Semangat Hidup yang Terus Membara
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Agus Yatim (He Qi Utara)Kegiatan sosial mampu memberikan kepuasan batin bagi Sujono (memakai topi). Meski hidup pas-pasan, ia tetap bersemangat untuk bersumbangsih pada lingkungan. |
| |
Semasa Kecil Sepeninggalan mereka, Sujono diasuh oleh kakak perempuannya yang tertua. Mulailah ia mengisi kehidupannya tanpa belaian dan kasih sayang orangtua. Kendati demikian, Sujono tetap menikmati masa kecilnya secara wajar, tumbuh dan bermain. Ketika memasuki usia sekolah, kakaknya mendaftarkan Sujono ke sekolah rakyat di kampungnya. Lokasinya di bawah pohon bambu. Belajarnya menggunakan sabak, sebuah batu lempeng tipis yang diberi bingkai dan sebilah kapur sebagai penanya. Di sekolah ini setiap murid harus memiliki ingatan yang tajam karena apa yang disampaikan oleh guru tidak bisa dimuat dalam catatan. “Menulis lalu dihapus. Itu saja cara belajarnya,” kata Sujono. Waktu terus bergulir. Saat berusia 9 tahun, kakak pertamanya kembali meminta Sujono untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Berhubung ia bermukim di Mangga Besar, Jakarta Barat, yang mayoritas dihuni oleh etnis Tionghoa, Sujono mulai mencoba hidup mandiri dengan berjualan koran berbahasa Mandarin. Usahanya yang gigih membuat ia memiliki banyak pelanggan. Pendapatannya dalam sehari ia gunakan sepenuhnya untuk kebutuhan hidup. Berapa pun rezeki yang ia peroleh akan ia habiskan pada hari itu juga. “Dulu belum ada tabungan, dapat hari ini ya habis hari ini. Sekali pun ada juga dibagikan ke teman-teman,” jelasnya. Dari berjualan koran ini pula Sujono kemudian sempat mengikuti pendidikan sekolah Tionghoa di Pah Cung, Mangga Besar. “Yang yin ni ren (orang Indonesia -red) cuma saya satu-satunya. Lainnya zhong guo ren (orang Tionghoa -red),” ujarnya. Namun karena alasan mencari nafkah, pendidikannya terpaksa terhenti di sekolah dasar. Datangnya penyakit Sejak saat itu, sedikit demi sedikit harta yang ia miliki terjual demi kebutuhan sehari-hari, biaya pengobatan, dan biaya sekolah kelima anaknya. Tidak memiliki pekerjaan tetap ditambah pengeluaran yang tak kenal kompromi membuat kehidupan Sujono harus berakhir pada kemiskinan. “Karena tidak memiliki pengolahan yang baik, belakangan hidup kita jadi morat-marit. Selama berpuluh-puluh tahun saya hidup dalam kesusahan seperti ini,” katanya mengingat. Setelah semua harta berharga yang ia miliki habis, baru pada tahun 1996 komplikasi penyakitnya mulai membaik. Derita seolah tak mau berpisah dengannya, pada Juni 1998 istrinya meninggal karena serangan jantung. Peristiwa ini sangat memukul perasaan Sujono yang tengah dilanda kesulitan. “Dia meninggal tiba-tiba. Tidak disangka-sangka. Justru disangkanya saya yang lebih dulu meninggal,” katanya lirih.
Ket : - Sejak pukul 5.30 pagi Sujono sudah meninggalkan rumah untuk mengambil sampah-sampah organik di pasar. Ia berangkat lebih awal agar tidak kehabisan sampah organik yang juga biasa dicari para peternak kambing. (kiri). Di tengah keterpurukan itu, semangat hidup Sujono kembali bangkit. Kali ini ia merasa memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya. Kemiskinan dan kehilangan orang yang dicintai tidak boleh membuatnya menyerahkan pada kepasrahan. Ia berusaha sebisa mungkin mencari nafkah dengan bekerja serabutan walau penghasilannya sangat seadanya. “Nasib tidak boleh mengendorkan semangat kita untuk hidup. Kita harus hidup, maka saya mencari makan untuk hidup,” terangnya. Kegusaran hatinya ia gantikan dengan semangat membantu kegiatan sosial di lingkungannya. Melalui kepengurusan di RW 12 Pademangan Barat, Sujono mengkonsentrasikan perhatiannya pada masalah kebersihan lingkungan. Sebagai daerah pemukiman yang padat penduduk, Pademangan memiliki permasalahan yang tak pelak untuk dihindari, itu tak lain adalah sampah. Maka selama 3 periode menjabat sebagai pengurus RW, Sujono berusaha keras untuk menertibkan kebersihan di lingkungannya. Meski berbagai usaha terus dilakukan, jumlah sampah yang menggunung tetap saja menjadi permasalahan lingkungan yang tak pernah tuntas untuk diatasi. Hal itu terus terjadi sampai sekitar tahun 2005 Sujono berkenalan dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia melalui pembagian sembako untuk warga Pademangan. Saat itu, Sujono berperan sebagai ketua kelompok di dalam komunitasnya. Pada pembagian beras selanjutnya, ia tetap berperan menjadi relawan sekaligus penerima bantuan. “Jauh sebelum bedah rumah dan terlepas dari bedah rumah saya sudah mengenal Tzu Chi dan sudah membantu setiap Tzu Chi mengadakan kegiatan di Pademangan,” akunya. Dari banyaknya kegiatan Tzu Chi yang terkonsentrasi di Pademangan setahap demi setahap Sujono mengenal Tzu Chi lebih baik. dan keinginan untuk bergabung sebagai relawan Tzu Chi pun terbesit dalam benaknya. Keterbatasan biaya untuk membeli seragam relawan tidak membuat Sujono merasa kehilangan identitas sebagai relawan. “(Saya) ini relawan. Cuma bajunya saja yang belum ada, sejak dulu saya sudah ikut kegiatan Tzu Chi, dan sudah merasa sebagai relawan,” katanya. Bedah Rumah
Ket : - Sudah dua bulan ini Sujono memasok sampah organik setiap harinya ke Depo Komposcing. Produktivitas penggilingan kompos di depo pun kini mulai lancar kembali. (kiri). Sejak saat itu, bagai sebuah letupan bunga api, semangat Sujono kembali bangkit dalam melihat kehidupan yang penuh pergolakan. Seiring pembangunan posko komposcing pada Mei 2009 di Pademangan, Sujono yang bertugas sebagai seksi kebersihan di RW 12 dan sekitar pasar Pademangan menawarkan bantuan untuk menyediakan sampah organik untuk bahan baku kompos. Namun niat baik itu sempat bertepuk sebelah tangan. “Bukannya menolak bantuan pak Sujono. Tapi sekarang kita sedang fokus untuk melatih kepedulian warga dan tukang sampah terlebih dahulu. Kalau biasanya tukang sampah memilah untuk dijual, tetapi sekarang kita melatih mereka untuk berderma,” ujar Agus Yatim. Tetapi dalam kenyataanya memang tidak mudah bagi para ibu rumah tangga untuk memilah sampahnya, terlebih lagi para petugas sampah. Alhasil sampah yang tertampung di posko tetap dalam bentuk sampah rumah tangga yang belum terpilah. Pekerjaan di posko pun semakin bertambah dan produktivitas pengolahan kompos menjadi terhambat. Tiba-tiba di bulan September 2009 Sujono kembali mendatangi Agus Yastim di depo komposcing. Kemunculannya tetap seperti niatnya semula – menawarkan diri menyediakan bahan baku kompos. Saat itu, depo memang sedang kekurangan ketersediaan bahan baku dan sedang ada rencana penambahan jumlah cacing, maka dengan senang hati Agus Yatim menerima niat baik Sujono. Sejak itu mulailah Sujono aktif membantu misi pelestarian lingkungan Tzu Chi. Sejak pukul 05.30 pagi, ia mengumpulkan sampah-sampah organik di sekitar pasar. Dalam sehari Sujono sedikitnya mampu menyerahkan tiga karung sampah yang siap diolah. Satu hal yang membuatnya berbeda dari warga lain yang menyerahkan sampah organic adalah setiap sampah yang diserahkan oleh Sujono selalu sudah bersih dari sampah non organik dan organik yang tak baik untuk kompos. Kulit jagung, kulit jeruk, daun pisang, dan buah nanas merupakan sampah organik yang tidak bisa diolah menjadi kompos. Menurutnya kulit jagung dan daun pisang tidak bisa dikompos lantaran sifat senyawanya yang tidak terurai dengan baik. Sedangkan kulit jeruk dan nanas memiliki kandungan minyak serta asam yang tinggi, sehingga tidak baik untuk cacing. “Sampah dari pak Sujono memang benar-benar sudah dipilah. Sudah steril dari sampah non organik. Sangat membantu sekali,” ungkap Agus Yatim. Sejak kahadiran Sujono, Agus Yatim menilai Sujono sebagai sosok orangtua yang gigih dalam menghadapi cobaan hidup dan bersumbangsih terhadap lingkungan. “Sejak dulu saya mengenal pak Sujono. Ia pernah sukses. Ketika jatuh sakit yang tahunan, jatuh juga usahanya tetapi ia tidak malu di masyarakat untuk mengerjakan pekerjaan ini (memilah sampah). Suatu jiwa yang membaja,” pujinya. Sujono pun berharap selagi masih memiliki tenaga yang prima ia akan tetap memberikan sumbangsihnya kepada Tzu Chi karena ia memahami betul aktivitas Tzu Chi selama ini. Itulah yang membuatnya sangat antusias bergabung menjadi relawan Tzu Chi. “Selagi (saya) memiliki potensi mengapa tidak membantu, maka apa saja setiap ada kesempatan saya akan bantu demi kebaikan dan kemanfaatan,” katanya yakin. Dari usahanya ini ia berharap jumlah sampah yang ada di sekitar lingkungannya dapat berkurang dan kini sedikit demi sedikit terbukti karena sampah di sekitar pasar Pademangan sudah terlihat lebih rapi. | ||
Artikel Terkait
Keharuan dan Ungkapan Cinta di Hari Ibu
05 Desember 2024Gathering Gan En Hu (penerima bantuan Tzu Chi) kali ini mengajak anak-anak mengungkapkan rasa terima kasih kepada ibu dan pentingnya berbakti kepada orang tua. Ini menjadi simbol cinta kasih yang mendalam.
Bantuan Bagi Korban Kebakaran di Pademangan Barat
13 Agustus 2020Meski rumah bagian atas terbakar, sebagai relawan Tzu Chi, Yusni tetap ikut mensurvei dan memberi bantuan kepada warga bersama relawan Tzu Chi lainnya. Kebakaran di Pademangan pada Minggu, 9 Agustus 2020 menghanguskan 14 rumah dan 8 rumah mengalami rusak ringan.
Konsistensi PT Aplus Dalam Membantu Sesama
02 Februari 2016Koin cinta kasih dari karyawan Aplus jatuh satu persatu saat kegiatan penuangan celengan dilakukan. Senin, 1 Februari 2016, Aplus yang berlokasi di Kapuk, Jakarta Barat mengadakan penuangan celengan bambu. Penuangan pada Senin tersebut merupakan penuangan ketiga. Penuangan serupa juga dilakukan di cabang yang berbeda, antara lain di cabang Pasar Kemis Tangerang dan Rangkasbitung Banten.