Serpihan-serpihan Tenggang Rasa
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto Muhammad Fahmi Aufa (terbaring), tumbuh menjadi anak yang penurut. Sejak menjalani operasi ia begitu diam, hanya tetasan air mata bahagia yang selalu membasahi pipinya. |
| ||
Tapi saat saya tiba di ruang pemulihan pukul 21.17 WIB, tidak ada lagi relawan yang berjaga. Setelah bertanya ke seorang perawat dan dokter, rupanya relawan pendamping bertugas hanya sampai pukul 21.00 dan kembali datang pada pukul 6 esok pagi. Malam itu terasa sepi, seakan kesunyian bergaung di sekelilling ruangan. Hanya desah napas saya yang terdengar begitu nyaring di dinding telinga. Senyap. Tapi setiba di ruang pemulihan kesunyian menjadi sirna ditelan kegusaran. Pasien yang tak bisa tidur bergelimang menantikan kantuk. Saya berjalan perlahan menyusuri setiap dipan yang terjejer rapi. Saya amati ekspresi mereka satu per satu: ada yang lelap, ada yang gelisah, ada yang menangis, dan ada juga yang tersenyum lebar. Semuanya menjadi pemandangan yang menyentuh kalbu. Keceriaan yang Hilang Setelah beberapa saat berbincang saya menjadi senang berkomunikasi dengan Aufa dan ibunya. Tutur katanya lembut dan kalimat renyah bagaikan remah-remah. Aufa adalah anak seorang pemulung. Ayahnya Nurwahito mendadak menjadi pemulung karena tak sanggup lagi mendorong gerobak berjualan bakso lantaran kecelakaan telah merusak derap langkahnya. Ibunya Supariyah juga berprofesi sebagai pemulung menemani sang suami.
Keterangan :
Sembilan tahun yang lalu Supariyah yang sudah hamil 9 bulan melahirkan anak pertamanya dengan mudah. Tubuh bayi itu terlihat mungil dan senyap karena tak banyak menangis. Nurwahito dan Supariyah yang seumur hidup membanting tulang agar keluar dari kemiskinan hanya bisa terpaku dan menatapi putra pertama mereka yang baru lahir. Sambil menitikkan air mata Supariyah memandangi bayinya yang tertidur lelap di pelukannya. ”Ya Allah terima kasih Kau telah memberikan Hikmah kepadaku,” katanya dalam hati. Ia pun menamai putranya Muhammad Fahmi Aufa, yang berarti paham dan pandai. Nama itu ia pilih dengan harapan putranya kelak bernasib baik. Hari pun berganti-ganti dan Aufa telah tumbuh menjadi anak lelaki yang pendiam, rajin, dan hemat. Setiap hari Aufa selalu diajarkan untuk membantu pekerjaan rumah orang tuanya: mengepel, menyapu, mencuci, dan menjaga adiknya. Aufa tak pernah mengeluh, juga tak pernah membantah. Bahkan tetesan air mata ibunya menjadi senjata pamungkas untuk menghentikan kenakalannya. Biasanya setelah membantu ibunya, Aufa baru bisa pergi bermain. Namun yang paling disayangkan adalah burut (hernia) yang dideritanya. Burut telah menghisap sebagian keceriaannya sebagai anak laki-laki. Di saat kelelahan burut meniup skrotum kelaki-lakiannya seperti balon. Kebebasan Aufa tersita keterbatasan. Harapan demi harapan Supariyah pupuk demi menyembuhi Aufa. Kehidupan mereka bisa dibilang biasa-biasa saja. Tak ada kemewahan, tapi selalu meriah dengan kasih sayang, pengertian, dan penantian. Sampai sebuah kecelakaan merampas kehidupan mereka yang sudah payah menjadi lebih payah lagi. Di penghujung tahun 2010, Nurwahito yang sedang mengendarai motor ditabrak oleh pengendara motor lain dari arah tikungan. Badannya memang tak banyak terluka, tapi tulang mata kaki kananya menjadi remuk tergencat blok mesin. Nurwahito terseok merintih kesakitan. Tak dapat berdiri, terlebih berjalan. Remuk tulang telah menyita aktivitasnya, semangatnya, bahkan keamanan ekonominya. Padahal ketika itu Supariyah baru saja melahirkan anak keduanya yang diberi nama Fitri Nur Azizah. Lahir di bulan September, diakhir bulan Ramadhan menjelang Salat Id – Hari Raya Idul Fitri. Cahaya suci arti nama itu. Di situasi yang sulit Supariyah harus berkelahi dengan waktu mencari uang sebesar 15 juta rupiah guna menutupi biaya pengobatan. Tapi rupanya kebajikan yang pernah mereka tanam pula yang menyelematkan mereka dari besarnya biaya. Pemilik klinik patah tulang berbesar hati menerima dana seadanya yang mereka miliki. Hasil dari sumbangan para tetangga sebesar 1,5 juta rupiah digunakan Supariyah untuk berobat suaminya di klinik patah tulang. Meski pengobatan tak berjalan tuntas, namun Supariyah tetap bersyukur, karena suaminya selamat dan tetap bisa berjalan meski terseok-seok. Dibutuhkan Keberanian
Keterangan :
Seperjalanan waktu, Supariyah semakin terbiasa menjalani profesi ini. Malu adalah masa lalu yang telah terlupakan. Kendati demikian penghasilan yang ia dapat tetap hanya cukup untuk makan. Tak lebih juga tak kurang. Hingga suatu hari di tengah teriknya matahari, Supariyah bertemu dengan seorang kawan. ” Mak Aufa katanya kamu kena musibah kok tidak cerita-cerita?” ”Tidak bisalah kita musibah cerita-cerita, nanti takutnya (dikira) minta dikasihani. Kita diberi oleh Alllah kaki dan tangan untuk berusaha, biarlah saya berusaha,” jawab Supariyah. Supariyah memilih kata dengan teliti. Ia tak ingin melukai maksud baik temannya yang bersimpati. Meski dirundung kesusahan Supariyah bukanlah orang yang mudah menerima pemberian dari orang lain. Sampai di suatu momen yang tepat, si teman berhasil meyakinkan Supariyah atas pemberiannya berupa gerobak yang bisa disatukan dengan motor – mobet. Si teman berkata, ”Pakailah gerobak ini mak Aufa. Ini adalah rejeki anakmu.” Supariyah pun mengangguk takzim. Dengan motor yang sudah bergandeng gerobak, mulailah Nurwahito memboncengi Supariyah mengelilingi kompleks perumahan memulung barang daur ulang. Kali ini Nurwahitolah yang merasa malu menjalani pekerjaan ini. ”Malu tidak bisa hilang begitu saja. Padahal kita butuh untuk makan,” ungkap Supariyah. Sampai perasaan itu hilang, banyak keajaiban yang mereka temui – banyak orang yang merasa iba kepada mereka dan memberikan barang-barang bekas kepada mereka. Rezeki memang bisa selalu datang dari mana saja. Di saat-saat sulit Supariyah dan Nurwahito masih sanggup menafkahi keluarga meski dengan cara yang tak biasa. Dan di saat yang tak terduga pula Supariyah mendapatkan kabar kalau Tzu Chi akan mengadakan bakti sosial kesehatan. Setelah mengajukan surat permohonan, Aufa akhirnya berhasil menjalani operasi hernia pada tanggal 17 Maret 2012. Selepas menjalani operasi dan menjalani pemulihan Aufa tak henti-hentinya menitikkan air mata. Setelah mendengar kisah hidupnya, saya paham kalau Aufa adalah anak yang pendiam. Hari itu mungkin saja ia menahan rasa sakit demi kelegaan hati ibunya. Malam itu saya memang tak mendapati lelapnya tidur, tapi saya menemukan sejumput kisah yang indah. Bahwa kasih mengalahkan segalanya— ego dan kemustahilan. Hari itu saya menemukan kalau cinta itu berarti runtuhnya ego menjadi serpihan-serpihan tenggang rasa yang mengagumkan. Dan hari itu saya melihat Supariyah memberikan penerimaan dari keterbatasan suaminya. Aufa yang selalu mematuhi pesan ibunya. Mereka telah berhasil membuang semua kepentingan emosinya. Dari kejadian itu, saya mendapatkan sebuah pelajaran berharga. Jika saja semua orang memiliki keberanian, kebaikan, kerendahan hati, dan cinta maka dunia ini pasti akan damai. | |||
Artikel Terkait
Senyum Sehat Bagi Cianjur
23 November 2017Melakukan Dengan Sukarela, Menerima Dengan Sukacita.
03 Juli 2019Baksos Kesehatan Degeneratif Tzu Chi yang pertama diadakan di SLB Tuna Grahita Karya Ibu Palembang. Kegiatan ini melibatkan 72 relawan dan 40 orang tim medis (17 dokter, 5 dokter Koas, 11 perawat dan 7 apoteker). Sebelumnya pada tanggal 23 Juni 2019 telah diadakan survei untuk wilayah setempat, dan sebanyak 670 kupon pemeriksaan kesehatan diberikan kepada warga.