Secercah Harap di Balik Reruntuhan

Jurnalis : Enisari (Tzu Chi Padang), Fotografer : Enisari (Tzu Chi Padang)
 

fotoMeski Lani harus kehilangan kedua kakinya akibat tertimpa reruntuhan saat gempa merubuhkan gedung tempat kursusnya, Lani tetap memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah.

Di penghujung bulan September 2009, aktivitas masyarakat di Padang berjalan normal, sama seperti hari–hari sebelumnya. Namun tepat pada jam 17.16 WIB, tanpa ada tanda-tanda, tiba-tiba gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter mengguncang kota itu.

 

 

 


Orang-orang berlarian dan berhamburan keluar rumah untuk menghindari reruntuhan dan pecahan kaca. Jalan-jalan dan lalu lintas kacau balau dan macet di mana-mana. Walaupun hari masih cukup terang namun listrik mati total. Begitu pula dengan jalur komunikasi (telepon) yang terputus. Yang terbayang dalam benak orang-orang adalah kejadian gempa yang disusul tsunami pada tahun 2004. Maka, orang-orang pun berlarian dan segera mengungsi ke tempat yang tinggi serta segera menjauhi pantai.  

Namun tidak demikian halnya dengan Lani Anggraini (13), siswi kelas 2 SMP di Kota Padang. Jangankan untuk berlari ataupun mengungsi, untuk keluar dari reruntuhan pun dia tidak sanggup karena kedua kakinya yang terhimpit reruntuhan bangunan. Pada akhirnya Lani harus merelakan kedua kakinya diamputasi demi menyelamatkan jiwanya.

Sedang Belajar
Sore itu, 30 September 2009, Lani dan adiknya sedang mengikuti kursus pelajaran di Bimbingan Belajar GAMA di Jalan Proklamasi, Padang. Pada saat gempa terjadi, Lani belajar di lantai II, sedangkan adiknya berada di lantai III. Lani dan teman-temannya panik dan berlari ke bawah menuju lantai I. ”Saya dan teman-teman sangat ketakutan dan berlari sambil berdoa kepada Allah agar dapat diberikan keselamatan,” kata Lani mengenang. Namun, oleh guru pembimbingnya mereka disarankan berlari ke lantai III. Baru mencapai tangga menuju lantai III, tiba-tiba bangunan tempat Lani selama ini kursus ambruk, sehingga ia dan beberapa temannya tertimpa reruntuhan bangunan.

Sang ayah, Ruslan, sewaktu kejadian sedang berada di tempat kerjanya seperti biasa. Ketika sedang memasukkan kendaraan ke gudang tiba-tiba mobil berguncang, dan ia sempat melihat orang-orang di sekitarnya berlarian keluar. Saat itu Ruslan menyadari bahwa telah terjadi gempa bumi.

Ruslan segera pulang dan melihat rumahnya dalam kondisi berantakan. Ia tidak menjumpai istrinya, Kasmayati, dan kedua anaknya: Lani dan Wahyu Syahputra. Seketika itu ia sadar bahwa istrinya tidak berada di dalam rumah dan kedua anaknya sedang mengikuti bimbingan belajar. Secara spontan Ruslan segera memacu sepeda motornya ke tempat kursus anaknya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan istrinya yang juga sedang mencari kedua anaknya.

foto  foto

Ket : -Awalnya hanya kaki kiri Lani yang diamputasi, namun 12 hari kemudian, dokter menyatakan jika kaki kanan            Lani mengalami infeksi dan harus diamputasi juga. Lani tetap tabah menerima cobaan ini. (kiri)
        - Menurut informasi dari orangtuanya, Lani masih sering mengeluh sakit pada kedua kakinya. Lani juga masih            sering mengigau saat tidur dan berteriak, ”Masih ada 6 orang, (atau) masih ada 3 orang lagi!”   (kanan)

Kondisi Lemah dan Terkulai
Sesampainya di tempat bimbingan belajar, ternyata pencarian sedang dilakukan oleh Tim SAR dengan dibantu masyarakat sekitar. Sekitar 5 jam proses pencarian, sampai akhirnya tepat pukul 22.20, Ruslan berteriak-teriak memanggil anaknya, “Lani.., Lani.., Lani!” Ibu Lani terus menangis mengkhawatirkan keselamatan anaknya, terlebih melihat kondisi bangunan yang ambruk. Tiba-tiba dari dalam reruntuhan terdengar sayup-sayup suara Lani, “Ya, Pa. Lani di sini.” Hati Ruslan dan istrinya pun sedikit tenang. Terlebih adik Lani, Wahyu telah ditemukan dalam kondisi selamat dan hanya mengalami luka-luka ringan saja.

(Sesaat wawancara kami terhenti karena Lani yang terisak ketika harus mengingat kembali peristiwa pahit itu). Selanjutnya, sambil terbata-bata dan menangis, Lani kembali menyambung ceritanya. Kami mencoba untuk  break lagi agar Lani beristirahat dan menyambung kembali kisahnya di lain waktu, namun hal ini ditepis oleh Lani.

Saat ditemukan, Lani dalam kondisi yang sangat lemah dan kaki kirinya sudah terkulai. Lani masih dalam kondisi sadar. Teman-temannya berada di sekitar tubuhnya dalam keadaan saling berhimpitan dan beberapa di antaranya sudah meninggal. Setelah dievakuasi, Lani dibawa menuju RS Dr. M. Djamil dan menurut dokter ia harus diamputasi malam itu juga, tapi karena persediaan darah di PMI sedang kosong dan Lani juga memiliki golongan darah yang terbilang jarang (B +) serta situasi rumah sakit yang kacau dan gelap gulita, maka operasi tidak jadi dilaksanakan. Baru pada keesokan harinya kaki kiri Lani dapat dioperasi.

Selang 12 hari kemudian, diketahui jika kaki kanan Lani juga mengalami infeksi dan sudah tidak berfungsi sehingga tidak dapat dipertahankan lagi karena jaringannya sudah rusak. Maka, kaki kanan Lani pun terpaksa harus diamputasi juga.

Perhatian dari Relawan
Relawan Tzu Chi telah berulang kali mengunjungi Lani di rumah sakit. Saat relawan Tzu Chi Jakarta berkunjung, relawan telah menyatakan kesanggupannya untuk membantu menyediakan kaki palsu untuk Lani. Menurut informasi dari orangtuanya, Lani masih sering mengeluh sakit pada kedua kakinya. Lani juga masih sering mengigau saat tidur dan berteriak, ”Masih ada 6 orang, (atau) masih ada 3 orang lagi!” 

Ketika  Enisari, relawan Tzu Chi Padang bertanya kepada Lani, “Apa yang sangat ingin Lani lakukan ke depan?” Dengan penuh semangat Lani menjawab, “Yang sangat ingin Lani lakukan adalah segera untuk dapat kembali ke sekolah guna meneruskan pelajaran dan mengejar cita-cita yang Lani inginkan.“

Itulah jawaban tulus dari seorang anak kecil yang dengan polosnya dan semangat yang ada untuk tetap maju menuju masa depan yang ia impikan. Walaupun memiliki kenangan pahit yang tidak akan terlupakan seumur hidupnya namun masih dapat ia syukuri. Harapan dan masa depan masih panjang walaupun dengan keterbatasan yang ada, tidak akan menghapuskan semua harapan dan keinginan yang Lani cita-citakan.   

 
 

Artikel Terkait

Menolong Tanpa Pamrih

Menolong Tanpa Pamrih

26 September 2011
Shijie Lenny Pupella relawan Tzu Chi Makassar mencoba berkomunikasi dengan Tan Bie Tjin yang ditemukan dalam kondisi terlantar di halaman Polsek Wajo Makassar.
Tidak Mudah Menyerah

Tidak Mudah Menyerah

26 Oktober 2016

Kelas budi pekerti yang diadakan sebulan sekali dibagi menjadi dua kelas sesuai dengan rentang usia mereka. Kelas kecil belajar tentang tidak mudah menyerah sementara kelas besar bagaimana membangun kepedulian terhadap sesama. Kelas budi pekerti yang diadakan pada tanggal 23 Oktober 2016 diikuti sebanyak 61 anak.

Pemberkahan Akhir Tahun: Mengumpulkan Niat Baik dari Setiap Orang

Pemberkahan Akhir Tahun: Mengumpulkan Niat Baik dari Setiap Orang

30 Januari 2014 Pemberkahan Akhir Tahun adalah momen untuk melakukan kilas balik yang sudah dilakukan selama satu tahun dengan penuh syukur.
Dengan keyakinan yang benar, perjalanan hidup seseorang tidak akan menyimpang.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -