Sebuah Harapan yang Hangat
Jurnalis : Teddy Lianto, Fotografer : Anand Yahya, Budihardjo (He Qi Barat)Relawan Tzu Chi memberikan bantuan kepada warga korban kebakaran di Lautze, Kartini, Jakarta Pusat. |
| ||
Di sebuah gang dengan rentang jalan lebih kurang 80 cm, berkerubung banyak orang. Gerombolan orang tersebut merapikan gundukan karung pasir, seperti para rahwana yang sedang membangun sebuah candi untuk mempersunting Dewi Sumbi. Dengan penuh semangat mereka merapikan tempat seremoni peletakan batu pertama yang diadakan di reruntuhan rumah bekas kebakaran dengan ukuran 2x1 meter. Dari sebidang bangunan yang luluh lantak disulap menjadi sebuah panggung layaknya pentas perayaan 17 Agustus. Dengan pondasi karung-karung pasir yang diikat kencang, disusun sejajar membentuk bujur sangkar. Lalu dilapisi karpet butut berwarna hijau yang terhampar seadanya, sebagai pijakan untuk para pejabat dan pemimpin acara. Jalanan yang dulunya hanya berupa puing-puing reruntuhan dibedah menjadi lapisan aspal hitam, seolah gulungan karpet hitam dari Persia . Jalanan yang awalnya renggang tiba-tiba dipenuhi oleh segerombolan orang. Tampak di antara mereka ada yang mengenakan baju safari, celana hitam, dan sepatu pantofel kulit. Di tangan kanan mereka, menggenggam sebuah radio walkie-talkie seperti pasukan pengaman presiden. Mereka adalah protokoler Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Mereka mempersiapkan tempat dan orang-orang yang akan mengikuti acara ini. Selain itu mereka juga mengawal gubernur selama bertandang ke tempat ini. Ketika tiba, Fauzi Bowo membuka acara peletakan batu dengan memberikan kata sambutan, ”Pertama saya ingin mengajak kita semua yang hadir untuk bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena tanpa rahmat-Nya acara ini tidak dapat terlaksana dan RW 07 tidak dapat menjadi Perumahan ‘Lautze Indah City’.” Rangkaian acara ini merupakan sebuah dukungan moril pemerintah Jakarta terhadap program sosial yang dikerjakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Prosesi peletakan batu ini sebagai simbol atau bukti jika Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia akan melangsungkan pembangunan perumahan warga korban kebakaran 7 Februari 2012 silam.
Keterangan :
Pada tahap pertama ini sebanyak 40 dari 177 rumah yang akan dibangun terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan telatnya pengumpulan data-data seperti dokumen salinan PBB rumah dan akte jual beli rumah dari warga yang membuktikan jika rumah tersebut memang benar adalah milik warga tersebut. “Kendala-kendala dalam pembangunan rumah untuk korban kebakaran ini pasti ada, seperti pengumpulan dokumen, struktur dan ukuran bangunan yang terlalu kecil dan sempit. Oleh karena itu, untuk pelaksanaannya memakan waktu cukup lama,” ujar Kaw Meng Goei Lie, koordinator lapangan untuk pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban kebakaran Lautze. Pada acara peletakan ini juga dilakukan pemberian bantuan berupa 1 karung beras (@ 20 kg) kepada 177 warga korban kebakaran. Merajut Asa Kembali Ketika Marwa sedang belanja ke pasar, ia sering mendengar jika orang-orang di sana (pasar) mengatakan jika Yayasan Buddha Tzu Chi hanya memberikan iming-iming bukan janji. “Kalau dengar-dengar dari tetangga, katanya yang dibangun hanya rumah warga etnis Tionghoa, ada juga yang bilang kalo Tzu Chi cuma survei doang, tapi batal ngebangun rumah,” terang Marwa dengan mata berkaca-kaca. Setiap hari mendengar celotehan itu, dalam hati Marwa merasa bagaikan sebuah badai yang meluluhlantakkan semangat hidup dan harapannya. Perlahan-lahan tapi pasti muncul rasa curiga dalam pikirannya, apakah program Bedah Kampung Tzu Chi hanya sebuah wacana saja. Seperti janji-janji calon pembesar kepada wong cilik, yang mana hanya sebuah janji belaka.
Keterangan :
Tiap malam ketika anak-anaknya sudah terlelap, Marwa mencoba mencari jawaban kepada yang Maha Kuasa. Ia berdoa, memasrahkan nasibnya kepada-Nya. “Hampir tiap hari saya nangis, ya Allah gimana nasib kami sekarang. Kapan rumah kami bisa kembali utuh,” tutur Marwa. Rumah yang hancur terkena jilatan api bagaikan karung berisi pasir yang menambah beban di pundaknya. Sepeninggal sang suami, Marwa mau tidak mau harus bisa berdikari sendiri. Dua tahun lalu suami yang dikasihinya meninggal dunia akibat penyakit jantung. “Hari itu sebenarnya nggak ada prasangka kalau bapak akan pergi. Biasanya Sepulang kerja, bapak akan nonton TV sebentar baru tidur. Tetapi ditunggu beberapa jam kok nggak tidur-tidur juga. Begitu dihampiri, ternyata bapak sudah pergi,” kenang Marwa. Kini Marwa hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk merajut asa kembali, memberi makan ketiga anaknya. Marwa mencoba menambal hidup dengan membuat donat setiap pagi untuk dikirm ke warung-warung terdekat. Terkadang jika sedang laris, banyak pesanan dari orang lain. Semburat kegembiraan muncul di wajahnya ketika mendengar adanya pelaksanaan peletakan batu yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ini menjadi bukti jika janji yang diucapkan oleh Tzu Chi adalah benar. Rasa senang akan dilaksanakannya pembangunan membuat awan kelabu yang terus membayang di dalam hati dan pikirannya seolah tertiup jauh oleh angin bahagia yang berganti dengan limpahan sinar cahaya harapan yang hangat, mencairkan balok-balok es kesedihan yang mengkristal. Kini rumah yang ditempatinya dapat terbebas dari rintikan air hujan ataupun tiupan angin dingin di kala matahari kembali ke peraduannya. Marwa dan keluarga dapat menjalani kehidupannya seperti dulu kala. “Kalau rumah sudah jadi, pengen buka warung kembali untuk nambah ongkos hidup,” harap Marwa. | |||