Sederhana, Jujur, dan Menghargai Alam

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

"Prinsipnya kami tidak meminta bantuan, namun juga tidak serta merta menolak bantuan," kata Dokon Kadokohap.

Meski panas mentari sangat terik di atas kepala, namun tidak menjadi penghalang bagi insan Tzu Chi dalam membantu sesama. Minggu, 4 Agustus 2007, sekitar 50 relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia memberi bantuan kepada masyarakat Dusun Kadokohap, Desa Kanekes, Banten yang mengalami kebakaran sebulan yang lalu. Berlokasi di Ciboleger -desa terdekat dari perkampungan Suku Badui- bantuan diberikan kepada masyarakat yang masuk dalam komunitas Suku Badui Luar ini, sejumlah 100 karung beras dan 180 paket bantuan (cangkul, sarung, dan baju).

Menurut Dokon Kadokohap (Tokoh Adat) bantuan ini sangat berguna bagi warganya yang mengalami musibah, terutama baju dan sarung. "Haturnuhun (terima kasih), bantuannya sudah keterima sama kami," ujar Dokon saat menerima Tim Da Ai TV dan Majalah Dunia Tzu Chi di tempat tinggalnya, Dusun Kadokohap. Rumah panggung yang sederhana, tanpa kehadiran barang-barang layaknya rumah pada umumnya -alat-alat elektronik terlarang bagi warga Suku Badui- dan menjadi pusat kegiatan dapur umum sementara bagi warga Dusun Kadokohap.

Lumbung Juga Ikut Terbakar
Dusun Kadokohap terletak di tengah kawasan pegunungan Kendeng, Lebak, Banten. Tidak mudah menjangkau perkampungan yang dihuni 376 jiwa ini. Selain harus berjalan kaki, melintasi sungai dan jalan yang menanjak, kita juga harus selalu waspada saat menuruni lereng bukit yang curam. Hampir separuh jalan yang dilewati beralas tanah liat yang licin, sementara jalan berbatu hanya ditemui di saat awal perjalanan. Setelah berjalan selama kurang lebih 3 jam dan melewati dua desa di bawahnya (Batara dan Panyerangan) , barulah kita sampai ke dusun yang hangus terbakar pada tanggal 3 Juli 2007 lalu. Sisa-sisa kedahsyatan api masih jelas terlihat dari potongan-potongan kayu yang gosong dan serpihan abu hitam yang menyelimuti tanah. Dari puncak bukit di atas Desa Panyerangan, batang-batang kayu -pondasi gubuk- berlapis terpal biru terlihat jelas. Ya, warga Dusun Kadokohap memang sedang berjuang keras membangun tempat tinggal mereka, sambil kembali merajut kehidupan mereka yang sempat terbengkalai. Beberapa warga mulai membuka kembali ladangnya -umumnya wanita- sementara para prianya bergotong-royong membangun rumah.

Dari 76 rumah yang terbakar, hanya 1 rumah yang selamat, yakni rumah Dokon yang memang letaknya cukup strategis -di bawah bukit- dan agak jauh dari rumah-rumah warga lainnnya. "Waktu kejadian, kampung ini memang kosong. Warga kebanyakan sedang berladang, jadi apinya cepat meluas," terang Dokon. Kebakaran sendiri bermula dari keteledoran salah seorang warga yang membiarkan sekam (bara api) masih menyala sehabis memasak. Karena bahan-bahan rumah warga Suku Badui yang memang 100% terbuat dari bahan yang mudah terbakar, api kemudian membesar dan menjalar ke rumah warga lainnya. Tidak hanya rumah, tapi 25 lumbung padi warga pun ikut ludes dilahap si 'Jago Merah'. "Warga makan dari lumbung-lumbung padi yang tidak terbakar," ujar Dokon. Beruntung sifat kekeluargaan dan gotong-royong masih sangat kental terpelihara dalam diri masyarakat Suku Badui sehingga warga yang lumbungnya terbakar mendapat bantuan dari warga yang simpanan padinya selamat.

foto

Tidak Boleh Menebang Pohon
Lambannya pemulihan Dusun Kadokohap dikarenakan masyarakat Badui yang sangat menghargai 'wiwitan' (alam). Mereka tidak diperkenankan untuk menebang pohon di lingkungan tanah ulayat (adat) seluas 5.108, 5 hektar. Ini sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut, yakni Sunda Wiwitan. "Lingkungan jangan dirusak, karena itu adalah titipan dari 'kolot' (orangtua)," kata Dokon. Jadinya untuk pembangunan perkampungan ini, warga Kadokohap membeli kayu, bambu, dan bilik bambu dari masyarakat luar. Pasca kebakaran melanda memang ada donatur yang memberikan sejumlah dana kepada Dokon Kadokohap untuk merehabilitasi pemukiman warganya, namun dana itu tidak mencukupi untuk menuntaskan pembangunan untuk 100 keluarga. "Kalau ada bantuan kami terima, tapi kami juga tidak meminta. Kami berharap sumbangan bisa berupa dana (uang) untuk membeli kayu dan bilik. Gampang ngaturnya," kata Dokon Kadokohap. Alasannya, jika bantuan berupa kayu dan bahan-bahan lainnya sangat sulit untuk mengantar ke lokasi perkampungan yang harus melalui medan yang berat. Namun demikian, bantuan dalam bentuk apapun tetap sangat dihargai oleh warga. Menurut relawan Tzu Chi, Tan Soe Tjoe bantuan berupa uang langsung tidak lazim diberikan oleh Tzu Chi. Bantuan kemungkinan dalam bentuk barang, seperti kayu ataupun bahan bangunan lainnya. "Kami justru melihat kebutuhan alat-alat medis yang masih kurang untuk melayani masyarakat Suku Badui," terang Soe Tjoe.

Meski tidak semua insan Tzu Chi melihat langsung kondisi perkampungan yang terbakar ini, namun apa yang dialami warga Kadokohap menjadi barometer bagi insan Tzu Chi untuk berbuat sesuatu, menolong dan membantu memulihkan kehidupan mereka. Kesederhanaan, kejujuran, dan perilaku warga yang sangat menjaga kelestarian alam ini selayaknya mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, yang peduli pada kemanusiaan dan kesinambungan kehidupan alam, khususnya insan Tzu Chi.

 

Artikel Terkait

Mendapatkan Manfaat Baik dari Kata Perenungan

Mendapatkan Manfaat Baik dari Kata Perenungan

02 Agustus 2019

Minggu 28 Juli 2019, Tzu chi Tanjung Balai Karimun mengadakan kegiatan Penempalan Kata Perenungan. Sebanyak 28 orang relawan yang mengikuti kegiatan ini.

Merevolusi Mental Sesuai Dharma

Merevolusi Mental Sesuai Dharma

16 Juli 2014 Tzu Chi mendapat kunjungan dari siswa-siswi Sekolah Dhammasavana. Sebanyak 70 siswa dan 2 orang guru yang hadir merupakan siswa-siswi kelas sepuluh dan tengah menjalankan proses Masa Orientasi Siswa (MOS).
Banjir Tangerang: Teh Jahe yang Menghangatkan

Banjir Tangerang: Teh Jahe yang Menghangatkan

12 Februari 2015 Relawan Tzu Chi Tangerang membangun posko di wilayah tersebut. Di sekitar wilayah juga terdapat beberapa posko yang menyediakan makanan bagi warga, oleh karena itu Tzu Chi mencoba membangun sebuah posko yang tidak hanya menyajikan makanan dan minuman hangat, namun juga kehangatan batin bagi warga.
Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -