Sebuah Keajaiban Bernama Implan Koklea

Jurnalis : Khusnul Khotimah , Fotografer : Khusnul Khotimah, Videografer: Chandra S.

Masayu Aini Gunawan (11) telah hidup dalam kesunyian selama 10 tahun karena terlahir dengan disabilitas tuli. Berkat bantuan alat implan koklea dari Tzu Chi, si anak cantik dan kakak yang penyayang ini mulai bisa mendengar dan mulai bisa berbicara.

“A.. Yu,” ucap Rifda Julfiah (31) kepada anak sulungnya itu dalam jarak setengah meter.  

“A.. Yu,” Ayu menirukan. Artikulasinya jelas.

“Sa.. Si,” ucap sang ibu lagi.  

“Sa..  Si.”

“Pintar...” Suryani dan Fie Lan, relawan Tzu Chi yang datang untuk melihat kondisi Ayu pascaoperasi pemasangan implan koklea ini tak bisa menahan diri untuk memuji Ayu.

Pada 19 Februari 2020 lalu, Masayu akhirnya menjalani operasi pemasangan implan koklea pada telinga sebelah kiri di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Implan koklea merupakan alat bantu dengar yang dipasang di dalam rumah siput (Cochlear) yang berfungsi merangsang saraf pendengaran secara langsung dan menggantikan sebagian fungsi rumah siput dalam menangkap dan meneruskan gelombang suara ke otak. Oleh otak, gelombang listrik ini diterjemahkan sebagai suara.


Rifda, sang ibu saat mengetes pendengaran Masayu. 

Saat ini, orang tua Ayu, terutama sang ibu, Rifda terus melatih pendengaran Ayu, juga kemampuan berbicara Ayu.

“Saya ulang, ulang. Ini saja sampai tiga bulan dapat kata (bisa mengucapkan) nama-nama temannya, Sasi, Rara, saya bangga banget,” kata Rifda.

“Bangga Alhamdulillah, bersyukur kami,” sahut sang ayah, Endra Gunawan (45) yang tak kuasa membendung air matanya.

Pas dapat kata-kata, nama-nama temannya, saya baru benar-benar mengerti, oh begitu ya, tiga bulan pun harus diulang, harus rajin kitanya. Jadi awalnya gregetan, kok nggak dapat-dapat sih. Alat implan ini kan mahal, eh kesini-sini, oh begini cara kerjanya implan ini. Kayak dari nol lagi,” tambah Rifda.

Meski pengucapan Ayu belum sepenuhnya jelas, namun Ayu sudah bisa dengar dan memahami apa yang diucapkan ibunya. Adapun kata pertama yang Rifda ajarkan setelah implan ini adalah Ayu, namanya sendiri.

“Saya kan terus panggil, ‘A Yu, A Yu’. Tapi dia masih bilang, ‘AU’. ‘Bukan Au, Ayu’,” ujar Rifda.

Selain terus melatih Ayu di rumah, setiap bulan Rifda pergi ke Yayasan Rumah Siput Indonesia untuk keperluan mapping. Mapping adalah proses menyesuaikan suara yang diterima pengguna alat implan yang dilakukan secara berkala untuk menyesuaikan fungsi alat, sesuai perkembangan kemampuan pengguna dalam mendengar dan berbicara.

“Saya balik lagi mapping, ‘Pak, ini I-nya belum dapat, lalu dibesarkan lagi sama dia. I dia bilangnya E (E Pepet), waktu pakai alat bantu dengar (ABD), Ayu bilang I itu E (E pepet), jadi masih terbawa. Padahal dia mau bilang I, pelan-pelan dia bisa bilang I. Sehabis itu mulai bertahap AIUEO,” sambung Rifda.


Perjuangan orang tua Ayu sampai Ayu bisa mendapatkan bantuan alat implan koklea sungguh tak mudah. Tahun-tahun yang telah berlalu penuh dengan air mata. Rifda terus optimis anaknya akan menjadi anak yang mandiri.

Ada cerita yang selalu membuat Rifda meneteskan air mata jika teringat itu. Setelah proses switch on pada alat implan di RSCM Jakarta saat itu, Rifda dan Ayu pun pulang ke rumah dengan naik bus Transjakarta. Kondisi jalanan di Jakarta seperti biasanya, selalu ramai, apalagi jika pengendara saling membunyikan klakson.

“Ma, bu nyi pe nuh,” kata Ayu terheran-heran.

Bu kan pe nuh, ra mai,” Rifda membetulkan.

“Ra mai,” kata Ayu mengulang.

Te ri ma ka sih Ma ma..,” kata Ayu langsung memeluk ibunya.

Hati Rifda yang sekian lama kemarau karena beratnya perjuangan mencarikan bantuan alat implan koklea bagi Ayu pun bagai terguyur air hujan. Air matanya tumpah dipenuhi kebahagiaan.

Ja ngan te ri ma ka sih sa ma Ma ma, sa ma Tzu Chi,” jawab Rifda kepadanya.

Di situlah Ayu baru tahu bebunyian di jalan raya secara jelas. Saat masih memakai alat bantu dengar (ABD), Ayu hanya menangkap kebisingan saja.

Menyadari Apa yang Terjadi


Ayu memiliki dua orang adik. Keluarga Ayu tinggal di sebuah rumah sempit dengan dua lantai. Lantai bawah ditempati keluarga saudara Endra, dan Endra sekeluarga tinggal di lantai 2. Dalam kunjungan ini, relawan juga membawakan paket sembako.

Awal mula Rifda menyadari anaknya tak bisa mendengar adalah dari ucapan tukang urut. Rifda memang merasa jika perkembangan Masayu ketika itu lambat, karena itulah ia membawanya ke tukang pijat urut khusus bayi dan Balita. Saat itu Ayu berusia empat bulan.

“Ibu, ini Masayu kayak-nya saraf-sarafnya nggak berjalan baik. Nanti anak kamu tidak bisa bicara loh,” kata tukang urut tersebut.

Sebagai seorang ibu, Rifda jelas tersinggung. Ia pun enggan datang kembali. Namun kalimat tersebut terngiang-ngiang dalam pikirannya. Ia pun lebih serius memperhatikan Ayu.

“Anak saya kok kalau dipanggil nggak dengar, sama mainan nggak ceria. Berjalannya waktu, tujuh bulan saya bilang sama ayahnya, ‘Yah kayaknya anak kita nggak dengar deh’,” ujarnya

“Enggak,” kata suaminya, “dia, dengar tapi cuma lambat.”

Tapi Rifda masih penasaran. Di dekat telinga Ayu, ia sengaja menutupkan panci dengan sedikit keras, tapi Ayu tak bereaksi. Bahkan petir yang menggelar saat hujan deras, Ayu tetap pulas. Rifda yang dipenuhi keresahan lalu memaksa suaminya untuk memeriksakan Ayu ke RSCM Jakarta. Saat itu Ayu berusia kurang dari dua tahun.

Penjelasan dokter membuat ayah dan ibu ini terguncang, kaget setengah mati. Bahkan Rifda jatuh sakit selama sepekan. Kenyataan ini begitu pahit, membuat mereka ketakutan akan masa depan Masayu.

Dokter menyarankan agar Ayu menggunakan alat bantu dengar (ABD) yang harganya juga tak murah bagi ayah Ayu yang bekerja sebagai satuan pengamanan atau satpam di sebuah proyek bangunan di Menteng, Jakarta Pusat. Bersyukur, Ayu dapat bantuan dari sebuah lembaga dengan program Indonesia Mendengar. Alat tersebut bergaransi dua tahun saja sehingga selanjutnya orang tua Ayu  harus membayar biaya perbaikan alat tersebut sendiri.

Rifda juga mengikutkan Ayu terapi dan juga menyekolahkannya di sebuah sekolah inklusi, Sekolah Aluna di bilangan Jakarta Selatan. Jarak sekolah yang jauh ini ditempuh dengan kereta api serta angkutan umum.

“Waktu belum pakai alat implan (bantuan Tzu Chi), saya sering menangis di jalan. (Sekarang) sudah hilang masa sedih itu. Pokoknya sudah senang sekarang. Rasa pahit itu sudah hilang,” kata Rifda menyeka air matanya.

Tahu Tentang Tzu Chi


Suryani dan Fie Lan, Kedua relawan Tzu Chi ini sejak awal mengikuti perkembangan Ayu dan merupakan saksi hidup perjuangan Rifda, seorang ibu agar anaknya bisa mendengar.

Pada tahun 2018, saat Ayu berusia 9 tahun, kondisi pendengaran Ayu menurun. Dokter pun memberi saran agar Ayu memakai implan koklea. Yang menjadi berat bagi orang tua Ayu, tentu terutama harga implan koklea yang jauh lebih mahal lagi dari ABD, yakni sekitar 150 juta rupiah untuk satu telinga saja. Rifda sempat mengajukan bantuan ke sebuah lembaga, namun tak dikabulkan karena harganya yang mahal. 

Sebenarnya sejak Ayu berusia empat tahun, Rifda sudah mendengar tentang Tzu Chi dari tayangan DAAI TV yang kerap menolong masyarat yang kesulitan, baik yang tertimpa bencana atau yang sakit. Kebetulan Rifda mempunyai teman yang pernah mengajukan bantuan ke Tzu Chi berupa implan pendengaran, namun belum memenuhi persyaratan sehingga belum dapat dibantu. Ini juga yang membuat Rifda ragu untuk mengajukan bantuan. Namun di sisi lain Rifda sangat penasaran untuk mencoba.

Bayangan soal masa depan Ayu akhirnya membuat Rifda nekat. Pada 12 November 2018, orang tua Ayu pergi ke kantor Komunitas relawan He Qi Pusat di ITC Mangga Dua untuk mengajukan bantuan implan koklea. Setelah itu tim relawan dari He Qi pusat, termasuk Suryani dan Fie Lan mulai menyurvei keadaan keluarga ini di rumah mereka.

Kesabaran dan keyakinan bahwa anaknya akan mendapat pertolongan terus dipupuk oleh Rifda. Segala upaya itu pun akhirnya berbuah manis. Orang tua Ayu diundang untuk datang ke Kantor Tzu Chi Indonesia di Pantai Indah Kapuk. Mereka bertemu dengan staf Bakti Amal, untuk didalami lagi keadaan keluarga ini, juga melihat kemungkinan berhasilnya alat implan ini di telinga Ayu.

Pada 18 Desember 2019, permintaan tersebut akhirnya disetujui. Segala kekurangan terkait tes-tes kesehatan pun dilakukan. Pada 19 februari 2020, Ayu menjalani operasi di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Sangat Bangga dengan Ayu dan Perjuangan Sang Ibu


Suryani dan Fie Lan merasakan sukacita menyaksikan bagaimana bantuan Tzu Chi memberikan pengaruh yang besar bagi masa depan Masayu.

Melihat perkembangan Ayu yang signifikan, baik Suryani dan Fie Lan dipenuhi dengan sukacita.

“Kami sampai terharu sampai tidak bisa ngomong ya. Karena kita lihat masa depan Masayu ini kan panjang. Lalu kemauan anaknya ini, semangatnya dia, dia mau belajar, dapat dukungan dari Mamanya yang begitu kuat. Waktu kita survei pertama mamanya juga sangat berusaha demi anaknya,” kata Suryani.

Melihat kesungguhan ibu Ayu, Fie Lan yakin Ayu akan tumbuh menjadi anak yang mandiri dan juga berguna bagi lingkungannya kelak.

“Saya juga tersentuh sekali dengan mamanya Ayu. Begitu semangatnya, kesabarannya. Seorang ibu mengajak anaknya berobat sampai hujan kehujanan, panas kepanasan, bolak-balik naik kendaraan umum, saya sangat terharu sekali. Saya juga gan en dengan Tzu Chi bisa bantu Ayu supaya Ayu lebih pulih lagi pendengarannya,” tutur Fie Lan.

Dalam kunjungan kasih pada Minggu 5 Juli 2020 tersebut, baik Rifda sang ibu, juga Endra, sang ayah, tak henti-hentinya mengucapkan syukur dapat mengenal Tzu Chi yang membantu mereka membukakan jalan yang terang bagi masa depan Ayu.

A … Yu … bi … lang a..pa ke Tzu Chi?” kata Rifda, kepada putri cantiknya itu.

“Te..ri.. ma ka…sih a..tas ban…tu…an…nya.  Sa…ya cin…ta Tzu Chi,” kata Ayu.

Suryani dan Fie Lan terkejut, karena bahkan Ayu masih merekam memori saat bersama relawan Tzu Chi setahun yang lalu.

“Iya saya juga tidak sangka, kan sudah setahun setengah lebih, waktu itu juga adiknya masih bayi, saya main dengan Dwi sama Balqis. Saya ajarkan isyarat tangan Tzu Chi ke Ayu. Dan kami ajarkan kalimat SAYA CINTA TZU CHI ke Ayu, ternyata dia masih ingat, saya terharu sekali,” kata Fie Lan dengan mata yang berkaca-kaca.

 

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

Tak Ada Kata Menyerah dalam Kamus Hidup Nurmalita

Tak Ada Kata Menyerah dalam Kamus Hidup Nurmalita

12 Juni 2020
Nurmalita menderita meningioma, yakni tumor di selaput pelindung otak. Tumor tersebut menyerang tulang kepala dan merambat ke organ di wajah sehingga wajah Nurmalita tak simetris lagi. Sudah tujuh kali Nurmalita menjalani operasi. Dalam kondisi ekonomi yang kurang mendukung, ada Tzu Chi yang sudah empat tahun ini membantu dalam hal biaya hidup. Relawan Tzu Chi juga selalu mendukung Nurmalita dan ibunya untuk  tegar. 
Semangat Para Penerima Bantuan Tzu Chi di Tahun yang Baru

Semangat Para Penerima Bantuan Tzu Chi di Tahun yang Baru

08 Januari 2018
Semangat baru di tahun yang baru ditunjukkan para penerima bantuan Tzu Chi (Gan En Hu) Bogor dalam pertemuan Gan En Hu yang pertama tahun ini, Minggu, 7 Januari 2018.
Menggenggam Jalinan Jodoh dengan Para Penerima Bantuan

Menggenggam Jalinan Jodoh dengan Para Penerima Bantuan

16 Desember 2019

Relawan Tzu Chi Tebing Tinggi mengadakan kegiatan Pemberkahan Akhir Tahun 2019 bagi penerima bantuan Tzu Chi Minggu, 8 Desember 2019. Kegiatan dihadiri sekitar 30 orang penerima bantuan beserta keluarga yang mendampinginya.

Berbicaralah secukupnya sesuai dengan apa yang perlu disampaikan. Bila ditambah atau dikurangi, semuanya tidak bermanfaat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -