Sebuah Momen Memulihkan Batin

Jurnalis : Apriyanto, Veronika Usha, Fotografer : Anand Yahya
 
 

fotoTekanan emosional dan keretakan rumah tangganya yang dialami Wangi seketika dapat teratasi ketika dia akhirnya berkenalan dengan Tzu Chi dan mempraktikkan cinta kasih universal.

Baterai yang telah digunakan tentu perlu dilakukan pengisian ulang guna mengembalikan energinya yang telah terpakai. Demikian pula dengan batin manusia, yang tidak berbeda dengan sebuah baterai. Setelah lama digunakan untuk merasakan, mengasihi, dan memberi kepada sesama. Batin yang lembut sekali pun perlu disegarkan kembali dengan mengalirkan kesadaran akan kepedulian, saling berbagi, dan berbakti. Ini semua dilakukan untuk menjaga kemurnian batin dan menghindari kejenuhan karena seringnya menjalani aktivitas sosial.

 

Pemberkahan akhir tahun yang diadakan pada tanggal 6 dan 7 Februari 2010 merupakan salah satu cara untuk mengisi kembali filosofi Jing Si di hati setiap relawan Tzu Chi. Melalui tayangan Pesan Master Cheng Yen yang melukiskan bencana alam di dunia, sumbangsih yang dilakukan Tzu Chi di tahun lalu hingga pementasan drama musikal Sutra Bakti Seorang Anak dapat dijadikan inspirasi bagi relawan dalam membangkitkan kembali semangat mengasihi dan memberi kepada sesama. Semangat yang akan terus tumbuh hingga akhirnya melekat menjadi jiwa yang penuh welas asih dan bijaksana.

Jing Si adalah sebuah ajaran dengan filosofi yang luas dan dalam, namun memiliki satu makna, yaitu keheningan. Disadari ataupun tidak untuk mempelajari Jing Si diperlukan sebuah pemahaman yang mendalam ke dasar batin. Sebuah pemahaman mendalam yang justru dapat tumbuh dengan sendirinya bila seseorang mempraktikkan welas asih dan kepedulian terhadap sesama.

Dalam ceramahnya, Master Cheng Yen sering menyarankan agar insan Tzu Chi giat menjalani Dharma yang membumi dengan giat bersumbangsih dan mengasihi semua makhluk hidup. Karena dengan cara inilah seseorang bisa mengikis kekotoran batinnya secara perlahan-lahan, seperti yang diutarakan oleh Wangi Shi Jie relawan asal Batam yang menuturkan bahwa hidupnya menjadi lebih baik dan bahagia setelah mengenal Tzu Chi.     

Stres Paska Melahirkan
Wangi dan Soegiman yang karena didasari oleh rasa saling mengasihi dan saling percaya lantas memutuskan untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga yang bahagia. Awalnya, kehidupan rumah tangga mereka amatlah harmonis. Di tahun 1993, Wangi melahirkan putri pertamanya sebagai buah kebahagiaan dari pernikahan mereka. Namun, belum genap satu tahun putri pertama mereka tumbuh, Wangi kembali mengandung anak kedua. Kehamilan yang tak terencana ini bagaikan sebuah beban bagi Wangi. Merawat putri pertama yang masih bayi ditambah kehamilan yang melelahkan membuat Wangi merasa dirinya dihimpit oleh tanggung jawab dan beban yang sangat berat – seolah kebebasannya dan kebahagiaan telah terampas dari dirinya.

Maka Wangi pun berencana untuk tidak meneruskan kehamilannya. Di dalam benaknya, terbesit niat untuk menggugurkan kandungannya. Soegiman yang mengetahui rencananya ini serta merta menentang niat Wangi. Dia berharap janin yang dikandung Wangi dapat lahir dengan selamat apa pun yang terjadi. Atas dasar dukungan dari Soegimanlah, akhirnya Wangi dengan ikhlas meneruskan kehamilannya dan tidak melakukan kesalahan yang lebih dalam.

Sejak saat itu, kegelisahan dan rasa menyesal menjadi teman yang selalu mengiringi hari-hari Wangi. Dan mencapai puncaknya ketika dia melahirkan putri kedua yang ternyata dalam kondisi yang tidak normal. Anak itu berwajah manis namun, dia memiliki kesulitan untuk melakukan pembelajaran dan komunikasi dengan orang lain.

foto  foto

Ket : - Ita Burhan, salah satu dosen di perguruan tinggi negeri merasa tersentuh begitu melihat kegiatan Tzu              Chi yang ditayangan DAAI TV. Dia pun langsung tertarik adn bergabung menjadi relawan Tzu Chi. (kiri)
         - Peragaan drama musikal Lukisan anak kambing berlutut ini mencerminkan arti bahwa manusia harus              berbakti kepada orangtuanya. Seperti anak kambing berlutut saat menyusu diinduknya. (kanan)

Demi mengurus putri keduanya yang berkebutuhan khusus, Wangi pun meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan. Kendati demikian, keterasingan dari lingkungan sosial dan kelelahan menjadi alasan bagi Wangi untuk merasa tertekan secara emosi. Ditambah pengobatan putri kedua mereka yang tak kunjung mereka dapati menjadi tekanan yang membuat Wangi dan Soegiman semakin stress.

Rumah tangga yang semula harmonis lambat laun menjadi hambar karena seringnya dibumbui pertengkaran. Soegiman pun menjadi sering pulang larut malam dan hal ini justru makin menambah kecurigaan Wangi terhadap Soegiman. Sampai akhirnya Soegiman yang merasa lelah mengatakan kepada Wangi kalau dia sudah tidak sanggup lagi untuk hidup bersama.

Soegiman juga mengutarakan kepada orangtuanya kalau dia akan bercerai dengan Wangi. Tetapi respon yang diterima Soegiman justru sebaliknya, orangtuanya langsung berkata, “Istrimu begitu baik bisa bekerja, memberikanmu anak dan mengurusi rumah tangga. Di mana lagi bisa mendapatkan istri seperti itu.” Nasehat dari orangtuanya itu membuat Soegiman tersadar untuk tetap mempertahankan rumah tangganya yang retak. Sejak saat itulah, Soegiman yang telah tersadarkan mulai mencari cara untuk menenangkan hati Wangi yang gelisah.

Soegiman sering memberikan Wangi lagu-lagu instrumentalia dan rekaman ceramah agama. Ia bahkan juga membuka usaha komputer yang bermitra dengan adik Wangi. Semua yang dikerjakan oleh Soegiman tak lain agar Wangi memiliki kesibukan sehingga tekanan emosi yang dideritanya dapat tersalurkan.

Tetapi semua itu tidak dapat berlangsung lama. Semakin hari suasana menjadi semakin panas. Wangi menjadi semakin pesimis, sering mengeluh, dan semakin menutup diri terhadap orang lain. Sampai suatu hari di tahun 2004, di tengah kekalutannya Soegiman mengajak Wangi untuk menghadiri seminar “Kehidupan yang Bahagia” yang diadakan oleh Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Berbakti kepada orangtua adalah salah satu kebajikan yang tidak boleh dilupakan oleh setiap orang.              Tzu Chi selalu mengutamakan hal itu sebagai awal dari sebuah kebajikan. (kiri)
         - Saat batin dan pikiran hening maka seseorang tak lagi melekat pada apa yang dimiliki dan apa yang                       telah diberikan. Keheningan adalah tujuan dari ajaran Jing Si. (kanan)

Di seminar itu, Wangi sangat terkesan dengan pernyataan yang berbunyi “Suami istri bagaikan burung di dalam hutan. Ketika musibah datang maka mereka akan masing-masing terbang. Jika perhatian dan cinta kasih hanya kita tumpukan pada suami dan anak, kita akan sangat capek. Alangkah baiknya jika cinta kasih ini dibentangkan menjadi cinta kasih yang universal.”  

Dari perjumpaan yang singkat ini, Wangi langsung bertekad untuk bergabung dengan Tzu Chi. Bahkan salah satu relawan Tzu Chi dengan penuh simpati datang mendekati Wangi. Dengan tatapannya yang dalam, dia memegang pundak dan menggenggam jemari Wangi. Dia lalu berkata, “Wangi kita harus percaya pada sebab akibat. Apa yang kita tebar itulah yang akan kita tuai. Kamu harus terima hasilnya dengan lapang dada. Bukalah hatimu dan pikiranmu. Ketika hati dan pikiranmu terbuka maka kebahagiaan akan muncul.”

Begitu relawan itu selesai berkata, batu berat yang terbenam di dada Wangi seakan terlepas begitu saja. Di Tzu Chi, Wangi merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Begitu bergabung, Wangi langsung terlibat di jalinan kasih relawan kasus. Di sinilah, dia mulai bisa memahami suaminya sebagai sosok kepala rumah tangga yang peduli dan penuh kasih sayang terhadap keluarga. Karena berkat suaminya pula, dia bisa mengenal Tzu Chi yang penuh dengan welas asih.

Seiring dengan berjalannya waktu dan keaktifan Wangi di Tzu Chi, sebuah kerisauan kembali hadir di benaknya. “Saya melakukan banyak hal di luar. Sedangkan saya memiliki anak yang butuh perhatian di rumah. Apakah tindakan saya benar?” tanyanya dalam hati. Kerisauan ini lantas ditanyakan kepada beberapa relawan.

Dari semua relawan yang ditanya, mereka memberikan jawaban yang sama, yaitu  “Kamu di rumah hanya merawat anakmu seorang. Tetapi kalau di Tzu Chi kamu bisa merawat dan membantu banyak orang. Kamu tidak menelantarkan anakmu. Kamu telah memberi dia makan, kamu telah memberi dia kebutuhan, malah ada orang yang  khusus untuk merawatnya. Kamu harus bekerja dobel bahkan tripel untuk anakmu.”

Maka dua bulan lalu di akhir tahun 2009, di salah satu acara yang diadakan oleh Tzu Chi, Wangi menyumbangkan Ron Dong atas nama anaknya. Melalui Ron dong ini dia berharap jasa kebajikan yang telah dia lakukan dapat dilimpahkan kepada putrinya.

Kehidupan rumah tangganya pun kini kembali harmonis. Wangi yang dahulu sering merasa takut bila bertengkar dengan suaminya atau sebaliknya Soegiman yang sering takut pulang ke rumah karena takut dimarahi menjadi sebuah pemahaman yang tidak benar. Saat ini, setelah mengenal Tzu Chi Wangi dan Soegiman menyadari bahwa mereka tidak perlu lagi saling takut, tetapi sebaliknya kini mereka menjadi lebih peduli satu sama lain.

Hari Minggu, tanggal 7 Februari 2010, Wangi yang mengetahui adanya pembangunan Aula Jing Si di Jakarta kembali mengikrarkan diri untuk menyerahkan Ron Dong atas nama suaminya. Rong Dong sebagai tanda terima kasih dan cinta yang telah diberikan oleh sang suami kepadanya.

foto  foto

Ket : - Angpao berkah yang diperoleh langsung dari Master Cheng Yen memiliki makna pelaksanaan dari                berdana, disiplin moral, kesabaran, semangat, konsentrasi, dan kebijaksanaan. (kiri)
         - Relawan Komite Tzu Chi menyanyikan lagu Bermakna Welas Asih sebagai bagian dalam menyalurkan              semangat kemanusiaan dengan cara yang sederhana. (kanan)

Menginspirasikan yang Lain
Sharing yang diberikan oleh Wangi dalam acara pemberkahan akhir tahun diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi relawan Tzu Chi lainnya. Seperti yang diungkapkan, Yohanes Didik Apriyanto, salah satu staff pengajar di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi yang merasa sangat tersentuh begitu mengikuti acara ini. Baginya Tzu Chi adalah sebuah wadah untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan dan membangun diri untuk mengenal rasa syukur.

“Gan En itu memiliki makna yang dalam sekali. Ketika kita melakukan sesuatu kita selalu ditanamkan rasa bersyukur. Entah itu yang diterima jelek atau pun buruk itu harus bersyukur. Dengan bersyukur itu akan meringankan langkah-langkah orang bekerja atau orang beraktifitas,” katanya.

Didik yakin kalau dia telah berjodoh dengan Tzu Chi karena dari sekian banyak pilihan sekolah yang ditawarkan dia lebih memilih untuk bekerja di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. “Mungkin di sini saya bisa bersumbangsih terhadap kemanusiaan,” kata dia.

8 bulan sudah Didik bergabung di Tzu Chi dan selama itu dia merasa ada sebuah pergumulan batin yang terus mendorongnya untuk aktif menerima filosofi Tzu Chi sebagai landasannya dalam berbuat kemanusiaan. “Saya mengambil hikmah dari kegiatan Tzu Chi dan ternyata itu luar biasa. Orang hidup itu tidak sekecil yang kita bayangkan. Jadi begitu universal pemahaman yang saya dapat saat saya bergabung di Tzu Chi,” terangnya.

Bagi Didik yang baru pertama kalinya mengikuti acara pemberkahan akhir tahun, dia merasa kagum dan tersentuh atas apa yang ajarkan dan dilakukan oleh Tzu Chi. “Saya sempat menitikan air mata saat berdoa. Saya melihat manusia itu begitu rapuhnya kalau tidak didukung dan saling mendukung satu sama lain,” ungkapnya.

Dari acara ini pula, Didik menyadari cinta kasih Master Cheng Yen yang tulus melihat penderitaan manusia tanpa memandang perbedaan. “Saya baru tersadarkan di acara pemberkahan akhir tahun ini, bahwa Master Cheng Yen begitu peduli ke seluruh dunia bukan hanya untuk agamanya saja tetapi sampai lintas batas, lintas agama, lintas benua. Tidak memandang agama tetapi yang dilihat adalah kemanusiaan.” serunya. 

Didik pun lantas bertekad akan memberikan pelayanannya kepada masyarakat seperti yang dikehendaki Tzu Chi. “Tadi itu saya kaget, terperangah, sedih, dan bahagia. Tetapi saya dikuatkan lagi untuk banyak berbuat lagi, untuk banyak melayani terhadap orang lain. mungkin saya bisa praktikan di lingkungan keluarga maupun di masyarakat,” janjinya.

Tempat yang Tepat
Tidak jauh berbeda dengan Didik, Aylina, salah satu relawan abu-abu Tzu Chi yang datang bersama dengan buah hatinya juga tidak dapat melepaskan pandangan matanya dari layar di depan panggung. Bahkan belum lama tayangan kilas balik Tzu Chi 2009 dimulai, ibu dari Kelvin Gunawan tersebut sudah mulai menitikkan air mata. “Bagaimana rasanya ya, semua tercampur menjadi satu, di dalam hati. Rasa syukur, kagum, dan bangga atas apa yang sudah Tzu Chi lakukan satu tahun ini,” tuturnya.

Aylina mengaku sangat bersyukur mendapatkan kesempatan untuk bisa berbuat baik, dan beramal, bersama dengan Tzu Chi, “Saya mengenal Tzu Chi sejak ada DAAI TV. Tapi karena saya juga bekerja, maka saat itu belum ada kesempatan untuk turut serta dalam kegiatan Tzu Chi, hingga akhirnya tante saya yang sudah duluan bergabung mulai mengajak saya untuk ikut kegiatan.”

Sejak saat itulah ia mengaku mulai aktif dalam Ai De Xi Wang (kelas budi pekerti yang diberikan kepada anak-anak di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi). “Saya mulai aktif di Ai De Xi Wang sekitar tahun 2008, kemudian berlanjut di kegiatan donor darah. Setelah sering melihat kegiatan Tzu Chi di DAAI TV, dorongan hati rasanya semakin besar untuk ikut bersumbangsih,” ungkap Aylina yang berharap agar banyak orang yang juga terinspirasi dari kegiatan kemanusiaan yang dilakukan Tzu Chi.

Selain menyempatkan diri menjadi relawan Tzu Chi, Aylina juga mengajak Kevin, putranya untuk ikut serta dalam kelas budi pekerti. Baginya pendidikan budi pekerti yang diberikan kepada anak-anak di kelas tersebut membawa pengaruh positif bagi perkembangan anaknya. “Banyak hal positif yang bisa dipelajari oleh Kevin di kelas budi pekerti. Selain menjadi lebih mandiri, perhatian mereka kepada orang tua juga semakin hari semakin besar,” tambah Aylina.

Meskipun tidak mudah untuk menjadi relawan Tzu Chi, namun Aylina mengaku tidak gentar untuk terus berusaha. “Di Tzu Chi itu adalah tempat yang tepat untuk  kita belajar. Jangan kira jadi relawan itu gampang. Kita harus belajar sabar, rendah hati, dan melatih mental dan sikap untuk terus menjadi baik,” tegas wanita yang mengaku selalu mendapatkan pembelajaran-pembelajaran baru dalam setiap kegiatan Tzu Chi yang diikutinya. 

  
 
 

Artikel Terkait

Banjir Konawe: Menenteramkan Batin Para Pengungsi

Banjir Konawe: Menenteramkan Batin Para Pengungsi

20 Juni 2019

Hari ketiga tanggap darurat Tzu Chi Indonesia di Konawe, Sultra, (17-19 Juni 2019), relawan berkeliling di Kecamatan Pondidaha dan Kecamatan Wonggeduku, Konawe, Sulawesi Tenggara untuk memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan di beberapa posko pengungsian.

Sejarah “Sutra Bakti Seorang Anak” (Bag. III)

Sejarah “Sutra Bakti Seorang Anak” (Bag. III)

03 September 2012 Ketika itu, setelah mendengar penjelasan Buddha tentang kebajikan orang tua, setiap orang dalam kumpulan besar itu menangis dan merasakan kepedihan dalam hatinya. Mereka merenungkannya dan segera merasa malu dan berkata kepada Sang Bhagava, "Oh, Sang Bhagava, bagaimana kami dapat membalas kebaikan yang dalam dari orang tua kami.
“Indahnya Kebersamaan Membantu Sesama”

“Indahnya Kebersamaan Membantu Sesama”

23 April 2010
Untuk mencapai Desa Mekarwangi, relawan Tzu Chi disuguhi pemandangan menarik dengan panorama alam yang dikelilingi oleh barisan pegunungan.
Bila sewaktu menyumbangkan tenaga kita memperoleh kegembiraan, inilah yang disebut "rela memberi dengan sukacita".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -