Sebuah Tekad, Seribu Jalan
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hok Cun, Hadi Pranoto * Relawan Tzu Chi, Sofie dan Supriati saat mendampingi Elisa pascaoperasi. Kedua orangtua dan keluarga Elisa pun turut hadir untuk memberi dukungan moral bagi Elisa. | Seberapa kuatkah pendidikan mampu memperbaiki nasib seseorang? Jawabannya tentu berpulang kepada bagaimana orang itu memandang seberapa penting pendidikan bagi dirinya. Pendidikan yang tinggi memang tidak semata-mata dapat menaikkan status ataupun derajat kehidupan seseorang. Tetapi, dengan bekal pendidikan yang baik, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang lebih luas untuk dapat hidup mandiri dan memperbaiki kehidupannya dibandingkan mereka yang tidak sama sekali ataupun kurang memiliki ilmu dan pengetahuan. Menyadari bahwa pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk hidup mandiri, Elisa Widianingsih (26) yang mengalami kelainan fisik di wajahnya berusaha keras untuk menuntaskan pendidikannya hingga bangku kuliah. |
Bukan hal mudah bagi Elisa yang terkena tumor di pipi kanannya untuk bergaul, berinteraksi, dan bahkan bersaing dengan ribuan orang lainnya untuk belajar dan mencari pekerjaan. Tak Mudah Menyerah Karena penyakitnya tergolong “parah dan sulit”, Elisa harus menjalani pengobatan ke Semarang di RS Karyadi. “Tapi karena fasilitas di sana nggak memadai, akhirnya saya dioperasi di RS Panti Wiloso,” terang Elisa. Oleh dokter, Elisa disarankan untuk melakukan operasi kedua, tapi Elisa yang kala itu masih bocah merasa takut dengan operasi, dan akhirnya memilih berobat alternatif. Setiap kali ada “orang pintar” yang berkata dapat menyembuhkan penyakit Elisa, maka ke sanalah Elisa diantar orangtuanya berobat. “Nggak ada hasilnya, malah tambah parah. Kalau dipikir-pikir, biaya untuk berobat alternatif justru lebih besar daripada operasi,” ujar Elisa mengenang. Alhasil, bukannya membaik, justru pipi Elisa yang semakin bengkak. Terlihat berbeda dari anak-anak sebayanya, Elisa mengaku awalnya merasa minder dan rendah diri. Tapi sifat inferior ini terkalahkan oleh hasratnya yang menggebu-gebu untuk bersekolah. Terlebih dukungan moril dari sang ibu yang amat membekas di hatinya, “Walaupun kamu ada kekurangan, tapi kamu jangan malu untuk sekolah.” “Teman-teman juga baik-baik, nggak ada yang ganggu,” kata Elisa, yang mengaku lebih nyaman jika bergaul dengan teman-teman perempuan. Ket : - Dengan penuh kebahagiaan, Elisa melangkah meninggalkan RS Cipto Mangunkusumo setelah operasinya Bekal untuk Masa Depan Tak betah menganggur, Elisa pun mencoba membuat usaha sendiri. Ia memasok kue-kue ke warung-warung dan sekolah di dekat rumahnya. Hasilnya ia pergunakan untuk melamar pekerjaan, mengetik di rental, ataupun mencari informasi pekerjaan di warnet. “Sebetulnya ibu kasih saya 50 ribu sebulan, tapi rasanya ndak cukup untuk ngelamar kerja. Sedangkan untuk minta, saya malu, kan dah disekolahin tinggi,” ungkapnya dengan logat Jawa yang cukup kental. Dan usahanya ternyata tidak sia-sia. Setelah hampir 2 tahun menganggur, akhirnya Elisa memperoleh informasi dari internet tentang lowongan pekerjaan di salah satu instansi pemerintah yang sesuai dengan jurusannya. Ket : - Elisa dengan kostum kebanggaannya setelah lulus Diploma III Kimia, Universitas Diponegoro (UNDIP), “Nggak nyangka, ternyata nama saya ada di daftar yang lolos panggilan tes,” ujar Elisa yang kala itu langsung berangkat ke Jakarta bersama seorang temannya. Setelah melalui beberapa proses seleksi, akhirnya tibalah saat yang paling mendebarkan bagi Elisa setiap kali melamar pekerjaan, tes wawancara. Untunglah, kali ini tidak ada perlakuan diskriminatif seperti di perusahaan swasta. Dari 2.000 peserta seluruh Indonesia, disaring menjadi 400. Dari 400, tersaring lagi menjadi 300 peserta. Dari 300 orang, akhirnya yang dinyatakan lolos dan diterima hanya 20-an orang saja, termasuk Elisa. Maka sejak 1 Mei 2006, Elisa pun menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan pangkat/golongan II. Untuk hasil ini, Elisa merasa sangat bersyukur. Tugasnya sebagai calon peneliti rekayasa, yang membantu tugas para peneliti membuatnya bisa hidup mandiri tanpa tergantung orangtua maupun orang lain. “Walaupun kita sakit, tapi jangan terpuruk pada penyakit terus. Kita harus punya semangat dan keahlian lain supaya bisa hidup mandiri,” tegas gadis yang bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana ini. Ket : - Penyakit yang sama membuat Elisa dan Dwi Aryanti saling mengenal. Setelah Dwi bergabung lebih dulu, Perkenalan dengan Tzu Chi Berbekal kartu ASKES, Elisa pun berangkat ke RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Oleh pihak rumah sakit disarankan untuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. “Ternyata yang berpenyakit gini banyak. Di sini saya merasa kalau saya masih lebih beruntung, banyak yang lebih parah dari saya,” ucap Elisa lirih. Sempat berobat sendirian, oleh dokter yang menangani, Elisa dianjurkan untuk mencari yayasan untuk membantu biaya pengobatannya. “Proses ini panjang dan memerlukan biaya yang sangat banyak,” kata Elisa mengulang perkataan dokter. Dewi Fortuna berpihak padanya, setelah menjalani pengobatan selama setahun di RSCM, Elisa pun akhirnya mengenal salah seorang pasien yang sekaligus juga relawan Tzu Chi, Dwi Aryanti. “Waktu itu tanggal 17 Maret 2008, sebelumnya saya suka lihat relawan Tzu Chi (Sofie dan Acun –red), mereka sering ngobrol ama pasien. Dari Dwi saya dijelasin tentang Tzu Chi,” jelas Elisa gembira. Jalan pun terbentang lebar, Elisa segera mengajukan surat permohonan bantuan pengobatan ke Tzu Chi, mengingat kartu ASKES yang dimilikinya tak bisa mengcover biaya operasi yang terbilang cukup mahal. Setelah proses survei, akhirnya oleh Tzu Chi Elisa disetujui untuk dibantu biaya pengobatannya. “Meski (Elisa –red) dah PNS, tapi kan kebutuhannya beda, dia tetap nggak mampu untuk biayain operasinya yang besar. Apalagi dia di sini kos sendirian,” kata Acun, salah seorang relawan Tzu Chi yang mendampinginya selama ini. Ket : - Setelah operasi tumor di pipi, kini Elisa menjalani operasi bedah plastik untuk memperbaiki wajahnya Setelah itu, Elisa pun telah 6 kali menjalani operasi –terakhir pada tanggal 23 April 2009–yang dibantu oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Operasi ini terbilang besar, bedah plastik untuk memperbaiki penampilan wajah Elisa yang berbeda setelah tumor di wajahnya diangkat. “Senang, sekarang (saya) sudah lebih baik,” ungkap Elisa jujur. Sebagai wujud rasa terima kasihnya, Elisa pun berniat untuk menjadi relawan Tzu Chi. “Saya ingin bantu orang lain juga,” tegas Elisa yang juga sudah menjadi donatur Tzu Chi ini mantap. Ketegaran dan kegigihan Elisa tidak hanya mampu membuat bangga ayah, ibu, dan keluarganya, tapi di mata relawan Tzu Chi dan juga sahabat-sahabatnya. “Salut, orangnya pintar, pantang menyerah dan mau mandiri,” kata Acun. Silvi, salah seorang rekan kerja yang juga satu kos dengan Elisa mengungkapkan, “Saya salut dan bangga sama Elisa. Meski dia memiliki kekurangan, dia tetap tegar. Untuk orang yang mengalami cobaan dari sisi fisik maupun psikologis, dia tidak putus asa untuk mencari cara kesembuhan penyakitnya.” Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terkadang membutuhkan “pembanding yang positif” untuk menguatkan dirinya. Ini pulalah yang dilakukan Silvi, belajar dan bercermin dari seorang Elisa. “Ketika saya mengalami masalah, bahkan yang berat sekalipun, saya selalu refleksi ke Lisa. Lisa tuh bisa, masak kamu nggak kuat. Dia justru masalahnya lebih berat,” ungkap Silvi jujur. | |
Artikel Terkait
Hartaku yang Paling Berharga
05 April 2023Relawan Tzu Chi komuitas He Qi Pusat mengunjungi Suhoca Savira (5) salah seorang penerima bantuan Tzu Chi yang menderita TB Paru dan gizi buruk.