehatan di desa membuat kami terpaksa menerima kondisi ini dengan ikhlas. Walaupun sering menjadi bahan ledekan teman-teman, “Bibir tak robek” tapi aku tidak pernah merasa malu atau minder. Begini Tuhan sudah beri, kenapa harus malu? Tapi andai saja, tidak pernah ada konflik di Sulawesi Tengah, mungkin dokter-dokter ahli yang bisa melakukan operasi tidak lagi merasa takut untuk datang ke daerah kami.

Dua jam berada di dalam pesawat yang suaranya besar, membuatku juga tidak bisa memejamkan mata sedikitpun. Belum lagi rasa takut yang datang saat pesawat mulai menabrak awan, rasanya berombak-ombak seperti mau jatuh. Beberapa orang dari Poso, Tolitoli, Banawa, Balaesang, dan kecamatan lain di Sulawesi Tengah juga terlihat komat-kamit di dalam pesawat. Rasa takut, bahagia, dan dinginnya udara (karena ac pesawat-red) seolah bercampur menjadi satu di pesawat kami.

foto  foto

Ket: - Sepanjang perjalanan, mata Adrian Saputra Dandi, tidak pernah lepas memandang keluar jendela bus.             Baginya, Jakarta yang dulu hanya ada di mimpinya kini sudah berada tepat di hadapannya. (kiri)
        - Lima belas santri dari Pesantren Nurul Iman turut serta menyambut dan juga melayani 32 pasien bibir            sumbing dan 40 pasien katarak yang berasal dari Sulawesi Tengah. (kanan)

Jakarta Itu Ramai
Sesampainya kami di Jakarta, hujan dan tiga buah oto (sebutan untuk kendaraan beroda empat di Sulawesi Tengah-red) berukuran sedang menyambut kami di muka pesawat. Selain di pesawat, aku baru menyadari ternyata orang Jakarta sangat senang dengan udara dingin. Hal ini terlihat dari oto yang kami tumpangi juga sangat dingin, apalagi ibu lupa membawakan jaket yang makin membuatku merasa semakin membeku. 

Tapi setelah oto mulai membawa kami keluar dari lapangan tempat pesawat herkules mendarat, rasa dingin itu perlahan-lahan hilang. Ditengah rintik hujan, mataku menikmati setiap sudut jalan-jalan ibu kota yang awalnya hanya bisa kulihat di televisi atau koran daerah. Jarang sekali kutemukan hutan di sini, berbeda dengan rumahku yang lebih banyak hutannya dibandingkan tempat tinggal. Belum lagi oto yang beraneka ragam bentuknya, membuatku semakin bangga memiliki kesempatan pergi ke Jakarta. Walaupun awalnya kami pergi ke Jakarta untuk berobat, tapi tidak ada salahnya kami juga menikmati nikmatnya jalan-jalan gratis ini.

Perjalanan kami menuju tempat operasi cukup jauh. Bahkan karena terlalu banyak oto di jalan, kami sempat terhenti di beberapa tempat (terkena macet-red). Jakarta itu ternyata sangat ramai, banyak rumah-rumah berhimpitan, dan lampu-lampu yang berada di sepanjang jalan terlihat indah sekali. Aku sangat bersyukur, bisa menginjakkan kaki disini. Tidak pernah terbayang sebelumnya, kami yang terbiasa merasa tegang dan ketakutan bisa sebebas ini menghirup kehidupan. 

foto  foto

Ket: - Komandan Kodim Poso, Suwanto, yang juga menjemput para pasien terlihat tengah bercengkrama dengan            salah satu pasien bibir sumbing yang juga menderita cacat pada kedua kakinya. (kiri)
        - Sehari setelah tiba di Jakarta, hari Jumat, 20 November 2009, para pasien dari Sulawesi Tengah menjalani            pemeriksaan (screening) di aula serbaguna Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta. (kanan)

Sambutan Hangat Sahabat
Rumah sakit tempat kami akan dioperasi besar sekali. Selain rumah sakit, di sana juga ada sebuah sekolah yang besar dan lengkap yang dilengkapi lapangan bola kaki, basket, dan voli.

Aku hampir lupa, sambutan yang diberikan oleh para relawan Tzu Chi ketika kami datang sudah seperti om atau tanteku sendiri. Mereka baik sekali. Dengan ramah, kami langsung diajak untuk makan malam sambil menanyakan pengalaman kami di sepanjang perjalanan menuju ke sini.

Tidak hanya sekolah dan rumah sakit, ternyata di sini juga terdapat beberapa bangunan besar yang berisi ruangan untuk tinggal. Mereka menyebut rumah besar ini dengan nama rumah susun Tzu Chi. Rasanya lucu sekali, mereka bersama-sama tinggal di satu bangunan, dan hanya berbeda tangga saja.

Setelah makan malam, para relawan Tzu Chi yang menggunakan kopiah dan rompi berwarna kuning (para santri-red) mengantarkan kami ke dalam rumah susun dan menunjukkan tempat kami beristirahat. Aku dan ibu sangat terharu, tadinya kami sempat berpikir akan tidur di barak atau tenda, tapi ternyata kami menempati sebuah kamar yang bersih dan nyaman. Seperti yang dikatakan oleh para relawan yang sudah aku anggap sebagai sahabatku sendiri itu, hari ini aku harus beristirahat, sehingga besok pagi aku dapat menjalani operasi dengan baik. Dan entah mengapa, setibanya di sini aku optimis kalau pengobatan bibir sumbingku kali ini yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu, 21-22 November 2009, dapat berjalan dengan lancar dan berhasil. 

 
 

Artikel Terkait

Suara Kasih : Berterima Kasih kepada Bumi

Suara Kasih : Berterima Kasih kepada Bumi

09 Agustus 2012 Kita harus lebih berterima kasih kepada ibu pertiwi. Empat unsur alam yang selaras bisa mendukung bumi dalam menyediakan berbagai tanaman pangan dan sumber daya alam yang berlimpah kepada manusia. Ini semua bergantung pada kondisi iklim.
Sumbangsih Tzu Chi Bagi Korban Kebakaran

Sumbangsih Tzu Chi Bagi Korban Kebakaran

05 Februari 2013 Musibah atau bencana memang datang tidak terduga. Kerugian materi maupun non materi yang dialami para korban kerap menjadi beban hidup yang berat.
Kebahagiaan Tak Hanya Milik Warga Penerima Bantuan, Tapi Juga Para Relawan Tzu Chi

Kebahagiaan Tak Hanya Milik Warga Penerima Bantuan, Tapi Juga Para Relawan Tzu Chi

12 April 2021
Penyaluran satu juta paket Bantuan Sosial Peduli Covid-19 yang dimulai sejak 25 Februari 2021, tak hanya berkisah tentang kebahagiaan warga penerima, tapi juga kebahagiaan yang dirasakan para relawan Tzu Chi. Semakin banyak paket yang dibagikan, semakin banyak tenaga dan pikiran yang harus dicurahkan. Namun bukannya letih, yang dirasakan para relawan justru kebahagiaan yang mendalam. 
Orang yang berjiwa besar akan merasakan luasnya dunia dan ia dapat diterima oleh siapa saja!
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -