Sebuah Kesatuan yang Utuh
Jurnalis : Himawan Susanto, Fotografer : Himawan SusantoDi akhir acara Tzu Ching Kamp V ini, Wen Yu Shijie hadir mewakili Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk memberikan souvenir kepada para peserta kamp. |
| ||
Pengalaman Pertama Berton lantas berkisah, tantangan yang ia hadapi adalah bagaimana menyatukan semua panitia. Kuncinya? “Let it flow aja cara menghadapinya,” katanya sambil tersenyum. Apalagi pas pembukaan dan maju ke depan para peserta kamp, ia berujar, “Maju seneng namun juga deg-deg an. Langsung maju dan ngomong aja.” Di saat maju itulah, Berton lantas mengucapkan terima kasih kepada para peserta yang telah berkenan datang ke Tzu Ching Kamp dan mengajak mereka semua untuk menjalani kamp dengan sepenuh hati. Kekompakan Kunci Utama Dalam kegiatan Tzu Ching Kamp ini, ia juga sangat terkesan dengan penampilan drama sutra bakti seorang anak yang diperankan oleh teman-temannya di kepanitiaan. “Panitia kita sebenarnya pas-pasan apalagi kita juga ada panitia dari luar kota kan. Jadi bener-bener dari panitia itu kan sedikit banget. Ada panitia yang latihan drama, ada sedikit panitia yang bantu bagian operasional di luar. Bener-bener mereka kerjain. Drama bisa berhasil karena panitia yang ngurusin drama dan operasional sama-sama kompak,” ujarnya bangga. Di akhir wawancara, Berton lantas berpesan, “Untuk panitianya terus semangat dalam kegiatan Tzu Ching. Jangan takut cape dan just do it. Buat peserta kamp, welcome to Dunia Tzu Ching dan semoga bisa happy di dalam kegiatan kita.”
Ket : - Di awal hari ketiga ini, para peserta Tzu Ching Kamp belajar mempraktikkan pradaksina atau biasa disebut meditasi berjalan untuk memusatkan konsentrasi. (kiri) Dua yang Berbeda Bagi Chyntia, ia terkesan dan merasa bersyukur dapat ikut dalam Tzu Ching kamp ini khususnya saat melakukan kunjungan kasih. Di sana, Chyntia melihat ternyata kehidupannya masih lebih baik dari orang lain yang berkekurangan. Dari situlah akhirnya muncul rasa syukur dihatinya. Acara lain yang berkesan baginya adalah saat menyaksikan drama musikal sutra bakti seorang anak. Di saat itulah ia mendapatkan pelajaran hidup betapa budi baik orang tua begitu besar. Chyntia pun lantas bertekad untuk lebih berbakti kepada orang tuanya. Menyadari Salah Satu Realitas Saat sudah masuk ke dalam lalu mentok. Ada gang lagi yang lebih kecil. Lebarnya sekitar ½ meter. Di gang itu, mereka masih bisa masuk hingga lalu tiba di satu rumah kecil yang luasnya berkisar 3x3 meter. Mereka mengira itu adalah rumah pasien penanganan khusus Tzu Chi yang hendak disambangi. Ternyata bukan, rumahnya masih di atasnya lagi. Untuk naik ke atasnya harus naik melalui tangga kayu yang lebarnya tidak lebih dari ½ meter. “Jadi badan saya aja ga bisa lewat begini (lurus). Kita semua harus miring-miring untuk jalan ke atas,” ungkapnya.
Ket : - Para peserta kamp tampak tengah berdiskusi dan berlatih sebelum menampilkan hasil kreasi seni mereka. Tampak terlihat para Tzu Ching dari Surabaya sedang memeragakan isyarat tangan. (kiri) Sesampainya di atas, ternyata di dalam rumah itu bukan satu orang saja yang tinggal. “Seperti kalau kita ke wartel (warung telekomunikasi) kan banyak pintu-pintu kecil. Jadi rumah keluarga itu di salah satu pintu kecil itu yang ukurannya paling engga sekitar 2x2 meter,” ujarnya prihatin. Di dalam ruangan kecil itulah, Sharlin dan teman-temannya bertemu dengan seorang ibu yang tinggal bersama dengan kedua anaknya yang ternyata kembar. Ibu itu sudah ditinggal oleh suaminya, jadi hanya tinggal bertiga saja. Ironisnya, salah satu anak kembarnya itu memiliki kelainan kelamin. Oleh Tzu Chi akhirnya anak tersebut mendapat bantuan pengobatan lewat jalan operasi. Tidak lama lagi, anak itu akan menjalani operasi kedua. “Terima kasih kepada Tzu Chi yang telah membantu pengobatan anak itu,” kata Sharlin menceritakan pengalamannya di dalam kunjungan kasih. Senasib dan Sepenanggungan Terakhir bagi Sharlin dan kelompoknya, banyak sekali pelajaran yang diperoleh dari kamp ini. Pertama belajar disiplin, tata cara jalan, dan etika. “Dan kemarin sutra bakti kepada orang tua. Setiap hari kita pulang tanpa memperdulikan orang tua. Kita pergi pagi pulang malam. Padahal orang tua di rumah sudah memasak makanan untuk kita. Sudah saatnya kita berbakti kepada orang tua sebelum terlambat,” katanya mengakhiri sharing di sore hari yang masih tetap cerah itu. | |||
Artikel Terkait
Terus Bergerak dalam Menjaga Bumi
10 November 2020Kepedulian relawan untuk melindungi wilayah pesisir di sekitar Tangerang terus berlanjut. Sebelumnya pada Desember 2019 relawan telah bersumbangsih kepada bumi dengan menanam 10.000 pohon mangrove di Tangerang Mangrove Center, Banten. Tahun ini di lokasi yang berbeda yaitu Desa Ketapang, Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang, Banten relawan kembali bergerak menanam 10.000 pohon mangrove (7/11/20).